Ciuman Pertama

2004 Kata
Kami akhirnya sampai di rumah mamanya Aiman untuk menjemput Gala. Di jam segini, pastinya Gala sudah tidur. Tak terasa memang, acara pelantikan yang dilaksanakan dari pagi hari harus berakhir sampai jam tujuh malam. Makan-makan dan ngobrol berakhir sampai pukul sepuluh. Giman anggak hancur mukaku ini karena dempulan bedak? Sudah dipastikan besok pasti akan tumbuh jerawat. Dan oh ya! Sepanjang perjalanan ke rumah mama, kami berdua diam membisu. Ini semua terjadi karena Aiman yang meluk-meluk aku di parkiran mobil. Sudah nyaman karena baru pertama kali rasanya dipeluk guling hidup, tiba-tiba Aiman mendorongku dengan kasar untuk mengakhirinya. Padahal si beliau ini yang duluan main peluk! Tapi habis itu aku bagai tebu! Habis manis sepahnya dibuang. “Kenapa lagi sih?” “Ayo pulang,” perintahnya yang langsung memutar ke tempat duduk kemudi. Dan sampai di rumah mama, kami masih berdiam diri. Entah apa yang dia pikirkan sejak tadi, yang jelas aku lelah karena kegiatan hari ini. Jadi…aku nggak mau ribut! “Udah pulang? Kok cepet?” tanya kak Alina, kakaknya Aiman. Beliau dan suaminya tinggal di rumah mama yang besar ini. Alasannya sudah pasti untuk merawat mama yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan. “Itu nyindir atau gimana kak?” Aku juga merasa begitu sih. Apa kami pulang terlalu lama? “Enggak nyindir kok. Kan lumayan luangin waktu buat berduaan. Kalian kan belum bulan madu sejak menikah kemarin, kan?” Aku terbatuk -batuk mendengar penuturan kakaknya Aiman ini. Rasa-rasanya agak lain arah pembicaraan ini. “Oh itu ada jadwalnya kok. Sekarang nggak bisa karena aku juga mulai tugas pertama besok,” tanggap Aiman sambil melirikku. Apa sih! Pikirannya ke sana terus! Pokoknya aku tak sudi! Selama empat tahun ke depan aku masih mau perawan tingting! “Wah sayang banget. Kalau udah waktunya entar kabarin aja biar Gala mbak yang jagain.” Aiih! “Gala mana kak?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. “Udha tidur daritadi. Capek karena main terus.” Di sini memang pastinya Gala dimanjain. Kalau ada mbak Alina, kenapa mesti ngotot buat nyari pengasuh sih? Kan bisa dititipkan di sini. Apalagi sampai harus menikahi anak perawan kayak aku. Aku mulai curiga sama niat om-om satu ini! Kami masuk ke ruang tengah yang cukup luas. Di ujung ruangan ada banyak sekali barang-barang yang bertumpuk. Sepertinya kotak-kotak itu ada isinya dan cukup berat. Lalu di sampingnya ada pintu kaca yang menghubungkan ruangan lainnya lagi. Aku tak bisa melihatnya karena tujuan kami ke ruangan lurus yang melewati pintu kaca tadi. Mungkin karena aku melirik ke arah situ, kak Alina menjelaskan tanpa kuminta. “Di sana tempat kerja karyawan.” “Hah? Kerja apa kak?” “Para penjahit disabilitas. Jam enam sore tadi mereka baru pulang.” “Jahit?” Aku masih bingung. Atau otakku yang nggak menangkap pembicaraan ini. “Kotak-kotak besar itu gulungan kain yang masih berupa bahan. Mbak Alina designer baju muslim. Dan penjahitnya para disabilitas,” terang Aiman. Aku tercengang. Ternyata kak Alina memiliki usaha kecil yang membanggakan. Keren banget! Hasil karyanya juga ditunjukkan padaku. Di dalam ruangan yang nyaman itu ada lemari kaca yang berjejeran baju muslim yang telah siap diproduksi dan dijual. Kak Alina katanya juga bekerjasama dengan brand salah satu artis yang membuka bisnis baju-baju muslimnya juga. Bahannya yang premium membuat hasil jahitannya juga terlihat mahal nan elegan. Soal harga jangan ditanya. Di barcodenya tertulis dari harga ratusan ribu hingga puluhan juta. Beh! Aku tarik lagi deh pertanyaanku kenapa Gala nggak dititipin di sini. Itu pasti karena Aiman nggak mau Gala gangguin buk de-nya kerja. “Keren banget kak,” pujiku. “Alhamdulillah.” Kak Alina membuka lemari kacanya itu lalu mengambil salah satu karyanya. Ia lantas mencocokkannya padaku lalu memberikannya secara cuma-ciuma. “Buat kamu. Kayaknya ini pas.” Baju muslim seharga satu handphone itu diberikannya padaku. Aku menolaknya karena gemetaran menerima pemberian sebagus itu. “Enggak usah mbak. Ini kemahalan.” Aku menoleh ke arah Aiman. Pria itu mengangguk sambil memperhatikan. “Ambil aja. Aku juga penasaran gimana sosok Mela si preman Medan pakai baju tertutup dengan kerudungnya.” Heh! Aku juga pernah pakai jilbab yah!—Sungutku dalam hati. Walaupun jarang-jarang pakai hijabnya. “Aiman kamu kok ngomongnya gitu sama istrinya sendiri?” Udah yuk ke belakang. Mama nungguin.” Setelah kak Alina jalan duluan, aku melirik sinis om sompret itu sambil mengancamnya. Seperti kata-kata ‘Awas aja kalau kamu ledekkin aku terus. Nanti kamu mati!’ dengan gerakan jari memenggal leher. Yang kuancam malah mendelikku balik. Aku lantas berlari mengejar kak Alina untuk berlindung dari serangan syaitanirojim. “Ma….ini mereka baru pulang.” Mamanya Aiman sedang duduk menonton tv bersama menantu laki-lakinya. Namanya mas Baran. Beliau terlihat bersahaja dan alim. Tampak dari penampilannya dan sikapnya yang ramah serta santun. Membuatku membandingkan makhluk m***m di sampingku ini. “Kalian sudah makan malam?” Aiman menyenggol lenganku agar menjawab pertanyaan dari mamanya itu. Aku meliriknya sinis. “U—udah ma.” “Kalau gitu istirahat dulu,besok baru pulang.” Huh? Besok? “Kok besok Ma? Kita mau pulang sekarang,” sahut Aiman yang kali ini kata hatinya sama seperti kata hatiku. Mama tampak menolak usulan Aiman itu. Mama ngotot suruh kami menginap semalam di sini. “Gala udah tidur. Kasihan kalau dibangunin. Nginep semalam di sini, besok pagi baru pulang,” tukas beliau tegas. Tampak tak ingin dibantah. Aku meneguk ludahku sendiri mendengar titah orang paling berpengaruh di rumah ini. Kak Alina hanya bisa senyum-senyum saja dipojokan bersama suaminya. Mau tak mau aku dan Aiman menuruti permintaan emaknya untuk menginap semalam karena Aiman tak berani membantah wanita yang telah melahirkannya itu. “Mbak punya banyak baju ganti kok.” “Iya mbak,” jawabku lirih. Aku menunggu di depan kamarnya yang kebetulan tidak begitu jauh dari kamar Aiman waktu masih lajang. Sambil menyerahkan baju ganti, aku juga mendapatkan kunci dari kamar Aiman tersebut. Langsung saja kuberikan pada Aiman yang tengah ngobrol santai dengan abang iparnya, mas Baran. “Mandi gih.” “Duluan aja.” “Ya udah. Aku izin pakai kamar kamu.” Katanya di kamar itu ada kamar mandinya juga. Jadi ya sudah, aku memilih mandi di kamar Aiman daripada menggunakan kamar mandi tamu. Ternyata kamar itu dibersihkan dengan rutin. Terlihat tak ada satupun debu di kamar ini. Bahkan harum seperti sering ditempati. Tidak terlalu beda dengan kamar yang ada di rumah sana, kamar ini juga dominan berwarna abu dan putih. Ada satu single bed, meja serta rak yang berisikan segala macam buku di sana. Ternyata Aiman hobi baca buku juga. Aku pikir hobinya itu jahilin orang. Kamar ini terlihat lebih nyaman karena ada jendela besar yang terhubung dengan halaman depan rumah. Pencahayaannya juga bagus. Kamar yang nyaman. Apalagi dibangun di rumah jaman dulu yang masih terawat dengan baik. “Mandi dulu ah. Sebelum si sompret itu mandi.” Aku langsung bergegas. Kurang lebih sepuluh menitan, akupun keluar dari kamar mandi. Begitu keluar, aku dikejutkan oleh sosok Aiman yang sedang melepas seragam kepolisiannya. Ia masih menyisakan kaos singletnya di badan, tapi kenapa aku sudah panas dingin melihatnya seperti itu? Ah sialan! “Hei! Buka baju di dalam kamar mandi dong!” ketusku sambil menutup mataku dengan kedua tanganku. Tapi kuakui, kalau aku menontonnya lagi lewat celah-celah jari jemariku. Aiman seolah tak peduli dengan peringatanku itu. Beliau ini malah melepaskan satu-satunya penutup yang dia pakai di badan dengan pergerakan yang begitu slow motion menurutku. “Emang kenapa sih? Aku buka baju juga di depan istri sendiri,” gelaknya sambil melewatiku untuk segera masuk ke kamar mandi. Double s**t! Aku benar-benar mati kutu karenanya. Apalagi saat ini kami terjebak di kamar berdua. Gala tidur dengan omanya. Di luar sudah sepi karena penghuninya mulai masuk ke kamar masing-masing. Mana mungkin aku nongkrong sendirian di luar. Mau tak mau aku kembali masuk ke kamar setelah tadi aku kabur saat Aiman mandi. Aiman terlihat duduk santai sambil memainkan gawainya. Aku menatap horror single bed yang ia tempati. Terlihat lebih kecil daripada yang ada di rumah. Sofa pun tak ada yang itu artinya aku dan dia harus terpaksa banget tidur satu ranjang? Habislah aku! “Ngapain berdiri disitu? Sini…tidur di samping om,” ucap Aiman sambil menepuk area kosong di sampingnya. Aku menatap horror dirinya yang tampak santai tiduran di sana. Apalagi mendengar ucapannya barusan. Apa dia berniat menyerangku malam ini seperti kata-katanya di acara tadi? “Aku tidur di luar aja deh.” “Oh jadi daritadi kamu kepikiran soal ini?” Aiman melirik bagian yang kosong di sebelahnya. “Emang berani tidur di luar? Ini rumah lama loh.” Apa maksudnya itu? “Maksud kamu?” “Udah biasa di sini ada suara-suara aneh tiap malem. Kalau nggak percaya denger aja sebentar lagi,” ungkap Aiman menakut-nakutiku. Tak perlu berpikir dua kali, aku langsung putar arah dari yang awalnya sudah di depan pintu untuk keluar kamar menjadi berbalik ke tempat tidur. Aku berbaring sambil memunggungi pria itu. Tidak sudi rasanya melihatnya menertawakanku. “Berhenti ketawa!” perintahku. Tapi Aiman yang sedang berbaring di belakangku itu seperti enggan untuk menyudahinya. “Ternyata preman Medan takut juga.“ Aku berbalik sinis ke arahnya, “Emang ada yang nggak takut sama setan? Semua orang juga takut!” “Ada banyak kok,” balasnya sambil senyum-senyum meledek. “Auk deh!” “Gitu aja ngambek –“ Aku terduduk untuk menjelaskan kesalahpahaman ini, “Aku nggak ngambek kok! Oh ya! Ini warning pertama yah, jangan peluk-peluk aku kayak tadi. Dan ini…” Aku membuat garis pembatas khayalan. Aiman ikut terduduk untuk mendengarkanku mengoceh tengah malam. “…..batas kita. Awas kamu kalau langgar batasan!” Setelah mengatakan hal itu, Aiman malah dengan sengaja meletakkan kakinya ke bantalku yang itu artinya melewati batas yang sudah kugariskan. Aku mendelik ke arahnya. “Eits! Jangan –“ “Emang salah yah peluk istrinya sendiri?” Aku mendadak bisu. “Kalau mau, harusnya aku bisa melakukan apapun sama kamu karena kamu itu istri aku.” Aiman mulai mendekat, membuat alarm di kepalaku menjerit-jerit. Aduh! Kenapa situasinya jadi begini? “Ya nggak bisa seenaknya gitu dong, kita kan cuma suami istri bohongan!” Aku mundur dan Aiman semakin mendekat. “Kata siapa kita bohongan? Kita punya surat nikah yang lengkap. Di mata agama dan hukum kita sah.” Mati aku! Makin menjadi-jadi om sompret ini. Perlahan aku bergerak mundur di kasur, wajah Aiman hanya tinggal sejengkal saja dari wajahku. Tidak ada yang bisa aku lempar atau kupukulkan ke wajah mesumnya itu sampai aku pasrah dan memejamkan mata. Tiba-tiba tangan Aiman berada di pinggangku. Sama persis seperti apa yang dia lakukan di parkiran hari ini. Aku terkesiap merasakan sentuhannya tersebut lalu membuka mata. “Mau mundur sampai mana? Kalau nggak aku pegangin, kamu bisa jantuh ke belakang,” ungkapnya dan aku refleks menoleh ke belakang. Dan dia benar. Sedikit lagi aku nyaris terjatuh. Tapi itu bukan alasan dia bisa terus memajukan wajahnya padaku, kan? “Hei….kita….terlalu dekat,” bisikku. Jantungku juga sudah tak karuan dibuatnya. Aku mendadak lemah dengan tatapan matanya itu. Padahal daritadi aku tak melakukan apapun untuk menyerangnya. “Napas Mel.” Aku terkesiap lagi. Kali ini kuberanikan diri untuk beradu pandang dengannya lebih lama. Aku hanyut dalam tatapan Aiman yang tidak bisa kupahami. Tatapan lembut? Suka? Sayang? Atau napsu? Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, Aiman langsung merapatkan tubuhnya dan mempererat pegangannya pada pinggangku. Sama persis seperti di parkiran mobil tadi. Bedanya, Aiman terus menatapku dan tak lama mendekatkan bibirnya pada bibirku. Sekedar menempel dan seringan bulu, tapi itu sudah membuatku seperti mengeluarkan uap panas di teko air yang sudah mendidih. Waktu juga sepertinya berhenti. Seharusnya saat dia menciumku seperti ini, aku harus menendang, memukul, menampar atau apapun untuk menjauhkannya. Tapi aku malah diam sanking terkejutnya. Aku juga baru menyadari, ciuman pertamaku jatuh kepada om-om m***m ini. “Tidur. Besok aku dinas pertama,” ucapnya. Huh? Apa tadi barusan? Dia bilang tidur? Setelah merebut ciuman pertamaku dia malah bilang nyuruh aku tidur? Aiman melepas pelukannya dan mulai berbaring sambil memejamkan mata. Dia tersenyum. Ya! Aiman tersenyum penuh kemenangan! Ampun gusti! Ibu…bapak…anakmu sudah tak suci lagi. Bibir ini sudah dinodai oleh om berkedok suamiku ini. Next bisa saja dia melakukan hal lainnya. Punten…aing kudu kumaha? – kata orang sunda.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN