Entah apa yang direncanakan Tuhan, yang pasti saat ini Nidya selalu dimudahkan dalam melancarkan balas dendam kepada Mat.
"Jadi apa aku boleh mendekatimu?" tanya Alex.
"Kamu tahu, aku memiliki masa lalu yang kelam. Apa kamu yakin masih mau mendekatiku?" Bukannya menjawab Nidya malah balik bertanya, untuk melihat keseriusan pria yang ada di hadapannya.
"Itu masa lalumu, masa depanmu bersamaku. Jadi apa kita mulai saja kencan kita?"
Nidya tertawa lalu meneguk kopi yang ada di hadapannya agar membasahi kerongkongannya yang tercekat karena ulah Alex.
"Kita jalani saja dulu. Kita masih perlu mengenal satu sama lain agar tidak menyesal nantinya."
Alex mengangguk lalu bertanya, "Apa ada jaminan kalau kamu tidak di miliki pria lain?"
"Mana ponselmu?" Alex lalu memberikan ponselnya. Nidya, mengarahkan kamera ke arah mereka berdua lalu membidiknya. "Ini bukti kalau aku tidak dimiliki pria lain. Saat kamu mengunggah foto kita, tidak akan ada pria yang melabrakmu. Lagi pula kita sudah dewasa, tidak perlu pengakuan atas sebuah hubungan, bukan?"
"Tapi aku butuh pengakuan. Apa kamu menyukaiku?" tanya Alex tiba-tiba.
Nidya berdecak lalu mendekatkan wajahnya dengan Alex. Sesaat mata keduanya saling menatap sebelum akhirnya Nidya berbisik, "Aku tidak mudah menyukai seorang pria." Ia lalu menjauh dari Alex menikmati pemandangan di sana.
Alex menyunggingkan senyum termanisnya. Namun, pandangannya berubah ke arah ponsel yang ada di genggamannya ketika berdering. Ia lalu menggeser layar hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Mah."
"Dasar anak durhaka, kamu benar-benar tega Lex! Datang dari Singapura bukannya menemui Mamah kamu malah pergi dengan wanita lain," oceh Laras dari seberang telepon.
"Dari mana Mamah tahu?" tanya Alex.
"Apa kamu lupa jika cafe yang saat ini kamu datangi milik anak dari putri teman Mamah. Kamu benar-benar gila, wanita itu yang akan Mamah jodohkan dengan kamu. Tapi kenapa kamu malah membawa wanita lain ke sana."
"Aku tidak tahu, Mah. Kalau pun aku tahu, mungkin aku akan melamar wanita yang ada di hadapanku secara langsung agar Mamah tidak khawatir lagi."
"Apa kamu gila, kamu sudah bikin malu Mamah."
Nidya memberikan kode jika dirinya pergi ke toilet, meninggalkan Alex yang sedang berbincang dengan ibunya. Di dalam toilet Nidya memikirkan wanita yang saat ini tengah berbincang dengan Alex.
"Kalau mereka saudara tiri, berarti saat ini yang sedang bicara dengan Alex adalah Laras. Jika itu benar, dia pasti akan menentang hubunganku dengan Alex. Wah, semakin menarik," gumam Nidya. Sudut bibirnya terangkat, ia semakin yakin bisa menghancurkan keluarga Dimitri.
"Apa kamu sudah selesai?"
"Astaga, kenapa kamu menungguku disini," ucap Nidya terkejut dengan kehadiran Alex yang berdiri di depan pintu toilet.
"Aku ingin kamu menemaniku ke suatu tempat," ujar Alex.
Nidya tak akan menolak permintaan Alex meski nyatanya ia malas menemani pria yang kini duduk di sampingnya. Hanya saja ia ingin menggali informasi tentang keluarga Dimitri agar memudahkan dia masuk lebih jauh.
"Kalau keluargamu ada disini kenapa kamu tinggal di Singapura?"
Alex terdiam sejenak sebelum ia menjawab, "Karena aku tidak bisa tinggal di Indonesia."
"Kenapa?"
"Beberapa orang bisa menerima ibuku tapi tidak dengan aku. Apa lagi saat itu usiaku dan Mat tak beda jauh. Hal itulah yang membuat keluarga Papah menentang kehadiranku untuk tinggal bersama mereka. Karena mereka takut aku akan menguasai kekayaan Dimitri."
Nidya hanya mengangguk, ada rasa bersalah ketika ia mendengar penuturan Alex yang seperti diasingkan oleh keluarga Mat.
"Lalu kenapa kamu datang lagi ke sini?"
Ia tersenyum lalu menoleh ke arah Nidya. "Salah satunya karenamu," ungkapnya.
"A-aku?"
Alex mengangguk kemudian berucap, "Apa kamu lupa kalau dulu kita pernah bertemu di Singapura?"
Nidya mengingat sesuatu tentang Alex. Namun, sayangnya tidak ada yang ia ingat sama sekali.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Nidya. Alex tertawa terbahak-bahak, ia tak mau menjawab pertanyaan Nidya agar dia penasaran dengan awal pertemuan mereka.
***
Sabrina menatap Mat yang sedari tadi hanya diam tak memperdulikan kehadirannya.
"Kamu yakin tidak akan kembali ke Singapura bersamaku?" tanya Sabrina.
"Pekerjaanku masih banyak disini," jawab Mat datar.
"Biasanya kamu hanya akan tinggal beberapa hari disini, sekarang sudah hampir sebulan kamu tinggal disini," ucap Sabrina.
"Kenapa kamu jadi cerewet seperti ini? Kalau kamu mau pergi ke Singapura, pergilah. Aku masih ada urusan disini."
Sabrina terus menatap wajah pria yang sedang sibuk dengan laptopnya. Ia berjalan mendekati Mat, lalu melingkarkan tangannya di leher suaminya itu. Namun, Mat melepaskan pelukan Sabrina, membuat wanita itu kesal.
"Kenapa kamu selalu menolakku dan memperbolehkan wanita penghibur menyentuh serta menikmati tubuhmu? Aku ini istrimu tapi kamu tak pernah menyentuhku."
Mat menutup laptopnya dengan kasar. Ia kemudian beranjak dari kursi, melewati Sabrina yang masih berdiri disana. Sabrina tak bisa berkutik, ia mengepalkan tangannya lagi-lagi di acuhkan oleh Mat. Ia lalu menghubungi Leo untuk segera mengantarnya ke Bandara.
Sedangkan Mat, mengambil kunci mobilnya berlalu meninggalkan apartemen yang saat ini tengah di huni oleh Sabrina. Ia sengaja datang ke apartemen Nidya, berniat menemuinya. Namun, sesampainya di sana, Mat tidak bisa masuk ke dalam apartemen tersebut. Password yang ia masukan selalu salah.
"Kenapa tidak bisa, apa dia mengganti password apartemen?" batin Mat. Ia lalu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Nidya. Namun, panggilannya tidak di jawab bahkan pesannya pun di abaikan. "Sial!" Mat melihat layar ponselnya ketika notif pesan masuk.
Laras : Bisakah kamu datang ke rumah? Sudah lama kita tidak makan malam bersama.
Mat hanya membaca pesan dari ibu tirinya itu tak berniat membalasnya. Namun, jemarinya seketika terhenti ketika melihat story Alex yang menampilkan foto dirinya dengan seorang wanita. Meski hanya menampilkan punggungnya saja, Mat tahu jika pemilik punggung itu adalah Nidya. Ia kemudian menghubungi Alex untuk bertanya dimana keberadaannya.
"Halo, Mat," sapa Alex saat mengangkat panggilannya.
"Alex, kamu dimana?"
"Aku sedang berada di taman, ada apa?" tanya Alex.
Hening sesaat sebelum akhirnya Mat kembali bertanya, "Apa kamu sedang berkencan?"
"Iya, aku sedang berkencan." Mat mengepalkan tangannya mendengar penuturan adik tirinya itu. "Alex." Kini Mat mendengar sendiri suara Nidya yang memanggil nama Alex. "Baiklah, nanti aku hubungi lagi."
Mat berteriak frustasi mendengar suara Nidya yang kini tengah bersama Alex. Ia lalu pergi dari apartemen Nidya menghubungi Leo untuk segera menjemputnya di apartemen Nidya. Lima belas menit menunggu akhirnya Leo datang dengan wajah yang begitu panik.
"Ma-"
Belum selesai bicara, Mat langsung masuk ke dalam mobil. Leo hanya menghela napasnya lalu masuk ke dalam mobil.
"Antar aku ke bandara," ucapnya.
Leo tak banyak bicara, ia lalu mengantar atasannya itu ke Bandara. Padahal ia baru saja mengantar Sabrina ke Bandara untuk kembali ke Singapura.
"Apa kamu akan kembali ke Singapura?" tanya Leo.
"Iya."
"Aku belum membeli tiket pesawat untukmu," ucap Leo.
"Tidak perlu, aku sudah memesannya."
Leo melirik ke arah kaca depan mobil untuk melihat Mat yang berada di belakangnya. Ia terus memperhatikan atasannya saat akan mulai mengajaknya berbicara.
"Ehm ... kenapa kamu tidak pulang bersama Sabrina?"
"Sejak kapan kamu bertugas mencampuri urusanku?" Leo melipat bibirnya, ia lupa jika Mat dalam mode marah dan ia tidak tahu kenapa atasannya itu bisa semarah itu. "Hubungi Nidya, suruh dia bawa berkas pekerjaanku ke Singapura."
"Baik."
Mat menyandarkan punggungnya di kursi. Ia masih mencoba menghubungi Nidya tapi panggilannya diabaikan.