17 - Salah Paham

1217 Kata
Bab 17 - Salah Paham “Katakan iya, ayolah!” dalam hati, Ragendra penuh harap. “Demi anak kita,” lanjut Ragendra. “Dia bukan anakmu. Aku juga bingung kenapa dia bisa mirip sama kamu?” sahut Kirana. Ragendra mengembuskan napas gusar. “Masih saja berbohong. Kenapa kamu suka sekali bohong sih?” Kirana mendengus kesal. “Ini semua karena kamu!” sahutnya. “Artinya kamu mengakui kalau Arsha anakku kan?” Ragendra terkekeh. Pembicaraan pun malah kesana kemari tak karuan, tak ada hal penting yang akhirnya mereka bahas lagi. Selain memperdebatkan masa lalu. Dari kejauhan Deri merasa jengkel, karena sepertinya diantara mereka tak ada yang berniat mengakhiri pembicaraan. Dia yakin, apa yang mereka bicarakan tak ada yang sesuai topik yang seharusnya. Akhirnya dia menghampiri mereka dan mengajak Ragendra tidur. “Tuan sudah malam, bagaimana kalau besok saja dilanjutkan pembicaraannya,” ujar Deri. Ragendra menoleh ke arah Deri. “Mengganggu saja,” cibirnya tak suka. Kirana tersenyum tipis kepada Deri. “Lima menit lagi ya,” ujarnya. “Baiklah hanya lima menit,” ujar Deri, lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. “Memangnya mau ngomong apa dalam lima menit?” tanya Ragendra. Kirana mendelik kesal, karena merasa Ragendra tak suka berbicara dengannya. “Ya sudah saya mau tidur saja!” Kirana berdiri. Ragendra menarik tangannya. “Tunggu, gitu aja merajuk,” kekeh Ragendra. Kirana duduk kembali dengan muka cemberut. “Jadi bagaimana kakak?” tanya Ragendra dengan nada manja. “Apaan sih, mentang mentang Aku sudah tua,” sepertinya Kirana sedikit sadar diri. Ragendra malah tersenyum mendengar perkataannya. “Tapi Aku lebih suka yang tua dan menggoda, hahahah,” candanya. Mendengar perkataan Ragendra, Kirana sangat kesal. “ Nikah sana saa Lolita yang cantik, jangan sama Aku yang sudah tua!” Kirana berdiri dan pergi meninggalkan Ragendra. “Kirana tunggu!” Ragendra ingin mengejar, tapi apa daya dia tak bisa. Dia menatap kedua kakinya dengan sedih. Deri segera menghampiri. “Makanya jangan banyak bercanda, seriuslah sedikit Tuan,” kesal Deri. Dia yakin, Ragendra tak menemukan solusinya. “Memangnya Kamu yang kaku!” cibir Ragendra tak suka. Deri hanya mengembuskan napas pelan, kemudian membantu Ragendra kembali duduk di kursi roda, dan mendorong kursi roda menuju rumah. “Tuan yang semangatlah berobat, agar kaki Anda cepat pulih. Dan Anda bisa melakukan banyak hal bersama Nona Kirana dan putra Anda itu,” ujar Deri saat sedang mendorong kursi roda. Ragendra tertegun sejenak mendengar perkataan Deri. “Kamu percaya Arsha anakku?” tanyanya tak percaya saja, Deri bisa langsung percaya. “Susah untuk tak percaya, karena kalian begitu mirip,” sahut Deri diiringi helaan napas panjang. “Apa yang akan terjadi seandainya Tuan dn Nyonya tahu?” lanjut Deri, maksudnya adalah kedua orang tua Ragendra. Ragendra diam, tapi pikirannya melayang kemana-mana. “Ini kamar kita, kata Pak Hadi,” ujar Deri. Ragendra mendongak. “Pak Hadi siapa?” tanyanya. “Ayahnya Nona Kirana,” jawab Deri santai. Ragendra memutar bola mata malas. “Kok kamu lebih tahu dari aku,” ucapnya tak suka. “Karena saya yang mengurus semua administrasi di rumah sakit tadi,” jawab Deri. “Tapi saya yang bayar,” sahut Ragendra tak mau kalah. “Iya, Iya, itu memang benar Tuan,” ujar Deri, dia yang tak terlalu suka banyak bicara, bisa sangat banyak bicara kalau berhadapan dengan Ragendra. Karena, Ragendra tak mau kalah ngomong orangnya, kolokan dan kadang suka manja, itu menurut penilaian Deri selama bekerja untuknya. Tapi, kalau sudah urusan pekerjaan, jangan dianggap remeh. Ragendra bisa sangat profesional dan bertangan dingin. Mereka pun masuk kamar. Deri berbaring di samping Ragendra. “Kenapa ya Aku sering banget tidur bareng kamu, rasanya sudah bosan. Aku ingin tidur memeluk…” pipi Ragendra tiba-tiba memerah dengan bibir berkedut-kedut hendak tersenyum, namun berusaha ditahannya. Deri membalikan badan, menjadi posisi miring ke arah Ragendra yang terlentang menatap langit-langit kamar dengan bibir mesem-mesem menahan senyum. “Apa maksud anda ingin memeluk Nona Kirana?” Deri menaikkan sudut bibirnya. “Eh, ehm eh heheh.” Ragendra tampak salah tingkah, saat dia menoleh ke arh samping, dia terkejut karena melihat muka Deri dengan mata yang sedang menatapnya. “Eh, mundur jangan dekat-dekat apa jangan-jangan kamu homo! Hiiih.” Ragendra bergidik ngeri dan ketakutan, mukanya sampai memucat membayangkan di ehem ehem sama Deri. Deri mendengus sebal dituduh sembarangan oleh Ragendra. Tapi, dia malah sengaja ingin menggoda Ragendra, siapa suruh nuduh sembarangan,pikir Deri. Bibirnya tersenyum licik. “Tuan tubuh anda sangat bagus, bolehlah saya merabanya. Sudah lama saya bekerja untuk anda, tapi belum pernah menyentuh anda sekalipun,” bisik Deri menggoda. Ragendra semakin panik. “Deri ka kamu jangan bercanda!” keringat dingin mulai bercucuran begitu saja. Deri benar–benar berusaha menahan tawa sekuat tenaga melihat mimik lucu Ragendra saat panik. Dengan sengaja, Deri menyentuh d**a Ragendra dengan lembut. “d**a anda bagus dan seksi membuat saya tergo…” Brak Pintu kamar terbuka. Deri terperanjat kaget, dan segera menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka lebar itu/ Pun dengan Ragendra yang masih syok dengan kelakuan Deri. Kirana tampak berdiri diambang pintu dengan rut wajah terkejut dan tampak syok juga. “Sial, apa dia mendengar semua candaanku ya? Bisa-bisa Aku dikira homo beneran!” Deri jadi cemas sendiri, Dia menyesal sudah menggoda Ragendra, sungguh menyesal. “Kalian…Homo…Gay?” suara Kirana tercekat di tenggorokan. “Tidak!” jawab Ragendra dan Deri kompak. “Tapi tadi saya mendengar semuanya,” ujar Kirana dengan tatapan tak percaya. “Dia yang menggodaku, Aku takut! Pindahkan Aku dari kamar ini, Aku tak mau sekamar dengannya! Bawa Aku bersamamu Kiran, tak apa Aku rela jika harus tidur sekamar denganmu,” rajuk Ragendra dengan nada manja. Kirana dan Deri mendengus sebal bersamaan, bahkan mereka kompak mengatakan hal yang sama. “ Modus!” Ragendra memasang muka cemberut. “Ini hanya salah paham saja Nona Kirana, hehehe.” Deri berdiri dan menghampiri Kirana di ambang pintu dengan salah tingkah. Kirana menatapnya tak percaya. “Sebenarnya saya sengaja mengerjai Tuan karena menuduh saya Homo,” ucap Deri, dia mulai menjelaskan dari awal apa yang terjadi sebenarnya. Kirana tergelk renyah setelah paham dengan penjelasn Deri,sementar Ragendra kesal kepada Deri, apalagi Kirana dan Deri jadi tampak akrab, sungguh pemandangan yang menyebalkan bagi Ragendra. Kirana pun pergi setelah mengatakan kalau tadi tak sengaja lewat kamar mereka, saat mau mengambil minum untuk Arsha. Pagi sekali Ragendra udah banguun, dia mendorong kursi rodanya sendiri ke ruang tengah. Ternyata,Ayah Kirana sedang duduk termenung di depannya terdapat secangkir kopi hitam pahit. “Nakk Gendra,kebetulan,” sapa Pak Hadi dengan santun. Ragendra menghampiri dan menjawab sapaan Pak Hadi. Pak Hadi mengajaknya jalan ke luar rumah, merasai embusan angin pagi yang sejuk dan terasa menusuk kulit. “Jelaskan semuanya, apa benar kalian sudah menikah? Jika iya kenapa kamu tak mengenali anakmu sendiri? Apa kamu tak pernah sekalipun menjenguknya? Jujurlah, saya ingin mendengarnya,” ujar Pak Hadi dengan serius, dia menghentikan mendorong kursi roda Ragendra tepat di halaman rumah dekat saung yang semalam digunakan Ragendra dan Kirana mengobrol. Ragendra menghela napas sepelan mungkin, dan menghembuskannya perlahan. “Tapi sebelumnya Bapak harus janji untuk tidak memarahi Kirana,” ucap Ragendra serius. Ayah Kirana diam sejenak, coba berfikir. Dan akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah,” jawabnya. Ayah Kirana mendorong sedikit lagi kursi roda hingga masuk ke saung. Kemudian,duduk di dalam saung, sedangkan Ragendra tetap di atas kursi roda. “Saya dan Kirana melakukan kesalahan besar, kekhilafan dan…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN