8. Wonosobo

1615 Kata
Ken menagih janjinya. Sejak kemarin dia sudah merecokiku kapan aku akan mengejaknya keluar bersama ‘Tante Dila’-nya. Aku pusing, jadi aku hanya menjawab ‘segera’. Sebenarnya, beberapa hari terakhir ini aku sering terlibat berdua dengan Dila karena produk baru yang aku keluarkan laris di pasaran. Permintaan meningkat, jadi aku banyak berinteraksi dengan Dila untuk membahas mengenai target iklan yang akan kami perluas jangkauannya. Sayangnya, lidahku terasa kelu acap kali ingin membawa Ken pada obrolan kami. Aku tidak ingin Dila tak nyaman karena aku mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan. Ken jelas masuk urusan pribadi, sedangkan kedekatanku dengan Dila beberapa hari terakhir ini murni karena pekerjaan. Seperti saat ini contohnya, aku kembali terlibat dengan Dila karena Farhan tidak masuk. Anak itu terkena gejala tifus, jadi kemungkinan dia tidak bisa berangkat kerja itu agak lama. Satu-satunya orang kantor yang bisa menemaniku pergi adalah Dila, karena pekerjaannya bisa dibantu Agus. Mau mengajak Nurul, tidak mungkin. Dia ada pekerjaan lain yang mendesak. Selalu begini, tiap Farhan tidak masuk, pasti ada saja yang membuatku membutuhkannya. “Ini tidak menginap kan, Pak?” Dila menggaruk pelipisnya. Dia tampak ragu ingin masuk mobilku. “Wonosobo kan dekat, tiga jam sampai. Kalau pakai motor, malah kurang dari itu.” “Saya tahu, saya juga pernah ke Wonosobo. Sering, malah.” “Oh ya? Ke mana?” “Dieng.” “Ngapain kamu ke sana?” “Liburan, Pak. Ngapain lagi?” Dila meringis. “Wonosobo itu kota bersejarah buat Ayah sama Bunda saya, jadi hampir tiap tahun kami pasti ke sana.” “Enggak bosan?” Dila menggeleng. “Sejauh ini enggak.” “Tenang saja, saya janji selesaiin ini secepat mungkin. Maksimal adzan magrib kita sudah pulang.” Aku mendengar helaan berat napas Dila, sebelum akhirnya dia mengangguk dan masuk mobilku. Begitu masuk, aku langsung mencium bau harum yang sudah kuhafal. Sejujurnya aku penasaran dengan parfum yang Dila pakai, tetapi rasanya sangat tidak etis kalau aku menanyakannya. Aku jujur saja, wanginya itu menenangkan. Ada manis, segar, dan sedikit... apa, ya? Pokoknya ini harum sekali. “Udah jam setengah dua siang, semoga tidak macet...” Dila melirik arlojinya, lalu segera memakai seat belt. “Saya ngebut—“ “Ya jangan, Pak. Saya masih mau hidup.” Aku tertawa pelan melihat bagaimana wajah paniknya. “Saya usahakan secepat yang saya bisa, dan kita tetap aman.” Siang ini aku harus ke Wonosobo karena pemilik toko batik terbesar di sana tiba-tiba mengatakan ingin bertemu denganku. Pemiliknya –namanya Pak Ramli— sudah bekerja sama denganku sejak tahun kedua aku mendirikan perusahaan. Aku rasa pasti ada sesuatu yang mendesak sampai beliau ingin aku ke sana hari ini juga. Sebenarnya, yang ingin Pak Ramli temui hanyalah aku, tetapi aku tidak pernah keluar kota sendirian. Aku selalu membawa Farhan, pernah sekali bawa Novita, pernah juga aku bawa Nurul. Aku selalu meminta salah satu karyawanku untuk menemani. Aku merasa lebih tenang kalau ada yang membersamaiku. Barangkali aku butuh bantuan, aku tidak bingung. “Hallo, Ayah? Iya. Aku mau ke Wonosobo.” Aku langsung melirik Dila ketika dia menyebut kata Ayah. Rupanya dia sedang menelfon Ayahnya. “Iya, Yah. Mie Ongklok sana itu kalau sore udah habis. Jangan nitip itu, lah. Oh, oke. Carica? Sama apa lagi? Megono udah enggak enak kalau dibawa pulang. Oh oke, Yah. Siap. Hehe, iya-iya.” Setelah menutup telfonnya, Dila menoleh ke arahku. “Pak Akhdan...” “Apa?” “Saya tahu ini lancang, tapi kalau nanti sore saya minta mampir ke tempat oleh-oleh, bisa kan, ya? Saya habis izin Ayah, dan beliau malah nitip.” Aku mengangguk. “Boleh, nanti kamu yang pilih. Saya belum terlalu familiar sama Wonosobo. Dari dulu saya ke sana jarang mampir-mampir.” “Siap, Pak. Terimakasih.” *** “Saya minta maaf...” Kalimat itu terlontar karena sepertinya malam ini aku dan Dila terpaksa tidak bisa pulang ke Jogja. Urusanku sebenarnya sudah selsai, tetapi sore ini tiba-tiba Wonosobo diterpa hujan lebat yang disertai angin kencang. Meski aku mengendarai mobil, tetapi pulang sekarang sangat beresiko. Aku dengar beberapa pohon di pinggir jalan ada yang tumbang dan masih proses pembersihan oleh petugas. Area Kretek juga katanya macet parah sampai berkilo-kilo meter. “Saya enggak ada pilihan lain selain memaafkan. Lagipula ini juga bukan salah Pak Akhdan.” Itu jawaban Dila ketika aku meminta maaf padanya. Dila tampak gelisah, mungkin dia tak nyaman kalau harus menginap. Meski tak mungkin aku memesan satu kamar, tetapi aku rasa Dila jadi menjaga jarak begitu kami tiba di hotel terdekat. “Nanti kamu habis berapa, saya ganti uangnya,” ucapku malam itu ketika kami mampir ke toko pakaian. “Enggak usah, Pak. Enggak papa. Saya cukup dibayari penginapan dan makan saja.” “Oke.” Aku langsung balik badan dan menjauh ketika Dilla berjalan ke arah perlengkapan wanita. Aku sudah selesai belanja, jadi aku akan menunggu di luar. Hujan sudah reda, tetapi angin di sini masih bertiup cukup kencang. Suasana sekitar benar-benar terasa dingin menusuk tulang. “Saya sudah selesai, Pak.” “Oh, iya.” Lagi-lagi aku melihat Dila tampak gelisah. Aku berani jamin seratus persen kalau dia tak nyaman dekat denganku. Entah apa yang dia rasakan, tetapi aku bisa melihat dari gerak-geriknya yang mendadak canggung. Padahal, tadi sore ketika kami berangkat dan bertemu Pak Ramli, dia tampak baik baik saja. Dia bahkan masih sempat melempar candaan. “Kamu kenapa, Dila?” tanyaku begitu kami masuk mobil. “Kamu kelihatan enggak nyaman. Saya bau?” Aku mengendusi badanku barangkali memang bau. Ternyata tidak, aku rasa badanku sama sekali tidak bau. “B-bukan, Pak. Saya enggak bisa jelasin, tapi kayaknya Pak Akhdan paham.” “Kamu takut kalau saya apa-apakan?” “Bukan juga.” “Terus?” “Enggak papa, Pak. Enggak papa.” Aku memutuskan tak bertanya lagi, dan langsung mengendarai mobil meninggalkan toko baju. “Saya dengar, Wonosobo kalau di musim hujan terkadang cuacanya mendadak ekstrem.” Aku berkata, memecah keheningan. “Dulu, Ayah sama Bunda saya pernah terjebak di Dieng waktu hujan. Ada longsor kalau enggak salah. Baru bisa pulang besok siangnya.” Aku tersenyum ketika Dila mulai membalas kalimatku dengan kalimat yang panjang. Nadanya juga kembali terdengar biasa, tidak canggung lagi. “Kamu ikut, waktu itu?” Dila malah tertawa pelan. “Saya bahkan belum dicetak.” “Maksudnya?” “Waktu itu mereka belum menikah, Pak. Saya cuma diceritain Bunda.” “Ah... jadi itu, alasan Wonosobo adalah kota bersejarah buat kedua orang tuamu?” “Mungkin itu hanya salah satu, Pak. Kayaknya ada lagi, banyak.” Aku hanya mengangguk. Entah kenapa, tiba-tiba otakku mulai berpikir ke mana-mana. Apa hubungan kedua orang tua Dila sebelum menikah, sampai mereka harus terjebak di Dieng? Apa posisiku dan Dila saat ini juga bisa dibilang terjebak? Terjebak cuaca ekstrem? Akhirnya, aku dan Dila tiba juga di hotel setelah sempat macet di lampu merah. Baru saja aku turun dari mobil, tiba-tiba ponselku berdering sampai berkali-kali. Mataku melebar kaget ketika melihat siapa yang menelfon. Oh ya ampun, aku sampai lupa belum mengabari rumah! “Papa! Papa kok belum pulang jam segini?” suara Ken langsung terdengar nyaring begitu aku mengangkat panggilan. Aku merasa sangat bersalah ketika melihat Ken menangis. Matanya sembab, mungkin dia terus bertanya pada Ibu atau Mbak Iin kapan aku pulang. “Sayang, maafin Papa. Papa masih di Wonosobo. Papa enggak bisa pulang karena hujan di sini tadi sangat lebat, ada angin kencang juga.” Aku memejamkan mata, ketika kulihat Ken menangis. Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku melupakan Ken! “Ken, dengerin Papa—“ “Papa jahat! Papa tinggalin Ken sendirian!” Tangisan Ken terdengar semakin nyaring. Demi apa pun, aku membenci diriku yang terkadang sangat pelupa. Karena terlalu fokus pada cuaca buruk dan urusan dengan Pak Ramli, aku sampai melupakan jagoanku yang pasti terus menungguku pulang sejak tadi sore. “Sayang, Papa minta maaf....” Aku terkejut ketika Dilla tiba-tiba meraih ponselku. Aku menatapnya bingung, dan ketika tatapan Dila seperti minta izin ingin mengambil alih ponselku, akhirnya aku membolehkannya. “Hallo, Ken?” Ajaib! Seketika itu, tangis Ken berhenti. Dengan mata sembab dan merah, dia mendekatkan ponsel ke wajahnya. “T-tante Dila?” suaranya bergetar, tetapi aku mendengar nada antusias di sana. “Papa di sana sama Tante Dila?” Dila melirikku sesaat, lalu mengangguk. “Iya.” “Papa bakal pulang lagi, kan, Tante?” “Iya, dong. Besok Papa pulang.” “Beneran, kan?” “Beneran. Besok pulang.” Meski Ken tidak melihatku karena kamera depan terarah pada Dila, tetapi aku lihat dia tersenyum lebar di layar. “Titip Papa, ya, Tante? Jangan sampai Papa pergi-pergi. Ken takut...” Dila tidak menjawab, dan langsung menyerahkan kembali ponselku. “Papa minta maaf, ya? Besok minta dibawain apa, Ken?” Ken menggeleng. “Yang penting Papa pulang aja.” “Oke. Baik-baik di rumah, ya? Papa beneran minta maaf. Papa pasti pulang.” “Iya, Pa.” Setelah sambungan telfon terputus, aku lihat Dila menatapku tak enak hati. “Pak, saya minta maaf. Kayaknya tadi saya agak lancang.” Aku buru-buru menggeleng. “Tidak apa-apa. Saya justru berterimakasih. Saya enggak tahu kamu sudah bilang apa sama anak saya, sampai dia begitu menyukaimu sejak awal ketemu.” “Mungkin karena saya cantik?” Dila mencoba bercanda, dan entah kenapa detik itu juga tanganku reflek tergerak mengusap kepalanya. Dila terdiam, dan aku pun sama. Kutarik kembali tanganku, dan lidahku mendadak terasa kelu ketika Dila menatapku bingung. “Maaf, Dila. Saya—“ “Eee.. saya naik ke kamar dulu, Pak. Permisi.” Detik itu juga, Dila berlari meninggalkanku sambil menenteng paper bag berisi baju baru. Aku sendiri terpaku di tempat, dan perlahan tangan kananku terangkat. Sudah lama sekali tangan ini tidak pernah reflek mengusap pucuk kepala orang. Dan jelas, aku biasanya melakukan gerakan itu hanya pada Syafa dan Ken. Sebentar, aku kenapa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN