2 - Memaksa

1424 Kata
Bab 2 - Memaksa Pemuda itu menahan napas sejenak saat merasakan sesuatu yang menonjol dan kenyal menempel di punggungnya, meski dia pake jaket, tapi tetap saja terasa. “Sial!” rutuknya, dia semakin merinding. Motor mulai melaju cukup kencang, pemuda itu ingin segera Kirana turun. Karena sungguh menggoda imannya. “Kak kita ke mana?” tanya pemuda itu. “Ya ke rumah ku lah! Memangnya kamu mau kita ke mana? Ke hotel? Dasar bocah m***m!” ketusnya, Kirana salah pengertian. Hah, pemuda itu tampak kebingungan. “Apa yang salah dengan pertanyaanku?” Dia jadi bingung. “Ehm, maksud saya alamat Kakak di mana?” Pemuda itu bertanya lagi. “Oh itu, ngomong yang jelas dong!” Kirana menggeplak bahu pemuda itu. Sang pemuda hanya menasehati diri sendiri dalam hati. “Sabar, sabar. Menghadapi orang seperti ini harus sabar Ragendra!” Dia merasa, wanita ini begitu judes, dari tadi marah-marah terus. Tidak tahu saja, kalau Kirana sudah mengalami hari yang menyakitkan, menyedihkan, dan mengecewakan. Hingga, rasanya ingin kembali ke perut ibunya dan terlahir kembali dalam keadaan baru, yang tak ingat apa pun yang sudah dia alami. Kirana pun menyebutkan alamat lengkapnya. Selama di perjalanan, mereka diguyur hujan. Hingga, Kirana yang kedinginan dan patah hati semakin menempel di punggung pemuda bernama Ragendra yang sama sekali tak pernah dia kenal sebelumnya. Ah, biarlah lagian tidak akan jumpa lagi! Pikir Kirana. Sampailah mereka di depan sebuah rumah kontrakan, dengan cat warna kuning tua. Di kontrakan itu terdiri dari enam rumah petak yang berjejer. “Ini rumah petak?” Pemuda itu tampak celingukan dan planga plongo. “Iya memangnya kenapa? Kayak yang baru lihat rumah petak aja!” masih saja Kirana ketus. Ragendra menyengir masam. “Kenapa dia marah-marah terus,” rasanya kesal sekali sampai ingin menangis saja, maklum umurnya masih 18 tahun. Baru lulus SMA dua hari yang lalu. Kirana turun dari motor. Ragendra, tampak memutar sepeda motornya hendak pergi. “Heh mau minum teh hangat dulu tidak!” tetap ketus nada bicara Kirana, bahkan raut mukanya tampak masam. “Ngg nggak usah deh Kak,” ditawarin dengan muka masam, mana mau dia. “Di luar hujan masih deras, kamu basah kuyup, cuaca juga dingin. Lebih baik, mampir sebentar dan ganti bajumu. Aku punya baju lelaki milik adikku yang seumuran kamu kayaknya deh. Kamu bisa pinjam dulu! Cepat masuk!” Kirana duluan masuk. Ragendra menatap punggung Kirana yang menampakkan bra warna hitam yang tercetak jelas. Soalnya, wanita itu memakai kemeja warna putih yang saat terkena hujan dan basah jadi menerawang. “Ampun! Kenapa begini sih!” susah payah Dia menahan Saliva. Kemudian, celingukan mencari tempat aman untuk parkir. Setelah menemukannya, dengan cepat dia memarkirkan motor, lalu masuk ke dalam kontrakan. Kirana sengaja menunggunya, dia berdiri di ambang pintu. Ragendra masuk. Kirana menutup pintu rumah. Ragendra celingukan. Ruangan utama rumah ini dia kira-kira sekitar dua meter kali dua meter, dia melihat ada dua ruangan lain. Mungkin, dapur dan kamar tidur. “Duduklah, aku ambil handuk dulu!” ujar Kirana yang tetap ketus. Ragendra mengangguk, tapi tak duduk. Karena tak ada kursi. Sesaat kemudian, Kirana keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Sebuah daster lengan pendek dengan tiga kancing di bagian d**a, yang panjangnya hanya sampai lutut. Bagi Ragendra, dia sangat memesona. Apalagi dengan rambut basah terurai, dan wajah polos tanpa makeup yang membuatnya cantik natural. “Buka!” perintah Kirana. “Hah! Buka? Saya masih terlalu muda Kak,” ucap Ragendra sambil memegangi dadanya. Kirana sontak tertawa, anak ini sepertinya polos. Ah mau dia kerjain, hehehe! “Helm mu yang dibuka dek!” ketusnya. “Oh,” tangannya menyentuh kepala, dan benar saja masih pake helm. Dia nyengir malu, sampai lupa saking gugupnya, karena di pemilu terus sejak pertama jumpa. Ragendra melepas helm, yang sialnya saat membuka helm pun dia tampak begitu seksi dan menarik. Apalagi saat membuka jaket. Dia hanya mengenakan kaos putih tipis, yang memperlihatkan otot-otot perutnya yang rata dan tampak rajin olahraga. “Bagaimana sudah dewasa nanti, waw!” otak Kirana jadi berdebu. “Ini pasti karena pengaruh sudah nonton adegan m***m secara live,” gumamnya dalam hati, dan dia mulai memaki-maki Luki dan juga Serina. “Ini handuknya,” menyerahkan handuk. Tanpa sengaja, Ragendra malah menarik tangan Kirana. “Eh, maaf kak,” mukanya memerah karena malu. “Kamu mau macam-macam sama saya!” bentak Kirana dengan mata melotot. “Ampun kak, tidak sengaja,” matanya berkaca-kaca. Kirana berusaha menahan tawa. “Anak ini benar-benar lucu dan polos, ah benar-benar harus aku kerjai. Itung-itung obat stres karena dikhianati tuh kadal buntung!” dalam hati, Kirana terus saja memaki Luki. Dengan sengaja, Kirana merangsek mendekati Ragendra. Ragendra mundur sampai punggungnya mentok menyentuh tembok. “Nama kamu siapa dek?” menyentuh dagunya. Terdengar napas pemuda itu yang memburu, entah kenapa dia. “Ra, Ragendra. Panggil saja Gendra,” jawabnya serak. Kirana sengaja mengikis jarak diantara mereka. Sekilas terbayang pengkhianatan hot antara kekasih dan sahabatnya. Dia jadi menggebu-gebu. “Akan kubalas kau!” gumamnya penuh emosi. “Ap apa? Maafkan aku kak,” pikir Ragendra, Kirana sedang marah kepadanya. Kirana mengerutkan dahi. “Ayo kita…” dia berbisik tepat di telinga pemuda itu. “Ja, Jangan kak!” Ragendra menahan tubuh Kirana yang semakin mendekat, sayangnya tangannya malah menahan dengan mampir di buah mangga milik Kirana. “Hah, aku nggak sengaja kak.” Ragendra panik, tapi karena penasaran malah diremaskan sebelum ia turunkan. “Dasar bocah m***m!” Kirana setengah memekik. Dia langsung menarik sekuat tenaga pemuda itu dan menyeretnya ke dalam kamar. “Kamu mau apa kak!” dengan Panik, Ragendra berkata. Tapi, kakinya melangkah mengikuti gerakan Kirana. Kirana tak bicara, dia malah membanting tubuh Ragendra sampai terjerembab di atas kasur lantai yang tidak terlalu tebal itu. “Aduh,” punggung Ragendra terasa sedikit sakit. Tanpa ba bi Bu, Kirana langsung menyerang pemuda itu dengan panas. Hingga, dia syok dan kaget untuk sesaat. Namun, beberapa menit berikutnya. Dia membalikkan keadaan. Sekarang dia yang lebih brutal menyerang Kirana, sampai melepaskan semua yang menempel di tubuh wanita itu. Yang membuat matanya membola sempurna. Karena ini baru pertama kali dia melihat anatomi tubuh wanita secara nyata. “Kak, ap apa tidak masalah?” bertanya, tapi dengan tangan yang menyentuh semuanya. “Iya, lakukan saja. Aku siap,” ujarnya. Dan akhirnya, mereka bergumul dengan panas semalaman. Untung tidak ada yang datang, soalnya pintu tidak dikunci. Paginya. “Astagfirullah, aku sudah berbuat dosa!” saat bangun, bergegas mandi dan membuat sarapan nasi goreng. Lalu, membangunkan Ragendra. “Gen, hey, Gen!” mengguncang tubuhnya kuat-kuat. Ragendra menggeliat, ada rasa nikmat yang masih berbekas. Saat matanya terbuka, dia kaget karena menyadari dirinya tanpa busana. Pikirnya, semalam itu hanya mimpi basah semata. “Aaaaaa, apa yang semalam itu nyata?” mengintip ke dalam selimut, tampak juniornya mengucapkan selamat pagi. “Diam berisik tau!” Kirana membekap mulutnya dengan telapak tangan. “Tapi, kakak sudah menodaiku,” dengan mata berkaca-kaca. “m*****i?” Kirana merasa sangat malu, karena iya dia yang mulai duluan, bahkan memaksanya. Tapi, kan dia yang lebih brutal. Malah dia ingat dengan kata-kata, ‘tambah sekali lagi ya kak!’ Sial memang pemuda itu! “I iya, maafkan kakak ya dek. Nah sekarang Ayo kita lupakan semua yang terjadi semalam. Anggap saja tidak pernah terjadi, oke,” bujuk Kirana. “Ta tapi, aku sekarang sudah gak perjaka lagi. Bagaimana calon istriku kelak, pokoknya kakak harus tanggung jawab!” ucapnya polos. Kirana membulatkan mulut. Bukankah seharusnya dia yang bilang begitu! Anak siapa sih dia! “Bagaimana caraku tanggung jawab dek?” malah nambah masalah, pikir Kirana. “Kakak harus nikahin aku,” dengan raut cemas. “Apa? Kamu udah kerja?” Kirana balik bertanya. Ragendra menggeleng. “Belum, baru lulus SMA dua hari kemarin, rencananya mau kuliah,” sahutnya. Kirana merasa bersalah, dia sudah menghancurkan hidup seorang pemuda. Ah ini semua gara-gara pengkhianatan Luki dan Sherina, juga imannya yang cetek. “Ehem, ayo mandi dan makan dulu. Batu kita bicarakan lagi,” lalu Kirana keluar dari kamar. Ragendra pun menurut. Dia segera mandi, kamar mandinya ditunjukkan oleh Kirana. Tidak lupa, Kirana mengajari caranya mandi junub. Setelahnya, dia memakai pakaian adiknya. Lalu, mereka sarapan. Usai sarapan, Ragendra kembali bicara. “Jadi soal tanggung jawab itu bagaimana? Saya takut Kakak hamil,” ujarnya. Hah, kepala Kirana mendadak terasa berdenging. Dia tak memikirkan hal itu. “Tidak akan, tenang saja. Kita buat janji, hal ini jadi rahasia kita sampai mati oke. Kamu tidak perlu tanggung jawab, begitupun dengan Aku. Anggap saja, kita tidak pernah bertemu oke,” tutur Kirana sambil mengacungkan jari kelingking. Untuk sesaat, Ragendra hanya menatap jari kelingking itu. Hingga, akhirnya dia mengangguk setuju. Kelingking mereka tertaut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN