Kali Ini; Pernikahan Masih Ihwal yang Mengerikan Bagi Kinanti

1167 Kata
MIRNA baru saja tiba di rumahnya malam itu, ia baru saja pulang dari pengajian ibu-ibu di komplek perumahan. Ketika hendak masuk kamar, telepon selularnya berbunyi nyaring. Nada panggilan dari Kinanti. Mirna tersenyum mengetahuinya lalu segera menempelkan benda itu di telinga kirinya. Ia berdiri di ambang pintu. “Ma, Kinan lagi gembira...” ucap Kinanti dari seberang sana. “Alhamdulillah,” ucap Mirna. “Apa lantaran daganganmu laris?” “Benar, Ma. Malah habis sebelum waktunya,” jelas Kinanti bangga. “Syukurlah. Mama senang mendengarnya. Besok, Mama seperti biasa jemput anak-anakmu ke rumahmu, ya?” “Ya, Ma... tapi Kinan ko jadi merasa berdosa pada Mama.” “Berdosa kenapa?” “Selama ini Kinan selalu merepotkan Mama. Padahal, menyuruh orang tua terlebih ibu untuk mengasuh anak-anak kita itu... itu sangat tidak diperbolehkan.” “Kamu tidak menyuruh, tapi Mama sendiri yang berkenan. Sudahlah, tidak usah kau pikirkan. Mama mendengar kau gembira karena jualanmu yang laris, itu pun hal membahagiakan buat Mama. Mama bisa mengantar jemput anak-anakmu itu pun jauh lebih membahagiakan. Dan... dan...” Mirna menggantung ucapannya memantik rasa penasaran. “Dan apa, Ma?” tanya Kinanti. “Mmm...” “Apa yang hendak Mama bilang, ko mendadak terputus?” desak Kinanti. “Mama... akan sangat berbahagia bila... kau memiliki suami lagi tetapi bukan menikah kembali dengan Andika. Cari lelaki lain yang baik, yang akan menyayangimu juga anak-anakmu, yang akan bertanggungjawab pada kehidupanmu, yang tak akan menduakan hatinya untuk perempuan lain, yang...” “Mama!” seru Kinanti. “Kinan tak mau memikirkan laki-laki, Ma!” “Ya, mungkin untuk saat ini.” “Untuk selanjutnya pun, tidak, Ma.” “Jangan begitu, kau masih muda.” “Sudahlah, Ma. Kinan tak mau Mama desak Kinan!” kilah Kinanti tak suka. “Mama tak mendesak tetapi menyarankanmu. Harapan setiap ibu itu sama, ingin agar anaknya bahagia.” “Kebahagiaan Kinan tak harus bersumber karena Kinan yang harus menikah lagi.” “Tapi pernikahan itu pembuka kebahagiaan-kebahagiaan lainnya, Kinan.” “Saat ini, Kina sudah bahagia bersama ketiga anak Kinan. Albani, Baginda, dan Satria. Terlebih, kini Kinan baru mulai usaha baru, jualan mi ayam. Hasil dari keuntungannya... kalau untuk keperluan sehari-hari, cukup... alhamdulillah. Semoga besok-besok, Kinan bisa menyisihkan uang untuk menabung agar bisa menyimpan untuk keperluan di hari mendatang. Anak-anak Kinan akan kian membesar dan tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Kinan tak mau sampai anak-anak tidak mengecap pendidikan, Mama.” Mirna menghela napas. “Kau tak bisa selamanya hidup sendiri.” “Kinan tak hidup sendiri. Ada anak-anak. Kami berempat selalu bersama.” “Beda, Kinan. Kau tetap butuh pelindung dan bisa kaudapatkan dari seorang lelaki.” “Lelaki yang mana, Mama? Lelaki yang akan menyakiti Kinan lagi?” “Bukan Andika! Mama juga sudah benci padanya!” “Lalu Mama berharap pada lelaki mana lagi? Saat ini, tak ada lelaki mana pun yang dekat dengan Kinan apalagi yang berkehendak memperistri Kinan. Itu mustahil, Mama!” “Kenapa mustahil? Kau cantik! Siapa pun mengakui kecantikanmu! Kau juga wanita cerdas!” Kinanti mendecak. Jadi sedikit kesal pada Mirna. Tadinya, dia ingin berbagi kegembiraan perihal usaha jualannya, tetapi tanggapan ibunya malah melebar pada hal-hal lain. Hal yang sama sekali tak diinginkan Kinanti. Menikah. Kata itu terkadang menciptakan kengerian pada benaknya. Belum bisa dilupakannya peristiwa yang sempat memporakporandakkan rumah tangganya. Dia tak mau terbenam pada masalah serupa bila menikah lagi kendati dengan lelaki yang berbeda. Kegagalan rumah tangganya yang telah lalu, menipiskan harapan dan menguatkan keraguan untuk kembali mengarungi samudera rumah tangga, siapapun nakhoda yang akan mengajaknya berlayar. *** Mirna, perempuan berusia lima puluh tahun itu merasa dikejar-kejar rasa bersalah lantaran pernah mendesak Kinanti di masa muda untuk menikah dengan Andika. Lantaran kekayaan yang menjadi tujuan utama. Mirna tak sempat menganl sosok Andika secara lebih dalam. Kala itu, Kinanti baru saja beres kuliah. Dia masih ingin leluasa mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Kinanti saat itu tidak tengah menjalin hubungan kasih dengan lelkai mana pun—di samping dirinya yang tak mau sembarangan memilik teman dekat jenis laki-laki. Dia cukup menjaga jarak dengan kaum hawa. Saat dia baru saja merancang untuk melamar pekerjaan ke beberapa tempat yang sudah terdata di daftar pencarian yang disiapkannya, Mirna malah memperkenalkan dengan Andika. Bila melihat dari luar, siapa perempuan yang tak suka dengan sosok lelaki itu? Lantaran desakan yang terus dilancarkan Mirna, Kinanti pun akhirnya luluh. Dia pun menerima pinangan Andika. Lelaki yang kala itu baru dikenalnya. Pernikahan yang terkesan terburu-buru. Kebaikan Andika hanya tampak dari luar karena di belakang itu, dia menjadi sosok suami yang menyakiti perasaan istri yang begitu mengasihinya. Kinanti sudah berusaha belajar mencintai Andika meski tak mudah tetapi mendapat kekecewaan. Suatu hari, Andika kembali dan mengajaknya membangun kembali rumah tangga. Kinanti pikir, Andika akan berubah tetapi ternyata sebaliknya. Andika masih seperti sebelumnya. Pernikahan kedua itu pun atas saran Mirna yang lagi-lagi, Kinanti tak mampu menolak. “Lalu.... bila Bu Mirna menyesal karena pernah mendesak Nak Kinan menikah dengan lelaki yang salah... kenapa kini malah berusaha mendesak lagi Nak Kinan untuk kembali memiliki suami?” ucap Hamidah, tetangga Mirna yang sudah seperti saudara bagi Mirna. Terutama semenjak suami Mirna meninggal dunia, beberapa tahun lalu. “Tentu maksud saya agar Kinan menikah dengan lelaki lainnya yang baik dan akan menyayanginya juga ketiga anaknya. Saya ingin lihat Kinan bahagia bisa berumah tangga lagi. Dia butuh pelindung, butuh imam... butuh ayah buat anak-anaknya juga. Andika tak pernah menemui anak-anaknya. Dia terjerat oleh istri barunya yang berhasil melarang Andika untuk tidak memperhatikan Albani, Baginda, dan Satria. Cuvu-cucu yang sangat saya sayangi.” Mirna dan Hamidah berbincang di beranda, selepas isya. Di atas meja kecil yang memisahkan kursi mereka, tersaji dua cangkir berisi teh manis lemon yang masih panas mengepul. Di samping cangkir itu, ada sepiring kecil kudapan manis. Di langit, malam berbintang. Tampak indah. “Apakah Nak Kinan ada sedang dekat dengan seorang lelaki?” tanya Hamidah. “Itu yang saya tanya pada anak saya.” “Dan jawaban Nak Kinan?” “Dia tak mau menjawab malah marah pada saya. Dibilangnya, saya terlalu mengatur hidupnya. Dia bilang, dia tak mau gagal berumah tangga untuk yang kedua kalinya. Saya memahaminya makanya saya berharap Kinan mendapat lelaki yang baik yang akan menjadi suaminya.” “Kalau menurut saya, sepertinya... Nak Kinan tak mau terburu-buru menikah lagi. Dia butuh berpikir matang. Menimbang-nimbang. Terlepas apakah saat ini dia tengah dekat dengan seorang lelaki ataupun tidak.” “Saya juga tidak minta dia memutuskan segera tetapi saya ingin kepastian.” Hamidah tersenyum. “Sebagai orang tua... kita tentu harus lebih bijak menyikapinya, Bu Mirna. Kita hanya bisa berharap tetapi kembali lagi pada Sang Maha Pengatur.” “Hemm, manusia itu tak lepas dari usaha kan, Bu Hamidah...” “Benar. Tapi kembali pada Nak Kinan... bagaimana kondisinya saat ini. Menurut saya, dia butuh waktu yang tidak sebentar. Mengingat pernah melewati masa-masa yang tak bagus di saat pernikahan sebelumnya. Saran saya, jangan desak dia, Bu Mirna. Biar saja alami... biar dia yang nanti akan menentukannya toh lama-lama dia pun mungkin merasa kesepian hidup tanpa suami meski ada anak-anaknya.”***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN