Tidak Ada Kamus Gengsi dalam Hidupnya

1551 Kata
DALAM beberapa bulan, dagangan Kinanti laris manis. Orang-orang sekitarnya banyak yang suka dengan racikan mi ayam yang dijual Kinanti. Hari-hari Kinanti teramat ceria, dia begitu bersemangat menjalaninya. Namun, jalan mulus tak bisa terus dilaluinya ketika di bulan keenam, pelanggan tetapnya berkurang lalu jarang sekali yang membeli mi ayamnya. Bahkan orang-orang yang sepintas yang biasanya lewat dan singgah untuk membeli juga, mendadak tidak seorang pun yang muncul. Sedikit sekali yang ingin membeli mi ayam Kinanti. “Tetap semangat, jualan itu sudah biasa, pasang surut, ada saat laris, ada saat penjualan turun. Bahkan temanku yang jualan baso di simpang tiga itu, malah turun drastis. Mi ayam daganganmu... buktinya masih ada pengunjung yang mau beli meski tidak selaris sebelumnya.” Siti selalu menyemangatinya dan mendukungnya. Terlebih ketika perempuan berdarah Jawa itu mendapati Kinanti tengah bengong di dalam rumah mungilnya, Kinangti membiarkan pintu terbuka lebar, dia duduk di kursi sembari menunggu ada yang datang untuk membeli. “Ya, aku paham, tapi kalau terus-terusan begini...” “Terus-terusan bagaimana?” Siti memotong ucapan Kinanti yang belum selesai. Dia duduk di kursi yang tak jauh dari tempat duduk Kinanti. Duduk berhadapan dibatasi meja tanpa taplak. Taplak meja yang hanya satu, kotor karena tertumpah minuman jus oleh Satria. Dan belum smepat dicucinya. “Ya, terus-terusan menghadapi situasi seperti ini, aku yang baru pertama kali jualan... jadi khawatir, jangan-jangan memang aku tak cocok kalau jualan,” ucap Kinanti sedikit ragu. “Lho, kenapa tidak coock? Kan sebelumnya sudah terbukti, kau mampu... pelanggan pun datang silih berganti. Mereka senang beli mi ayam di sini. Kata mereka pun rasanya enak... beda dengan mi ayam yang dijual berkeliling itu.” “Maksudku, aku tak cocok jualan.” “Cocok.” Kinanti menghela napas pendek. Disibakkannya poni yang hampir menutupi matanya. Rambut yang sudah melewati bahu, acap dikepangnya ke belakang. Siti memperhatikan penampilan Kinanti. Kemeja longgar dengan kedua ujung tangan digulung. Celana jins ketat yang sudah pudar warnanya lantaran kualitas rendah dan sering dicuci. Kinanti sedikit sembarangan dalam berpenampilan. Nyaris memudarkan kecantikan yang dimiliki. Kinanti yang cantik mengabaikan perawatan. Jika saja Kinanti mau berdandan dan berpenampilan yang rapi atau sedikit modis sebagai seorang perempuan, tentu akan banyak lelaki yang mendekatinya. Siti berpikir ke arah situ. “Kinanti, nanti sore, mau kuantar ke si Joy?” Siti menatap Kinanti. “Si Joy?” Kinanti menautkan dua alis. “Pemilik salon yang ada di Radio,” jelas Siti. Mengingatkan. Salon yang belum lama itu banyak pengunjung dengan berbagai urusan yang tentu saja berhubungan dengan kecantikan. Bukan hanya menata rambut. “Kenapa mengantarku?” Kinanti heran. “Sebaliknya kaliii, aku antar kau, Mbak... begitu?” Siti menggeleng. “Tidak, aku mau antar kau. Aku mau kau minta perawatan wajah di sana sekaligus memotong rambutmu dengan model baru. Biar... aku yang bayar.” Kinanti menggeleng pelan. “Tidak, Mbak. Aku tak kepikiran ke situ.” Siti mendecak. “Kau itu cantik. Tapi kecantikanmu tersingkir oleh penampilanmu yang acak-acakan.... juga... rambutmu yang tak terawat.” “Rambutku bersih dan sehat, seminggu dua kali aku keramasan pakai shampoo, wnagi lagi,” kilah Kinanti serius. “Tak sebatas itu!” Giliran Kinanti yang berdecak. “Sudah, Mbak. Aku tahu maksudmu. Kau mau aku merubah menampilanku, begitu kan?” “Ya.” “Aku belum mau ke salon.” “Belum? Berarti mau kan kalau kapan-kapan?” Kinanti diam. “Biar kau tampak menawan,” bujuk Siti. Namun, lagi-lagi Kinanti menggelengkan kepala. “Mbak jadi ketularan Mama. Dia suka bujuk-bujuk aku kayak sama anak kecil.” “Tersebab rasa sayang dan perhatian.” “Yang paling penting saat ini, bagaimana biar daganganku laris lagi, Mbak?” Kinanti menatap Siti. “Sudah, jangan bahas soal salon, kembali ke mi ayam. Sampai jam dua begini, hanya lima bungkus yang terjual.” “Sabar, pedagang itu harus ekstra kesabaran. Kalau kau tak ada uang buat jajan anak-anakmu, aku kasih nanti, ya?” Siti mencoba menenangkan. “Mamamu juga kan acap bilang sabar padamu. Aku salut sama Mamamu.” “Hem, ya sabar. Aku akan sabar,” Kinanti mencoba menghibur diri. “Nah, begitu... Kinan...” “Tapi sampai kapan begini? Pelanggan ko jadi pada tak mau beli?” Kinanti resah. “Sebenarnya, masa-masa sekarang lagi sulit mencari uang, Kinan. Kalau para pedagang makanan, itu tahu betul situasi kondisi. Bila peredaran uang di masyarakat lagi cepat ya dampaknya penjualan para pedagang pun terpengaruh. Sebenarnya kalau mau jujur, aku juga jualan jamu... lagi mengalami hal serupa. Penjualan menurun tak seperti bulan-bulan ke belakang. Suamiku juga begitu. Cuma bedanya denganmu, kalau suamiku kan jualan berkeliling. Jadi bisa mencari peruntungan di tempat-tempat yang disinggahinya.” “Laris setelah berkeliling?” “Tak selaris seperti biasa. Tapi kalau mau keliling kan, memungkinkan kita mendaapt pembeli lain, tak seperti kalau gerobak kita nongkrong di satu tempat.” “Benar juga, ya?” Kinanti seperti bicara pada diri sendiri. “Ya. Selama ada kemauan. Ya, kita sebagai pedagang harus cerdas.” “Hemmm, apa aku harus jualan keliling saja?” Siti tersenyum dulu. “Kau bisa gunakan ruangan ini untuk mencari pelanggan.” “Maksudmu?” “Ya, buat pelanggan yang mau makan mi aya di tempat. Tidak semua pembeli mau mi ayam dibungkus untuk dimakan di rumahnya kan, ada juga yang mau santai di tempat penjualnya. Seperti warung-warung baso lainnya,” jelas Siti. Kinanti menghela napas pendek. “Kalau untuk merubah ruangan ini jadi tempat makan para pembeli... aku keberatan, Mbak. Rumahku terlampau sempit. Nanti terkesan tidak nyaman bagi yang melihat. Aku pun tak leluasa, anak-anak juga bagaimana? Masa ketika mereka keluar dari kamar yang hanya satu-satunya... yang mereka dapatin, orang-orang yang lagi makan mi ayam. Tidak ah, Mbak.” “Oh, ya... tak apa-apa kalau begitu, itu hakmu. Ngomong-ngomong, apa ibumu mau ajak anak-anakmu menginap di rumahnya malam ini? Kebetulan malam Minggu kan?” tanya Siti. Mirna belum mengantarkan kedua anak Kinanti. Baginda dan Satria semenjak sepulang sekolah Baginda. Sementara Albani tengah bermain sepak bola dengan teman sebayanya di lapangan yang tak jauh dari rumah Pak Lurah. Lapangan itu pun tanah milik Pak Lurah dan bebas digunakan bermain di sana. Bahkan beberapa tetangga yang tak punya halaman untuk menjemur pakaian, memasang jemuran di sana. Termasuk Kinanti semenjak berjualan. Karena terasmya yang sempit digunakan berjualan. Dan dia sungkan kalau harus menjemur pakaian di pagar rumah. “Sepertinya tidak, Mbak. Tadi siang Mama pun menelepon. Memang, kini anak-anak lumayan betah kalau bermain di sana. Termasuk Satria yang semula suka agak rewel. Kalau Mama sih sangat ingin agar anak-anak bisa menginap di rumahnya meski tanpa aku. Mbak, bagaimana tadi saranku?” “Saran yang mana?” “Saran kalau aku jualan mi dengan berkeliling. Aku mau beli sewa gerobak kecil saja di Mas Parmin, dia kan sewa beberapa gerobak, ya?” “Benar kamu mau jualan dengan berkeliling?” Siti agak ragu dengan keinginan Kinanti. “Mau aku coba, siapa tahu peruntunganku dengan cara begitu.” “Kau... yakin?” “Ko Mbak kayak ragu gitu padaku?” “Bukan ragu, Kinan... tapi Mbak tahu benar kan, kau itu cantik, ah... tak sekadar cantik... kau itu sarjana, apa kau tak merasa...” Siti menggantung ucapannya dan mengamati saksama wajah Kinanti. Kinanti mengulas senyum sedikit. “Apa itu akan menghalangi keinginanku, Mbak? Apa itu jadi kendala?” “Tidak juga, malah mungkin akan menarik banyak calon pembeli kalau tahu pedagangnya cantik dan sarjana.” “Ah, sepertinya mereka tak akan melihat ke situ. Yang penting kan rasa dari makanan yang kita jual... terlebih harganya yang terjangkau,” jelas Kinanti. “Maksudku begini Kinan... apa kau siap berjualan berkeliling... sementara kau itu cantik dan terutama... sarjananya itu!” Siti menjelaskan maksudnya. Sesaat Kinanti termenung tetapi tak lama berucap lagi. “Siap, Mbak.” “Yakin?” “Ya, yakin.” “Tidak akan merasa malu?” “Tidak.” “Tidak akan gengsi?” “Kenapa harus gengsi?” Kinanti balik bertanya. “Aku kan cari uang halal, kenapa harus gengsi, Mbak?” “Halal banget.” “Kalau aku nyopet... ya itu tidak halal.” “Alamat digebukin, hehehe.” “He-em.” “Baiklah, Kinan... tampaknya kau serius. Aku akan bantu pinjam ke Mas Parmin gerobaknya biar harga sewa bisa lebih murah padamu, sekarang... aku mau pulang dulu, ya? Aku mau cuci pakaian dulu. Sudah numpuk di kamar mandi!” ucap Siti lalu tubuhnya pun beranjak. Kinanti mengiyakan. Dia tetap duduk di kursi. Kali ini sembari menonton siaran di televisi tabung berukuran 14 inch. Pintu rumah dibiarkan terbuka lebar. Pembeli tak kunjung datang meski lalu-lalang tampak orang-orang yang melintasi depan rumahnya. Dia mencoba menikmati acara yang tengah ditontonnya kendati tak ada acara yang menarik. Tatapannya memusat ke arah layar kaca. Dan pikirannya... terpusat pada cara meningkatkan penjualan dagangannya! Dia harus siap uang untuk sewa gerobak pada Parmin. Tak berapa lama, Albani muncul. Namun tidak sendiri, bersama tiga orang temannya. Bukan teman sebaya. Usia ketiga anak itu beberapa tahun di atas Albani, malah ada yang sudah kelas tujuh. “Bunda, nih Adit dan yang lainnya mau beli mi ayam, tapi boleh... lima ribuan?” tanya Albani menatap ibunya. Kinanti tersenyum. Lalu mengangguk. Dia tak pernah mengabaikan rezeki sekecil apapun meski satu porsi mi ayam sepuluh ribu rupiah tetapi untuk anak-anak, lima ribu bahkan kurang dari itu pun, suka dilayaninya terlebih saat sekarang jualannya yang menurun sekali. Namun dia sudah bertekad, hendak berjualan dengan berkeliling! Tak ada kamus malu atau gengsi dalam hidupnya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN