Jadi Gimana?

1676 Kata
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!" "Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan. Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami. “Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“ Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti. “Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!” Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya. “Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.” “Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.” Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main sat set sat set gitu, omelku. “Iya. Kami diskusikan lagi dengan Mela setelah ini.” Setelah bapak bilang begitu, Aiman pun pergi berangkat kerja sedangkan anaknya dititipkan lagi padaku. Gala tidak mengerti apapun jadi kejengkelan ku mana mungkin kupindahkan pada anak ini “Kakak mandi dulu. Nanti kita main.” “Iya kak!” Gala yang penurut langsung pindah ke belakang untuk menonton tv acara kartun kesukaannya. “Jadi apa keputusanmu Mel?” tanya ibu nggak sabaran. “Nggak tahu lah buk! Om Aiman itu kelihatan kayak penjahat.” “Ih dia polisi masa jahat?” “Penjahat sekarang profesinya apa aja ibuuu —“ “Tapi kayaknya si Aiman baik gitu.” Tuh kan ibu sama bapak pro om Aiman. Kalau kayak gini percuma aku membuat seribu alasan untuk menolak. “Kalau dia baik kenapa cerai sama istrinya yang dulu?” tanyaku yang langsung membuat raut wajah ibu berubah. Ibu duduk bersiap untuk bergosip. Posisi andalan emak-emak kalau sudah syur pasti kakinya naik satu ke atas sebagai tumpuan tangannya buat nyemil kacang goreng. Melihat kacang goreng aku langsung teringat dengan ucapan om Aiman tadi. Aku bagaikan kacang goreng telat diangkat? Apa aku sebegitu tidak menarik di hadapan laki-laki? Kalau kata ibu sama Donita sih memang aku kurang perawatan. Muka hitam karena sering main panasan. Kulit tangan sama kaki juga kering. Rambut malah kadang lepek karena keramas seminggu dua kali doang. Mungkin memang iyalah aku kurang menarik. Sial! “Kan istrinya yang nakal. Selingkuh di belakang. Waktu itu sempat heboh ya kan pak karena digrebek sama Aiman.” Bapak manggut-manggut kayak ayam. “Ya tapi bisa aja istrinya kayak begitu karena kurang diperhatikan.” “Cerita dari asistennya yang suka curhat ke warung langganan ibu, Aiman itu yah malah lebih sering dimarah-marahin sama istrinya itu. Uang belanja padahal udah dikasih cukup tapi habis sebelum akhir bulan. Dulu gajinya asisten itu... si istri yang pegang sampai asistennya ngadu ke Aiman kalau dia belum digaji.” Aku dan bapak beroh ria. Ibu semakin seru untuk melanjutkan ceritanya. “Sampai waktu itu si asisten cerita...pernah istri Aiman dianter pulang sama laki-laki waktu Aiman dinas. Dan karena keenakan itulah puncaknya Aiman marah besar.” “Itu Gala umur berapa buk?” tanyaku prihatin. “Kalau nggak salah baru lahir. Kan si Gala udah nggak sama mamanya waktu umur setahun.” Aku beralih ke arah Gala yang tengah asik bernyanyi mengikuti kartun kesukaannya. Aku meringis mengingat anak sekecil itu dari bayi nggak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Aku yang sebesar ini saja masih ingin manja-manja dengan ibu walaupun ibu cerewetnya setengah mati. Gimana dengan Gala yang sama sekali nggak bisa manja-manja dengan ibunya yang katanya sudah nikah lagi dan punya keluarga sendiri? Dua minggu dengan anak itu memang membuatku terbiasa dengan kehadirannya. Tiada hari tanpa bermain dengan Gala bahkan kami main sampai ke kampung sebelah. Aku sendiri merasa kehadiran Gala itu seperti punya adik sendiri. Maklum anak tunggal, jadi teman mainku cuma Donita yang sudah besar sepertiku. Kalau kami berpisah, mungkin hari-hariku jadi membosankan kayak dulu kali yah. Duh...kenapa jadi melow gini? “Kayaknya yang dibilang Aiman juga bener. Kamu sayang sama anak itu.” Aku tak bisa menyembunyikan airmata di depan bapak dan ibu setelah membayangkan perpisahan dengan anak itu, “Iya sih. Udah Mela anggep kayak adik sendiri.” “Kalau nikah sama Aiman jadi kayak anak sendiri, kan?” goda ibu yang langsung menyadarkanku tentang pernikahan. “Issh ibu. Mela masih belum cukup bekal buat jadi istri. Ntar kalau nasib Mela sama kayak mantan istrinya om Aiman gimana? Kita bercerai karena nggak cocok?” “Bapak sama ibu juga awalnya dijodohin. Tapi kami jadi saling cinta, iya kan pak?” Bapak manggut-manggut lagi kayak patung kucing di toko kelontong. Aku tetap merajuk, merengek, ngelesot ke lantai memohon pada bapak untuk tidak mengiyakan. Bapak kemudian mengangkat badanku untuk duduk tegak di lantai. “Terserah Mela anggep bapak kolot, bapak tetap nggak bisa biarin Mela sendiri di Jakarta. Kalau mau kuliah swasta di Medan, ya nggak apa-apa. Kalau tetap mau kuliah di UI terus kerja di Jakarta, Mela mesti ada yang jagain dan bapak percaya cuma sama Aiman,” tukas bapak penuh dengan penegasan di akhir kalimatnya. Setelah bapak bilang begitu, tubuhku langsung lemas seperti jeli. Aku tidak bisa lagi berkata-kata karena keputusan bapak yang sudah bulat seperti tahu bulat. Selang beberapa hari, kami mendapat kabar bahwa ibunya Aiman akan bertandang ke rumah. Secara halusnya, mereka datang untuk bertemu secara resmi alias prosesi lamaran. Aku langsung bengong di tempat karena prosesi ini benar-benar berjalan cepat dan mulus. Tidak ada kendala dan halang rintangan baik dari keluargaku maupun dari pihak keluarga Aiman yang jauh-jauh dari Jakarta datang ke Medan untuk bertamu. Gala terlihat senang sekali Omanya akan datang, sedangkan temanku Donita cuma bisa menertawakan ku melihat nasib yang kualami ini. “Jangan ketawa Don! Kujejelin sendal kau yah —“ “Tuhkan apa kubilang! Jodoh nggak lari kemana. Makannya jangan benci-benci sama orang, jadinya kualat kau kan?” “Itu kan karena muncungmu yang cerita kan kalau kita di razia jadi sampai ke telinga ibuku?” omelku setelah mengetahui siapa biang kerok dari beredarnya masalahku yang terjaring razia diskotik waktu itu. Donita cengengesan sambil memperbaiki riasanku yang hampir luntur karena keringat. Ngapain sih pakai dandan segala? Nanti keluarga Aiman malah shock kalau tahu aku nggak secantik ini. “Ya maaf Mel. Aku nggak bisa main rahasia sama bou ( bibi ) ku itu. Tapi keren lah, kau tetap bisa kuliah di sana. Suamimu pun pangkatnya jadi naik. Sejahtera lah kau kawan.” “Sejahtera apaan? Nanti kalau aku cuma dijadiin pembantu di sana, kayak mana?” Donita tertawa lagi yang aku tahu tawanya sebenarnya adalah kamuflase untuk menutupi perasaan ingin menangisnya itu. “Pulang lah. Ngapain kau tahankan? Kawanku ini kan bukan penakut. Tapi aku yakin Mel, kau akan bahagia sama om itu.” Suasana jadi sedikit mengharu biru. Donita mulai menangis saat memelukku. Aku bisa mendengar isakan tangisnya dan juga airmatanya saat kuhentikan pelukan diantara kami. “Beres. Kalau macam-macam polisi itu, tinggal kutendang aja, iya kan?” Donita mengangguk. Dia hari ini tampak cantik sekali mengenakan kebaya adat bataknya yang khas untuk menghadiri acara hari ini. Mendengar ocehan ku, Donita pun tertawa. Memanglah... persahabatan kami ini memang nggak cocok ada tangisan di dalamnya. Mau berita duka atau suka, yang kami tahu hanyalah canda tawa. “Mel! Keluarga Aiman sudah datang.” Woop! Tiba-tiba aku jadi gugup. Aku berjalan keluar dari kamar kemudian melihat rombongan keluarga Aiman memasuki halaman rumah. Banyak juga tetangga yang datang untuk melihat. Aku jadi malu karena beberapa anak nakal yang sering kuganggu malah membuat yel – yel seperti, “Kak Mela kawin. Kak Mela kawin.” Kan malu-maluin! Mereka memasuki rumah dengan wajah yang tidak begitu enak dipandang. Entahlah. Terutama ibunya Aiman yang sepertinya terlihat bingung melihat rumah kecilku ini. Aku punya firasat buruk saat memperkenalkan diri sebagai calon istri anaknya. Berbeda dengan saudari Aiman yang terlihat Soleha dan ramah, kakak Aiman ini terus mengajakku berbincang untuk saling mengenal. “Mel..senyum sama calon mertua,” bisik Donita. Aku ikut menyikut Donita, “Ibunya aja jutek gitu. Biarin aja. Jadi kan kita impas. Nggak jadi nikah juga nggak apa-apa sih. Pasti ibunya mikir kalau aku nggak pantes buat anaknya.” Donita terkekeh. Tapi ia menolak untuk mengaminkan perkataan ku barusan. Acara baru saja akan dimulai, suara tangisan Gala terdengar oleh semua orang. Ternyata Gala baru saja jatuh karena diajak main sama omnya. Gala berontak hingga membuat gaduh. Acara jadi terhambat karena Gala tiba-tiba tantrum. Ia bahkan tidak mau digendong papa, Tante juga Omanya. Terpaksa kalau begini, akulah yang menangani anak itu karena Gala menolak untuk diam. “Gala....sini kak Mel obatin. Nggak boleh nangis. Nggak boleh bikin keributan yah kalau lagi banyak orang,” ucapku lembut pada anak itu. Donita memberikanku plester yang aku simpan di kamar lalu menempelkannya ke lutut Gala. Setelah selesai kutempel, berhenti pula anak itu menangis. “Udah tenang belom? Gala mau apa? Kok ngamuk?” “Gala mau makan es krim, tapi tadi om Raka nggak ngijinin,” rengeknya. Gala menunjuk Raka. Seketika itu pula semua keluarga Aiman menatap sinis padanya. Pemuda bernama Raka itu salah tingkah dan cuma bisa nyengir saat disalahkan. “Gala kan belum makan. Ntar makan dulu baru makan es krim, oke?” “Nggak mau —“ “Harus mau, nanti nggak kak Mel ajarin gambar lagi loh.” Gala berpikir sejenak kemudian mengiyakan tawaranku tadi. Terpaksa sambil bincang-bincang antara kedua keluarga, aku menyambi memberi makan anak itu. Donita geleng-geleng kepala sambil berceletuk kalau Gala emang sudah seperti anakku sendiri. “Kalau kayak gini, gimana mau nolak pernikahan Mel.” “Emangnya kenapa?” bisikku. “Tuh, mamaknya Aiman yang tadi kau bilang merengut malah senyum-senyum daritadi liat kau sama Gala.” Aku terbelalak tak percaya. Padahal sudah kubangun perisai agar keluarga Aiman terlihat tidak senang, eh malah yang terjadi justru kebalikannya. “Jodoh memang udah diatur ya Mel sama Tuhan. Keluarga Aiman setuju pake banget kalian nikah besok.“ Donita tertawa sampai terkencing-kencing sedangkan aku menatap horor ibunya Aiman yang tersenyum penuh kegembiraan saat menyerahkan seserahan padaku. "Mama harap...kalian bahagia yah," ungkapnya dengan senyuman setulus bang Tulus. ==
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN