Bab 9. Menyewakan Rahim

1135 Kata
Happy Reading. Deby mengikuti langkah Andra keluar dari dalam lift menuju ke arah pintu berwarna coklat muda yang ada di ujung. Tiba-tiba jantung Deby berdebar-debar, dia merasa seperti akan melakukan sidang skripsi saja dan bertemu dosen killer, tetapi bedanya saat ini dia akan bertemu dengan seorang Alvaro Bautista, pria paling berpengaruh di kota ini. "Mbak Deby, silahkan masuk. Anda sudah ditunggu oleh tuan muda," ujar Andra. Deby mengangguk dan berusaha tersenyum. Kemudian dia masuk saat Andra membukakan pintu itu. Langkah Deby terasa berat sekali, dia berjalan ke arah pria yang duduk di depannya, yang sepertinya masih fokus dengan pekerjaannya karena dia sama sekali tidak menatapnya meskipun tahu ada orang yang masuk ke dalam ruangan itu. Deby merasa tiba-tiba aura di sekitarnya menjadi begitu dingin. Alvaro memang terlihat begitu mempesona saat sedang serius seperti ini, tetapi tetap saja auranya yang begitu dingin membuat siapa saja takut untuk mendekatinya. Deby terpaku dan berhenti melangkah, sungguh dia merasa takut saat ini. Keberaniannya yang sejak tadi pagi sudah berkobar menjadi sirna ketika berhadapan langsung dengan Alvaro. "Duduklah, kenapa kau berhenti?" Deby berjenggit kaget saat tiba-tiba Alvaro berucap. "Saya harus duduk di mana, Tuan?" Deby ingin sekali memukul mulutnya yang bertanya tentang hal konyol seperti itu. Tentu saja dia bisa duduk di hadapan Alvaro yang sudah tersedia 2 kursi di sana, kenapa dia harus bertanya segala. Kali ini Alvaro mendongak dan menatap Deby di balik kacamatanya. "Duduklah di sini," jawab pria itu datar. Deby mengangguk dan berusaha mengangkat kakinya untuk berjalan ke arah kursi yang berjarak sekitar 5 meter itu. "Kaki, kenapa kau jadi berat sih?" gerutu Deby dalam hati. Dia merasa jika kakinya seperti tertimpa besi ratusan ton dan tidak dapat diangkat. "Tarik nafas, buang nafas, ayo kamu pasti bisa," masih bersuara dalam hati untuk menyemangati dirinya sendiri. Akhirnya Deby berhasil mengangkat kakinya dan melangkah ke arah kursi yang berada di depannya itu. Deby bisa melihat pergerakan Alvaro yang membuka kacamatanya, kemudian dengan elegan pria itu meletakkannya di sisi samping kanan dekat vas bunga. Deby perlahan menarik kursi dan duduk, dia melakukan dengan sangat pelan dan perlahan. Entah kenapa dia merasa takut kalau sedikit saja bersuara akan mengganggu Alvaro. "Jadi, bagaimana jawabanmu?" tanya Alvaro to the point. "Ehm," Deby berdehem. "Sepertinya, setelah saya memikirkan semalaman dan saya juga sudah membicarakan semua ini kepada kakak saya, serta semua ini demi kebaikan dan kesembuhan kakak saya, saya akan menerima tawaran Anda untuk menjadi kekasih kontrak sekaligus istri kontrak selama 3 tahun dan juga saya akan menyewakan rahim saya untuk mengandung anak Anda." Alvaro menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar jawaban dari Deby, terutama jawaban terakhirnya yang mengatakan menyewakan rahim. Sepertinya perkataan itu sangat tidak etis kalau didengar oleh orang lain. Meskipun begitu, Alvaro hanya diam saja karena menurutnya memang apa yang dikatakan Deby benar. "Jadi kau bersedia?" Deby mengangguk beberapa kali. "Kau siap mengikuti aturannya?" "Siap, tuan. Saya tahu batasan kok," jawab Deby. Wanita itu tentu paham dengan aturan dan isi yang berada di surat kontrak itu. Akhirnya Deby memberikan jawaban kepada Alvaro jika dia bersedia menjadi Istri kontraknya dan bersedia melahirkan benihnya. Alvaro tersenyum tipis, dia merasa lega akhirnya bisa membawa seorang wanita ke hadapan kakeknya. "Bagus, karena aku tidak mau akan ada yang tersakiti nanti, jika kita sudah saling menandatangani kontrak perjanjian itu, mulai saat ini juga kamu sudah resmi menjadi kekasihku," ujar Alvaro. Pria itu mengambil sebuah map di dalam laci. Kemudian menyerahkannya pada Deby. "Baca lagi dan setelah itu kau tanda tangani kontrak ini." Deby mengangguk dan mengambil map tersebut. Dia sudah membacanya dan kemudian dengan kemantapan hatinya, akhirnya Deby menandatangani kontrak perjanjian tersebut. Terbilang dari hari ini dia sudah resmi menjadi kekasih Alvaro dan terhitung sampai tiga tahun mendatang. "Sore nanti ikut aku menemui kakek tapi sebelum itu kamu harus merubah penampilan terlebih dahulu," ujar Alvaro menatap lekat Deby dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Deby mengamati dirinya, mungkin memang dia tidak memiliki pakaian yang bagus sedangkan kalau untuk bertemu dengan kakeknya Alvaro tentu saja dia harus memakai dress yang mahal dan juga tas dan sepatu yang bagus tentunya. "Baik tuan," Alvaro berdecak ketika mendengar Deby masih memanggilnya dengan sebutan 'Tuan'. "Mulai sekarang kamu harus mengganti panggilan mu untukku, kamu harus memanggilku dengan sebutan seorang kekasih terhadap kekasihnya," ujar pria itu. Deby mengerti, tetapi dia masih sungkan untuk memanggil Alvaro dengan panggilan mesra. "Saya harus manggil apa tu --- eh!" Deby menutup mulutnya. "Biasanya kamu memanggil apa kepada kekasihmu?" "Kebetulan sekali, Saya tidak pernah memiliki kekasih jadi saya bingung dan tidak paham bagaimana cara memanggil dengan panggilan yang mesra," jawab Deby jujur. Alvaro memijit keningnya, ternyata Deby ini memang benar-benar gadis yang polos. "Panggil saja sesukamu asalkan tidak ada kata-kata formal dan kaku di antara kita," ujar Alvaro. Deby tidak mau terlihat bodoh, jadi dia pun memikirkan sebuah panggilan yang terlintas di kepalanya. "Ah, bagaimana kalau aku memanggilmu dengan sebutan 'Mas' saja, itu sudah mesra kalau menurutku sih, kalau aku memanggilmu dengan sebutan sayang, entah kenapa kurang cocok, hehe." Deby nyengir kuda ketika Alvaro memelototinya. "Terserah kau saja, sekarang kau boleh duduk di pojok itu dan menungguku sampai aku selesai memeriksa berkas-berkas ini," Deby menatap sofa di pojok ruangan itu kemudian dia pun langsung berdiri dan berjalan ke sana. Lagi-lagi Alvaro sedikit menarik sudut bibirnya, dia merasa senang melihat Deby yang begitu penurut. *** Sore itu Alvaro mengajak Debby ke butik untuk membeli baju, karena memang baju Deby terlihat sangat kuno. Alvaro menghentikan mobilnya di sebuah butik terkenal di kota itu. "Ayo turun," ujar Alvaro. Deby mengangguk dan membuka pintu mobil. Kemudian dia keluar dari sana. Alvaro menjemput Deby di sisi satunya dan menggandeng tangannya untuk masuk ke butik tersebut. "Selamat sore tuan, nona," ujar pegawai yang menyambut mereka berdua. "Di mana Alex?" "Miss Alexa ada di dalam, saya akan panggilkan," pegawai itu kemudian masuk ke dalam untuk mencari atasannya. Deby mengamati sekeliling, tempat itu lumayan besar dan cukup ramai, sepertinya memang ini adalah butik yang cukup terkenal dan juga koleksi-koleksinya yang begitu cantik-cantik. Deby membelalakkan matanya ketika melihat salah satu dress yang berada di manekin dan dibrandol dengan harga 20 juta rupiah. "Ah, hai Alvaro? Wow, dengan siapa lagi kau datang ke sini?" tiba-tiba seorang pria setengah ngondek muncul dari dalam dan langsung menyapa Alvaro. Deby menatap cowok kemayu itu dengan tatapan aneh. "Berikan baju yang cocok untuk Deby, Aku ingin kau memberikan baju yang terbaik di butikmu ini," ujar Alvaro tanpa menjawab pertanyaan dari pria itu. "Heh, kenapa makin hari seleramu makin aneh, lihatlah wanita yang kau bawa sekarang? Sangat berbeda jauh dengan wanita yang kau bawa sebulan yang lalu, bahkan dari semua wanita-wanita mu yang kau bawa ke sini, dia terlihat lebih buruk," ujar pria itu menatap Deby dengan tatapan meremehkan. Tentu saja hal itu membuat Deby ingin menampar bibir pria kemayu itu, sebelum Alvaro merangkul bahunya. "Jangan banyak bicara, aku tidak membayar mu untuk mengomentari siapa pasanganku, Alex," ucap Alvaro tajam. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN