"Aku mencintaimu Nidya."
Seketika Nidya membuka matanya karena terkejut dengan ucapan seorang pria yang menyatakan cinta kepadanya.
"Astaga," ucap Nidya melihat Mat sedang duduk memandangi wajahnya.
"Kamu sudah bangun?" Nidya menggeser tubuhnya, lalu menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang. Ia merasakan pusing di kepalanya akibat minum alkohol terlalu banyak.
Tanpa bicara Mat berdiri lalu memberikan sebotol obat pengar ke nakas kemudian berlalu meninggalkan Nidya sendiri di sana. Melihat sikap pria yang pergi dari hadapannya membuat Nidya kesal. Ia berniat beranjak dari ranjang, tapi ia urungkan ketika sadar jika dirinya tidak berpakaian sama sekali.
"Ah, sial," gumamnya.
Tangannya meraih botol obat pengar lalu meminumnya. Setelah itu, Nidya beranjak dari ranjang untuk membersihkan tubuhnya.
Sementara itu, Mat tengah membuat sarapan untuk mereka berdua. Ia tak mempedulikan ponselnya yang sedari tadi berdering menunjukkan nama Sabrina di sana. Dua puluh menit berkutat dengan wajan dan spatula akhirnya Mat berhasil membuatkan sandwich serta kopi untuk Nidya. Sesaat matanya menatap ke pintu kamar yang sedari tadi tidak terbuka.
"Apa dia tidur lagi ya," batin Mat.
Ia kemudian menyajikan sarapannya di meja makan. Namun, saat akan melangkah ke kamar, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka menampilkan Nidya yang sudah segar dengan handuk yang di lilitkan di atas kepalanya.
"Kemarilah," ajak Mat.
Nidya berjalan mendekati Mat, lalu duduk di kursi yang ada di depannya. Nidya masih kesal dengan sikap Mat tadi, ia pun mencoba mengacuhkan atasannya dan berharap pria itu tak mengajaknya bicara. Sedangkan Mat terus memperhatikan Nidya, ia menunggu reaksi wanita yang ada di hadapannya setelah memakan sarapan yang dia buat.
"Ehm ... apa kamu tidak suka dengan makanan yang aku buat?" tanya Mat.
"Kalau aku tidak suka mungkin sudah aku buang," jawab Nidya. "Apa kamu menganggapku sebagai karyawanmu?"
Mat menyimpan sandwich ke piringnya lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Iya."
Nidya mengangguk kemudian berkata, "Kalau begitu perlakukan aku sebagai karyawanmu bukan sebagai w************n yang biasa kamu tiduri seenaknya."
"Apa kamu merasa aku memperlakukanmu seperti itu?"
"Iya. Kamu membuangku setelah apa yang kamu dapatkan dariku."
"Ah, apa kamu ingin penjelasan atas kejadian semalam?" Suara Nidya tercekat mendengar ucapan Mat. "Kamu yang datang sendiri kepadaku. Apa kamu lupa jika semalam kamu menari indah diatasku."
Nidya mencoba mengingat apa yang dilakukannya semalam. Ia memejamkan matanya ketika mengingat jika dirinya begitu liar semalam. Tak ingin membahas hal itu lagi, Nidya lalu memakan sarapannya hingga habis kemudian meninggalkan meja makan.
"Tunggu," ucap Mat menghentikan langkah kaki Nidya. "Ganti pakaianmu, karena kamu harus bekerja."
Nidya berdecak, kepalanya masih terasa pusing tetapi Mat malah menyuruhnya bekerja. Ia lalu masuk ke dalam kamar mencari tasnya untuk mengambil pil yang biasa ia minum setelah berhubungan.
***
Mat terus melirik ke arah nidya yang tengah mencatat percakapan dirinya dengan rekan kerjanya. Sesekali menoleh ke arah pria yang sedang duduk di samping rekan kerjanya yang terus memperhatikan Nidya.
"Ehm, apa kamu sudah menulis semuanya?" tanya Mat kepada Nidya mengalihkan perhatian mereka yang ada di sana.
"Sudah, aku sudah menulis semuanya, Pak."
Mat mengangguk, lalu kembali fokus dengan rekan kerjanya. "Baiklah, nanti sekretaris saya akan mengantarkan berkas yang sudah ditandatangani," ucap Mat.
Nidya refleks menoleh ke arah Mat, ia yakin jika pria yang ada di hadapannya itu akan menyuruhnya kembali melayaninya rekan kerjanya.
"Terima kasih Mr. Mat, senang berkerja sama dengan anda."
Mat dan rekan kerjanya saling berjabat tangan diikuti Nidya yang juga menjabat tangan rekan kerja serta sekretarisnya. Nidya mengikuti langkah Mat sembari membawa dokumen yang sudah mereka tanda tangani. Namun, langkah Nidya tertahan ketika Mat berhenti didepan pintu.
"Apa kamu menyuruhku melayani pria itu?" tanya Nidya tak ingin masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Maksudmu? Ah, apa kamu pikir aku akan memintamu melayani rekan kerjaku?" Nidya mengangguk, karena terakhir kali Mat melakukan hal itu kepadanya. Mat menarik tangan Nidya membawanya masuk ke ruangan tersebut. "Ini kantorku, bukan kamar hotel. Lagi pula aku tidak akan membiarkan pria mana pun menyentuhmu."
Sudut bibir Nidya terangkat ketika Mat berjalan membelakanginya. Ia lalu berdiri di depan meja Mat, melihat ke sekeliling.
"Kenapa tidak ada foto pernikahanmu?"
"Apa pria yang sudah menikah harus menyimpan foto pernikahannya di kantor?"
Nidya mengedikkan bahunya, karena tak semua pria berkeluarga memajang foto keluarganya di meja kerjanya. Hanya beberapa pria yang benar-benar menjadikan keluarganya semangat dan motivasi yang menyimpan foto keluarga di meja kerja mereka.
"Jadi, apa pekerjaanku disini?" tanya Nidya.
Mat membuka berkas yang dibawa oleh Nidya lalu menjawab, " Kamu hanya perlu diam dan mengagumi ketampananku."
Nidya tertawa mendengar penuturan Mat. Untuk sesaat Mat terpesona melihat tawa Nidya, ini pertama kalinya ia melihat senyum dan tawa Nidya setelah pertemuan kembali mereka. Mat kemudian beranjak dari kursi, lalu mendekati Nidya.
"Bisakah kamu tersenyum lagi untukku?"
"Ehm ... aku akan membantumu bekerja." Kilah Nidya yang tak ingin kembali terjerat pesona mantan tunangannya dan melupakan niatnya untuk balas dendam. Ia lalu membuka berkas yang ada di meja Mat dan membuka lembaran yang harus di tandatangani.
Dengan gayanya yang angkuh, Mat berjalan melewati Nidya lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Suara dering ponsel mengacaukan keheningan diantara keduanya.
"Halo, selamat siang," sapa Nidya.
"Halo, Nidya. Aku Jimmy sekretaris Mr. Lim."
"Ah iya, ada apa Pak. Apa ada yang bisa aku bantu?"
"Sebenarnya ini diluar pekerjaan. Bisakah kita bertemu nanti malam?"
Pertanyaan Jimmy sontak membuat Nidya merencanakan sesuatu, ia pun sengaja sedikit meninggikan ucapannya agar Mat mendengar percakapan mereka.
"Nanti malam sepertinya aku tidak ada acara. Baiklah kita bertemu di Restoran Cilli jam 7 malam," putus Nidya.
"Oke, sampai bertemu di sana.
Nidya tersenyum lalu mematikan panggilannya. Tanpa ia sadari Mat sudah berdiri didepannya.
"Siapa yang menghubungimu, Alex?" desak Mat.
"Bukan. Dia sekretaris Mr. Lim," ucap Nidya santai. "Bagaimana dengan berkas dari divisi akunting apa sudah di tanda tangani?"
"Sial! Aku sengaja membawanya ke sini agar tidak bertemu dengan Alex. Dia malah bertemu dengan pria lain disini," batin Mat. "Jam tujuh kita ada pertemuan dengan klien. Jadi, batalkan rencanamu itu."
Nidya menyeringai, ia tahu jika Mat akan melakukan itu karena tidak memperbolehkannya pergi dengan Jimmy.
Ingatan Nidya kembali saat ia masih menjalin kasih dengan Mat, 10 tahun yang lalu. Saat Nidya masih bekerja sebagai pegawai magang di perusahaan ayah Mat. Pertemuan yang diawali kesalahpahaman diantara Nidya dan Mat.
"Permisi ... maaf," ucap Nidya saat ia membawa banyak berkas sampai menutupi wajahnya. "Hei, maaf tolong tekan lantai 6." Nidya meminta tolong Mat yang berdiri di sampingnya, tanpa mempedulikan ekspresi wajah para karyawan yang berdiri di belakang mereka.
Mat lalu menekan lantai 6 berdiri di samping Nidya. Ia meneliti penampilan wanita yang ada di sampingnya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Ia tersenyum saat melihat id card yang terpasang di lehernya.
"Nidya," batinnya.
Tak lama pintu lift terbuka, Nidya kembali menoleh ke arah Mat. "Permisi, apa ini lantai 6?" tanya Nidya.
"Iya, ini lantai 6," jawabnya.
"Oke, terima kasih."
Nidya lalu keluar dari lift yang ternyata berhenti di lantai 5. Para karyawan yang berada di belakang Mat terkekeh melihat apa yang dilakukan atasannya itu. Hal itu di ketahui oleh Mat yang langsung memutar tubuhnya menghadap karyawannya.
"Apa yang kalian tertawakan?" Hening sesaat tidak ada yang berani membuka mulutnya, mereka pun hanya menunduk karena takut akan Mat. "Harusnya kalian memberitahu wanita itu jika ia keluar di lantai yang salah. Apa seperti ini kerja tim kalian, yang hanya mementingkan diri sendiri tak mau membantu sesama teman atau divisi lain?"
Semua diam, mereka tidak berani keluar meski lantai yang mereka tuju sudah terlewat. Setelah mengeluarkan unek-uneknya, Mat menoleh ke arah pintu lift yang terbuka tepat di lantai 10. Ia melangkah keluar tanpa mempedulikan karyawannya yang takut di pecat oleh sang Bos.
"Hai, Mat. Kenapa dengan wajahmu, apa kamu sedang kesal?" tanya Leo.
"Cari tahu karyawan magang bernama Nidya."
"Untuk apa?" Mat memicingkan matanya tanda ia tidak suka jika Leo banyak tanya. Leo mengangkat tangannya, kemudian pergi ke mejanya meninggalkan Mat.
Sementara itu, Nidya menghela napasnya karena sudah dibodohi oleh Mat. Terpaksa ia kembali masuk ke dalam lift untuk sampai di lantai 6. Sesampainya di divisinya, Nidya harus mendengar omelan seniornya yang kesal karena telah menunggu lama. Nidya hanya bisa meminta maaf sembari mengerjakan semua pekerjaan yang di perintahkan oleh seniornya. Bahkan dia harus rela tidak makan siang karena harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat.
"Nidya," sapa seorang pria.
"Iya," ucap Nidya menoleh ke sumber suara. "Kamu." Nidya beranjak dari kursi, melangkah menghampiri Mat. "Gara-gara kamu aku di marahi, gara-gara kamu juga aku tidak bisa makan siang."
Mat mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling. Hanya Nidya yang sibuk bekerja sedangkan yang lain tengah beristirahat makan siang.
"Ayo, kita makan," ajak Mat.
"Kamu tidak lihat di mejaku banyak sekali pekerjaan?"
"Hanya karena kamu telat, kamu tidak di perbolehkan beristirahat?" tanya Mat lagi untuk memastikan. Nidya mengangguk, lalu kembali duduk di mejanya.
Mat mengeluarkan ponselnya kemudian mengirim pesan kepada Leo untuk membelikan Nidya makan siang. Sedangkan ia pergi dari ruangan Nidya, meninggalkannya sendiri.
"Dengan Nona Nidya?"
"Apa lagi," ucap Nidya dengan nada kesal. Ia bergegas berdiri ketika melihat Leo yang mengantarkan sendiri makan siang untuknya. "Ma-maaf Pak."
"Tidak apa-apa. Ini makan siang untukmu," ucap Leo.
"Te-terima kasih Pak. Tapi bener ini untuk saya?"
"Iya, ini sebagai ucapan maaf Pak Matheo karena sudah membuatmu tidak bisa makan siang, karena ulahnya."
"Pak Matheo. Ah mungkin anda salah paham Pak, aku belum pernah bertemu dengannya," ucap Nidya polos. "Tunggu, jangan-jangan pria itu CEO M&D?"
"Nidya. Hei, apa kamu mendengarku?" Suara Mat menyadarkan Nidya dari lamunannya. Pria yang ada di hadapannya kini terlihat berbeda, dengan yang dulu ia kenal. "Cepatlah, kita akan terlambat."
Nidya menghela napasnya dan berjalan mengikuti Mat di belakangnya.