19 Juli 2015...
Hari minggu adalah jadwalku untuk latihan teater. Biasanya latihan akan dimulai dari jam sepuluh pagi dan baru pulang saat jam lima sore. Anehnya walau kadang merasa lelah dan juga memakan waktu libur, aku tak pernah mengeluh untuk datang latihan. Entahlah, aku merasa nyaman berada dilingkaran teater, dari pada berada dirumah dan tidak melakukan apa pun--seperti yang orang lain lakukan ketika weekend.
Sambil menikmati lagu yang mengalun melalui headset, aku melangkahkan kaki ke belakang gedung teater--tempat biasa kami latihan. Disana ada sebuah lapangan kosong yang sering kami gunakan untuk berlatih. Pinggiran lapangan terdapat pohon-pohon besar yang melindungi kami dari panasnya terik matahari, membuat kami merasa nyaman. Apa lagi ketika angin mulai berhembus pelan, rasanya aku ingin tidur saja dibawah pohon itu.
Masih dengan langkah pelan, dari tempatku berdiri, aku melihat Abdee yang berdiri membelakangiku. Ia terlihat cukup serius menatap sesuatu yang berada ditangannya--entah apa itu, aku juga tidak tahu. Sesekali dia akan mengusap belakang lehernya, pertanda jika dia tengah kebingungan.
Cintaku inginkan kau menjadi milikku
Cintaku tak perlu ku ungkap kepadamu
Namun perasaanku jadi tak menentu
Karna kau slalu ada di benakku
Lagu yang aku dengarkan sebelumnya beganti jadi lagu milik Ashira Zamita yang berjudul Ku Cinta Nanti. Dan saat lagu sampai dilirik itu, aku merasa seperti menyatu dengan lagu yang aku dengarkan.
Cintaku inginkan kau menjadi milikku.
Iya, aku sangat berharap jika Abdee bisa menjadi milikku. Tapi aku rasa itu tidak mungkin terjadi, karena dia sahabatku.
Cintaku tak perlu ku ungkap kepadamu.
Jadi yang bisa aku lakukan sekarang, cukup memendamnya saja. Karena aku tidak ingin dia tahu tentang perasaanku ini dan akhirnya membuatnya menjauh. Tidak! Aku tidak mau itu terjadi.
Namun perasaanku jadi tak menentu, karena kau slalu ada dibenakku.
Tapi disaat aku memilih untuk memendamnya, perasaanku malah jadi tidak menentu. Apa lagi saat melihat berapa banyak cewek-cewek diluar sana yang berusaha mencuri perhatiannya.
Aku cemburu! Tapi lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalimat persahabatan itu, lagi-lagi membuatku harus memendam perasaan serapi mungkin agar Abdee tidak tahu.
Jika kalian tanya, sejak kapan aku menyukainya. Aku juga tidak tahu pasti kapan itu terjadi. Karena semuanya berjalan begitu saja seiring berjalannya waktu. Tiba-tiba saja aku sering merasa berdebar ketika berada didekatnya. Atau aku akan merasa malu saat ia menatap mataku.
Ketika jarak antara aku dan Abdee sudah semakin dekat, aku menghentikan langkah. Memilih untuk mematikan lagu diponselku, melepaskan headset dari telingaku. Kemudian kembali melangkah menghampirinya.
"Hei," aku menepuk bahu Abdee pelan. Membuatnya sedikit terkejut.
"Lo bikin kaget aja sih!" protesnya.
Aku terkekeh pelan. "Lagian lo serius banget. Sampe nggak sadar kalo gue dibelakang lo," aku melepaskan tas dari punggungku, meletakkannya di dekat tas Abdee dan menyusul duduk diundakan pinggir lapangan. "Kok cuma lo sendirian? Yang lain mana?"
Abdee ikut duduk dihadapanku. Ia duduk bersila menghadapku dengan tangan memegang selembar kertas. Aku yakin, pasti isi kertas itu yang membuatnya begitu fokus tadi.
"Yang lain gue suruh buat ngumpulin properti dulu."
"Kok gue nggak disuruh juga?"
"Sengaja."
Aku mengernyit. "Kok sengaja sih?"
"Iya, gue sengaja nggak nyuruh lo buat ngumpulin properti karena lo bakal gue suruh buat bikin tata panggung," ia tersenyum diakhir kalimat.
"Ih curang lo! Masa gue sendirian bikin tata panggungnya."
"Nggak sendirian kok. Gue yang bakal bantuin lo, sama anak-anak lain juga sih."
Aku segera mengalihkan pandanganku kelain arah. Berpura-pura menatap langit cerah. "Terus gue latihan aktingnya gimana? Gue 'kan aktor," ucapku sambil menatapnya sejenak, lalu kembali menatap langit.
"Hari ini jadwal latihan akting cuma dua jam. Jam 12 kita *isoma, terus lanjut buat bikin properti panggung."
Aku mengangguk-angguk pelan. "Oh gitu,"
"Iya."
"Terus kertas ditangan lo itu apa?"
"Ini tata panggung."
"Kok tadi gue liat lo serius banget liatnya. Kenapa?"
"Ini....gue bingung nentuin warna buat tulisan 'MELAWAN'. Gue mau tulisannya itu bisa kebaca sampe ke penonton yang ada di paling atas. Menurut lo bagusnya warna apa?"
"Kan temanya kemerdekaan, kenapa nggak pake warna merah aja?"
"Gue juga mikirnya gitu, tapi apa lo yakin tulisannya bakal kebaca sampe ke atas."
Aku terdiam sejenak. Memikirkan apa tulisannya bisa terbaca atau tidak. "Kalo masalah kebaca atau nggaknya, kenapa nggak kita coba bikin contohnya dulu aja?"
Abdee mengangguk, terlihat setuju dengan usulanku. "Oke, nanti kita buat contohnya dulu. Dan lo harus bantuin gue." ia menunjukku.
"Siap, bos!" aku memberikan hormat padanya. Membuat dia terkekeh lalu mengacak rambutku.
Aku menahan nafas. Astaga, jantungku!
****
Rasa lelah aku rasakan ketika selesai latihan teater. Sambil duduk dipinggir lapangan, aku menenggak air minum yang aku bawa dari rumah. Tapi baru dua tenggak, seseorang merebut botol minumku, membuat percikan air sedikit membasahi baju dan celanaku.
"Dee!" teriakku kesal. Aku mendelik padanya, sementara bibirku memberenggut. Aku menunggunya selesai minum, baru setelah itu mengomelinya. "Kebiasaan banget deh suka ngerebut minum gue!"
Abdee tersenyum tanpa dosa padaku. Ia menyerahkan botol minumku yang isinya sudah tinggal sedikit. Aku pun merebut kembali botol minumku, memasukkannya dalam tas, baru kemudian aku menatap Abdee lagi.
"Basah nih baju gue jadinya!" omelku, masih kesal dengan kelakuannya tadi.
"Maaf deh,"
"Lo mah selalu minta maaf, tapi nanti pasti diulangin lagi."
Abdee kembali terkekeh. "Ya mau gimana lagi. Udah jadi kebiasaan,"
Aku berdecak. "Bodo ah!" aku hendak berdiri, tapi Abdee menahanku. Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku, lalu ganti menatap matanya. "Apaan?"
"Lo mau kemana?"
"Mau jauh-jauh dari lo!"
"Gitu aja ngambek sih," Abdee menarik tanganku untuk membantunya berdiri, membuatku hampir terjatuh andai dia tak segera menahan bahuku.
"Tuh kan!"
"Hehehe maaf,"
"Ngeselin lo!"
"Lo nggak boleh pergi, ya." ucapnya setelah melepaskan genggaman tangannya.
"Kenapa gitu?"
"Lo udah janji buat bantuin gue bikin tata panggung,"
Aku mengangkat satu alisku. "Gue nggak bilang janji tuh tadi," ucapku, sengaja menggodanya.
"Je," ia menyebut namaku penuh peringatan. Dan entah kenapa aku suka saat ia menyebut namaku seperti itu.
"Apa?"
"Jangan main-main sama gue,"
"Siapa yang mau main-main sama lo sih. Kan gue emang nggak janji tadi," aku berusaha keras untuk menahan senyuman saat melihat eskpresi datar diwajahnya itu.
"Oh jadi gitu," ia melangkah mendekatiku. Yang otomatis membuat langkahku mundur.
"Lo mau ngapain?" aku menatap waspada Abdee. Apa lagi saat melihat 2 jadi telunjuknya sudah terangkat di depan dadanya. Astaga! Sepertinya aku tahu dia mau melakukan apa.
"Kenapa mundur gitu?" ia tersenyum miring padaku. "Takut?"
Sialan! Kenapa Abdee harus tahu kelemahanku yang satu ini sih?
Tapi demi menjaga image, aku terpaksa mengangkat tinggi daguku, seakan menantangnya. Padahal dalam hati aku sudah bisa membayangkan bagaimana gelinya ketika jari telunjuk itu menggelitik perutku. Untuk sejenak aku merasa merinding membayangkannya.
"Oke! Gue nyerah, gue bakal bantuin lo." pada akhirnya aku harus menyerah. Apa lagi ketika telunjuknya sudah begitu dekat denganku.
"Ha? Apa? Gue nggak denger lo ngomong apaan."
Aku menggeram pelan. "Gue janji bakal bantuin lo. Puas?"
Abdee tersenyum lebar. Ia menurunkan kedua tangannya. "Gitu dong dari tadi."
Aku mencibir padanya. "Lo curang. Kenapa harus pake gelitikan segala."
"Itu namanya penawaran," Ia mengulurkan tangannya padaku. "Kita deal dulu dong."
Tanpa rasa curiga, aku tentu saja langsung menjabat tangannya. Tapi ternyata itu sebuah kesalahan, karena hal itu memudahkannya untuk menarikku mendekat, dan masuk ke pelukannya.
Aku langsung menahan nafas saat pipiku tanpa sengaja menabrak dadanya.
"Lo nggak bisa lepas gitu aja, Je." aku mendengarnya berbisik ditelingaku.
Suaranya, hembusan nafasnya, dan juga bau tubuhnya, membuatku tak bisa bergerak. Namun itu hanya sementara, karena semuanya langsung tergantikan oleh teriakan nyaring dariku saat ia mulai menggelitiki perutku.
Sial! Aku tertipu.