15 - Kirana dan Ragendra

1646 Kata
Bab 15 - Kirana dan Ragendra Ayah Kirana terkejut dan menghembuskan napas kasar. “Mereka teman ayah, yang membantu ayah saat kecelakaan. Kirana memangku anaknya dan masuk duluan tanpa bicara lagi. Tapi sebelumnya sempat melihat ke arah mobil, ingin melihat sang mantan majikan. Ibu mengajak mereka semua masuk dulu. “Itu Tuan saya ketinggalan,” ucap pria yang ternyata adalah Deri. Ya, Dia dan Ragendra lah yang tidak sengaja melihat kecelakaan itu untuk pertama kalinya dan menolongnya dengan cepat. Beberapa waktu sebelumnya, Sementara itu, di tempat lainnya, Ayah Kirana membonceng Arsha baru pulang dari rumah teman lamanya. Tiba-tiba saja, ban motornya kempes ditambah masuk lubang yang lumayan besar. Maklum jalanan di daera sekitar rumah orang tua Kirana masihlah belum terlalu bagus, masih cukup banyak yang bolong-bolong, entahlah bagaimana pemerintah daerah ini bekerja. Mungkin, karena terlalu banyak pejabat yang memperkaya diri dan tak mempedulikan kesejahteraan rakyatnya. Brak Karena oleng motor pun terguling dan Arsha terpental ke tengah jalan, beruntung jalanan sedang lengang sehingga tak terjadi kecelakaan serius. “Kakek!” pekik Arsha yang kesakitan, dia mulai menangis. Apalagi saat melihat kakinya luka dan mengeluarkan cairan merah, akibat gesekan dengan aspal. Argh, teriak Ayah Kirana sembari berusaha bangkit, karena kakinya terjepit badan sepeda motornya. Dia tampak panik dan mencari keberadaan cucunya dengan muka memucat, takut kalau ada kendaraan roda empat apalagi sampai mobil muatan banyak seperti kontainer atau truk yang tiba-tiba lewat. Beruntung tidak ada, namun ada sebuah mobil mendekat. Membuatnya panik luar biasa dan berteriak-teriak. “Arsha minggir! Kepinggir!” pekiknya dengan air mata berderai membayangkan hal yang bukan-bukan. Arsha yang tak mampu bangkit hanya diam meringis menahan kesakitan. Cekiit Mobil itu berhasil menepi tepat di dekat Arsha yang sedang meringis. Beberapa orang yang baru lewat pun ikut membantu membawa Arsha dan Ayah Kirana ke pinggir jalan. Pengemudi mobil bergegas turun untuk melihat situasi. “Bawa mereka ke rumah sakit!” teriak seseorang dari dalam mobil, yang tiada lain adalah majikan dari pria yang menjadi sopirnya itu. “Baik Tuan,” ujarnya, dengan sigap dia meminta bantuan beberapa orang untuk menaikan Arsha dan kakeknya ke dalam mobil, sedangkan motornya dititipkan kepada orang terdekat disana sambil menunggu pihak bengkel. Beberapa saat kemudian, Arsha tak sadarkan diri di pangkuan sang pemilik mobil mewah itu. Yang tidak lain adalah Ragendra, yang kebetulan sedang lewat jalan yang sama. “Tenanglah Nak kamu baik-baik saja,” ucap Ragendra dengan raut wajah penuh dengan kecemasan. Deri menjalankan mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi untuk secepatnya sampai di rumah sakit terdekat sesuai instruksi masyarakat. Tempat kecelakaan itu sebenarnya tidak jauh dar daerah tempat tinggal orang tua Kirana, hanya kisaran sepuluh menitan saja jika ditempuh dengan naik motor. Entah kenapa, dia merasa ada sesuatu dalam diri anak itu yang membuat hatinya bergetar dan langsung sayang. Apalagi, dia ingat betul kalau anak ini adalah anak yang bersama dengan Kirana waktu itu. Apakah anak ini benar-benar anaknya? Ragendra mendekap erat bocah usia antara lima atau enam tahunan itu. sementara itu, Ayah Kirana duduk di depan. Kakinya memar memar, dan sedikit lecet-lecet, tak separah yang dialami Arsha sebenarnya. Air mata berderai, takut terjadi sesuatu yang buruk kepada sang cucu, yang baru beberapa hari ini bisa bertemu. “Tenanglah Pak, semua akan baik-baik saja,” ucap Deri memberikan afirmasi positif. “Saya takut kehilangan Arsha, cucu yang baru saja datang seminggu yang lalu ke rumah. Setelah hampir tujuh tahun ibunya tak pernah datang,” tutur Ayah Kirana dengan suara lirih penuh kesedihan. Ragendra terkejut mendengar hal itu. Waktu tujuh tahun katanya? Bukankah waktu itu sama dengan jumlah waktu perpisahannya dengan Kirana? Apakah Kirana benar-benar mengandung anaknya setelah kejadian sekali itu? Dan anak ini adalah anaknya? Dan selama ini, apakah Kirana menanggung sendirian dalam menghadapinya? Hamil tanpa suami dan melahirkan tanpa keluarga? Ragendra mengusap kepala Arsha erat. Dia ingin membuktikan semuanya, ya sekarang adalah waktunya! Dia akan melakukan tes DNA sekalian kepada Arsha. Sesampainya di rumah sakit, Deri mengurus segalanya.Sementara, Ragendra menunggu di ruang tunggu. “Deri, tolong kamu lakukan tes DNA antara aku dan anak itu. Aku ingin tahu apakah dia anakku,” ujar Ragendra dengan tegas berkata kepada Deri. Mendengar perkataan Ragendra, Deri terkejut. “Apa maksud anda Tuan?” “Sudahlah jangan banyak tanya dulu, nanti setelah waktunya banyak, aku cerita sama kamu,” jawab Ragendra. “Baiklah, kalau begitu saya akan mencari dokter yang bisa melakukannya sekarang,” ujar Deri. Deri pun segera mencari dokter ahli dengan bantuan petugas rumah sakit yang memberinya info. Ragendra menggunakan rambut dan untuk sampel, pun dengan Arsha yang diambil rambutnya untuk sampel. “Bagaimana keadaan anak dan bapak itu?” tanya Ragendra kepada dokter, dia meminta Deri mengantarnya untuk menemui dokter. “Mereka baik-baik saja, luka-lukanya tak terlalu parah. Bisa pulang sekarang juga, tapi kalau mau dirawat semalam saja, dan besok baru pulang itu lebih baik. Agar kami bisa memberikan perawatan maksimal,” ucap dokter menjelaskan. Ragendra menoleh ke arah Deri. “Bapak itu tak mau dirawat, katana mau pulang saja sekarang,” ujar Deri ang paham maksud Ragendra. “Baiklah, mereka akan pulang saja dokter,” ucap Ragendra. Meski sebenarnya, dia ingin memberikan perawatan dulu kepada Arsha. Dia tak bisa membantu mengurus ini itu, karena kakinya yang sakit dan tak bisa berjalan. Ragendra mengembuskan nafas pelan dan gusar. “Tenanglah, kaki anda akan segera pulih. Dan anda bisa seperti semula lagi, berjalan berlari, bahkan salto,” perkataan Deri membuat Ragendra lupa kesedihannya dan berganti ingin tertawa. Namun, begitu dia hanya tersenyum tipis dan mendengus menanggapi ucapan Deri. Deri mengurus kepulangan mereka dari rumah sakit, setelah dokter menyetujui dan Deri membayar semua Administrasi atas perintah Ragendra. Ragendra tersenyum lega ketika melihat Arsha naik kursi roda dan mendekat ke arahnya, Deri yang mendorong kursi roda itu. “Terimakasih Tuan, karena sudah membantu kami,” ujar Ayah Kirana. “Nanti semuanya akan saya ganti,” lanjutnya. Ragendra tersenyum. “Tak usah diganti, saya ikhlas membantu. Kalau boleh biarkan kami mengantar anda pulang ke rumah, sekalian saya mau menginap barang beberapa hari. Soalnya kami dari luar kota Pak, dan belum menemukan alamat yang kami cari,” ujar Ragendra panjang lebar. Deri sampai terkejut, karena biasanya Ragendra malas berhubungan dengan orang asing. Tapi, saat ini, dia malah sok akrab begitu. Pikirannya kembali pada Ragendra yang memintanya mengurus tes DNA. Deri memperhatikan wajah Arsha lekat-lekat, lalu Ragendra. Dia sungguh terkejut, karena ternyata mereka sangatlah mirip. “Ada apa ini? Apa anak ini anaknya? Tapi, ibunya siapa? Apa jangan-jangan!” kepala Deri mendadak berputar-putar. Apakah Tuannya yang kolokan ini, sudah pernah membuat anak? Dia jadi merasa kesal sendiri, karena dia la yang akan menikah duluan dengan kekasihnya, dan belum perna coba-coba untuk membuat anak. Ya nanti menunggu halal. “Kalau Tuan punya anak sebesar ini sekarang, artinya dia membuatnya waktu masih usia…!” Deri memukul pipinya sendiri mengingat semuda apa dulu Ragendra melakukannya. Kok bisa ya? Membuat Deri merasa sangat terkejut dan pusing. Apa yang sudah Ragendra lakukan di masa lalu sebenarnya? Apakah orang tua Ragendra tahu hal ini? Ah,Deri menghembuskan napas pelan, dia berusaha membuang pikiran buruknya. “Oh tentu saja Nak, saya akan senang jika kamu ikut ke rumah,” ujar Ayah Kirana dengan antusias. Di dalam mobil, mereka mengobrol banyak hal di sepanjang perjalanan. Hingga, membuat mereka jadi akrab, termasuk Ragendra dan Arsha. “Kamu kok mirip sama cucu saya ya, Nak Gendra,” ucap Ayah Kirana sambil melirik kiri kanan, memperhatikan wajah Ragendra dan Arsha silih berganti. Ragendra tersenyum kikuk. “Masa sih?” tanyanya, tapi dalam hati ada rasa senang mendengar perkataan Ayah Kirana. “Kalian bak pinang dibelah dua, kok bisa ya?” masih saja memperhatikan Ragendra dengan intens. “Hehehe.” Ragendra hanya tersenyum kecil menanggapinya. Sedangkan Deri hanya memperhatikan dari spion depan sesekali. Hingga, sampailah mereka di halaman rumah Ayah Kirana. Sebuah rumah sederhana minimalis, namun punya halaman cukup luas tanpa pagar. Ayah Kirana dan Deri turun duluan dari dalam mobil. Sementara, Ragendra masih di dalam mobil. Deri menggendong Arsha. Saat sampai di depan teras rumah, tampak tatapan tajam Kirana kepada Deri, dengan raut syok melihat keadaan ayah dan anaknya. Kirana yang baru keluar, langsung heboh dan berderai air mata. Dia, segera merebut Arsha dari gendongan pria itu dan memeluknya erat. “Kamu apakan anak dan Ayahku?” raungnya sambil terisak. Pria itu hanya melongo mendengar kemarahan Kirana. “Kiran, ini hanya sebuah kecelakaan. Dan mereka ini teman baru Ayah,” ucap Ayah meluruskan. Kirana menatap pria itu tajam. “Iya kecelakaan, tapi mereka kan yang menabrak Ayah dan Arsha?” tuduhnya dengan kejam. Ayahnya tak menyangka, Kirana akan berkata sepedas itu. Dari dalam mobil, Ragendra begitu senang melihat Kirana. “Ternyata benar, Anak itu anaknya,” gumamnya dengan mata berbinar. Tapi, raut wajahnya berubah kesal dan panik, saat melihat mereka semua hendak masuk ke dalam rumah. “Hey, apa aku ditinggalkan!” Dia semakin kesal saat semuanya benar-benar masuk, sedangkan dirinya sendirian di dalam mobil. “Hey apa-apaan ini? Kenapa Aku ditinggalkan?” semakin panik. Tidak lama kemudian, Deri kembali ke luar dari rumah dan menghampirinya. Dia membuka pintu mobil, kepalanya nongol ke dalam. “Maaf Tuan,” ucapnya. Ragendra mendengus kesal. “Kau ini bisa-bisanya melupakan aku,” rajuk Ragendra. Deri tersenyum tipis melihat rajukkan sang majikan. “Mari,” lalu membantunya turun dari mobil, setelah dia menurunkan kursi roda dari mobil. Hati Ragendra berdebar keras, tak tahu kenapa.Tapi, dia semakin gelisah saja. Di dalam rumah ibu Kirana tampak berderai air mata, melihat kondisi suami dan cucunya. “Kenapa bisa sampai begini sih,” ujarnya. Ayah Kirana meminta maaf daan muli menjelaskan semuanya. Saat Ragendra masuk, Mata Kirana melotot melihatnya. Dia pikir, Deri hanya sendirian saja sebelumnya. “Tuan Anda ikut?” refleks, Kirana berkat dengan nada tinggi. Ketika ingat dirinya sudah dipecat Ragendra, seketika dia sangat kesal. Ragendra tersenyum kikuk. Semua mata menatap ke arahnya. “Kalian sudah saling kenal?” tanya ayah dan Ibu bersamaan. Kirana dan Ragendra saling temu tatap dengan arti berbeda. Dan selanjutnya, jawaban Kirana sungguh membuat semuanya terkejut luar biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN