Ch 6
Citra sampai di rumah majikan saat hari sudah mulai malam. Karena macet dan hujan deras membuat laju kendaraan tidak bisa maksimal.
Citra mengetuk pintu rumah sang majikan.
tok...tok..tok..
tok...tok..tok..
Tidak ada jawaban ia mencoba memencet belnya, tetapi, sama saja tidak ada jawaban dan tidak ada yang membuka pintu.
Kemana ya ibu, bapak dan anak-anak? Apa mereka belum pulang? Atau keluaran belum pulang? batin Citra saat itu.
Ia berniat untuk mencoba bertanya di tetangga sebelah, belum sampai ia memutar tubuhnya pintu sudah terbuka.
"Citra kamu sudah balik?" sapa Jhon pada Citra setelah pintu itu berhasil di buka.
" Eh, bapak. Iya pak, soalnya saya memang hanya ijin satu Minggu saja, dan besok anak-anak sudah mulai masuk lagi sekolahnya, bapak dan ibu juga sudah mulai bekerja lagi," sahut Citra.
"Iya hari Senin memang padat-padatnya, apalagi ibu sebagai pegawai bank, hari Senin adalah hari tersibuk," ujar Jhon. Ia mempersilahkan masuk Citra.
"Iya pak saya permisi," pamit Citra tanpa basa basi. Karena memang Citra tidak terlalu sering bicara dengan Jhon selama ia bekerja di sana.
Citra mengedarkan pandangannya ke sekeliling terlihat sepi.
Apa ibu dan anak-anak sudah tidur? pikir Citra.
Citra kemudian mengecek kamar Archa dan Ardha. Ternyata benar ia tidur. Citra kembali menutup pintu dan pergi ke kamarnya sendiri.
Ia melihat jam dinding yang menempel pada dinding sebelum menuju ke kamarnya itu, ternyata sudah jam sepuluh.
Pantas tadi aku ketuk-ketuk tak ada jawaban sudah malam ternyata. batinnya
Citra mengambil pakaian ganti, ia akan membersihkan diri di kamar mandi yang berada di samping dapur itu.
Setelan piyama lengan panjang juga celana panjang menemani malamnya hari ini. Citra tidak pernah sekalipun memakai pakaian yang tidak sopan saat di tempat majikannya. Meski di rumah ia selalu memakai kaos berlengan. Tidak pernah berlebihan.
Citra mencoba memejamkan matanya, tak butuh waktu lama untuknya tertidur, perjalanan yang panjang memang sangat melelahkan itu sebabnya sekali menempel pada batal ia akan langsung mengukir mimpi.
Baru saja terlelap Citra bisa merasakan bahwa ada yang membuka pintu, ia pikir itu Ardha anak bungsu dari sang majikan. Karena dia memang sudah biasa tidur dengan Citra. Citra tak menghiraukannya ia benar-benar lelah dan mengantuk.
Orang itu duduk di samping di mana Citra memejamkan matanya. Membelai rambut Citra. Citra dengan mata terpejam mengibaskan pelan tangan itu. Karena dia tahu itu pasti Ardha. Namun dugaannya salah. Tangannya begitu besar dan berat.
Ia langsung membuka matanya dan begitu terkejutnya Citra saat itu.
"Aaahk!" teriak Citra saat tahu siapa yang datang ke kamarnya. Namun suaranya tertahan karena telapak tangan besar itu sudah menutup mulut mungil Citra.
Tepat sekali, dia adalah Jhon majikan laki-laki Citra.
Ya Tuhan ada perlu apa bapak kemari? pikir Citra ketakutan. Karena tidak biasanya Jhon datang ke kamarnya.
Jhon perlahan melepaskan bekapannya dari mulut Citra. Sebelum itu ia memperingatkan Citra agar tidak berteriak.
"Jangan teriak Citra, bapak tidak ada maksud apa-apa," katanya.
Citra mengangguk paham. Setelah dengan sempurna terlepas, Citra memberanikan untuk bertanya.
"Bapak, ada apa? Apa bapak mau saya bikinkan kopi atau teh?" tanya Citra dengan nada ketakutan.
"Tidak Citra, ibu sudah tidur dan bapak masuk angin, boleh bapak minta tolong buat kerokin bapak?" jawab Jhon.
Citra kaget mendengar penuturan itu. Bagaimana bisa seorang pembantu rumah tangga di mintai tolong untuk mengerok tubuh majikan laki-laki. Perasaan Citra sudah tidak karuan. Ia mendapat firasat yang buruk saat ini.
Ketakutan demi ketakutan perlahan menjalar dalam tubuhnya.
Mungkin bagi Jhon permintaan itu wajar, tapi tidak dengan Citra seorang gadis yang tidak pernah tersentuh dan menyentuh laki-laki selain kakek dan ayahnya. Ini terasa begitu berlebihan pikir Citra.
Citra takut bagaimana kalau ibu tahu pasti akan menyebabkan fitnah, antara dirinya dengan Jhon.
Bagaimana kalau anak-anak kebetulan bangun? Ini pasti akan sangat rumit, belum lagi kalau ibu yang datang, astaga– apa yang harus aku lakukan? pikir Citra. Ia terus berperang dengan dirinya sendiri.
"Kamu bisa Cit?" imbuhnya.
Citra hanya dia saya, ia terus meremas kedua jari jemarinya. Menggenggam ujung bajunya hingga lusuh.
"Citra?" panggil Jhon, ia menempatkan mulut sensual itu pada telinga Citra. Membuat Citra semakin ketakutan. Dan bergetar hebat. Keringat dingin mulai membasahi kening dan juga telapak tangannya.
"Maaf pak, saya tidak bisa, saya akan buatkan bapak teh, dengan campuran obat masuk angin pak?" sahut Citra, ia langsung beranjak pergi dengan setengah berlari menuju ke dapur tanpa menunggu jawaban dari Jhon.
Astaga kenapa ini? Perasaanku tidak enak Ya Tuhan. Tolong hamba, bantu hamba. Hamba takut kalau sampai bapak berbuat macam-macam dengan saya. batin Citra, ia berdoa dalam hati mencoba menenangkan dirinya namun usaha itu nihil.
Melihat tingkah laku yang aneh yang di berikan oleh Jhon, Citra mengintropeksi dirinya sendiri, apa ada yang salah dalam ia berpakaian saat ini? Ia melihat dirinya sendiri dari atas sampai pada kakinya.
Semua normal saja. Tapi kenapa bapak tiba-tiba bersikap aneh? Ia bertanya pada diri ya sendiri.
Tanpa banyak berpikir lagi Citra mengambil teko dan mengisinya dengan air lalu meletakkan di atas tungku kompor.
Ia mengambil gelas dan teh serta cairan obat pereda masuk angin. Lalu menuang air panas yang telah mendidih tadi ke dalam gelas. Citra meletakkan gelas itu di atas meja makan.
Sudah lumayan lama Citra di dapur tapi Jhon tidak juga menyusulnya. Citra semakin risau.
Citra kembali masuk ke kamar, ia kira Jhon sudah di kamarnya tapi saat Citra menutup pintu ternyata Jhon bersembunyi di belakang pintu. Dia lalu mengunci pintu dan menutup mulut Citra, menarik lengannya dan menyeret tubuh kecil Citra sampai ke ranjang.
Tanpa melepas bekapan tangannya di mulut Citra dia berkata,
"Citra tolong bapak ya, bapak sudah bilang kan tidak mau teh atau yang lainnya, bapak hanya minta dikerokin saja." katanya.
Tatapannya satu, seakan sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Citra tahu pasti apa yang ia takutkan akan terjadi. Matanya mulai memerah karena menahan tangis. Ia mengedipkan matanya, agar rasa perih itu hilang, bukannya hilang justru air mata keluar dari kelopak matanya.
Jhon melepas bekapan tangannya pada mulut Citra. Karena melihat gadis itu meneteskan air mata. Entah apa yang ada di pikiran Jhon saat ini.
Citra mengambil napas dalam, ia menghirup sebanyak-banyaknya oksigen gratis dari sang pencipta itu. Dadanya serasa sesak. Ketakutannya belum mereda, ia masih menggigil dan berkeringat dingin.
Dengan keberanian yang tersisa ia menyetujui permintaan Jhon. Karena ia takut jika Jhon berlama-lama di kamarnya bukan tidak mungkin ibu akan segera tahu.
"Ya baik pak, saya ambil minyak gosok dulu," lirih Citra, suara bergetar hebat. Ia mencoba tegar dan berpikir baik saja.
Citra berjalan menuju meja kecil yang terletak di sebelah almari besar di kamarnya itu, mengambil minyak dan pecahan uang koin. Setelah mendapatkan itu Citra kembali pada sisi ranjang di mana Jhon duduk di sana.
Jhon mulai membuka bajunya. Kulitnya putih, umurnya empat puluh tahunan. Badannya berisi, bukan berotot, dengan perut yang buncit dan rambut keriting yang cepak.
Sejak hari itu, Citra begitu membenci Jhon majikan laki-lakinya. Ia telah memaksakan kehendaknya pada Citra meski hanya meminta kerokan tali ini adalah hal yang tabu bagi Citra.
Dengan keraguan juga ketakutan Citra perlahan menuangkan minyak pada tubuh bagian belakang Jhon, lalu menggosokkan uang koin di atas minyak itu.
Citra kesal dengan kelakuan Jhon jelas-jelas di sini tidak ada menunjukkan bahwa dia sedang masuk angin, bekas gosokan itu sama sekali tidak berubah warna barang sedikitpun. Di atas kulitnya yang putih jika Jhon masuk angin pasti akan langsung merubah warna kulit yang di gosok menjadi merah, tapi ini tidak sama sekali.
Citra menghentikan aksinya.
"Pak, sudah selesai, saya mohon bapak segera kembali ke kamar bapak, saya tidak mau menimbulkan fitnah," kata Citra saat di rasa usahanya untuk mengerok tubuh Jhon sia-sia.
Namun Satu hal yang tak terduga terjadi saat ini, Jhon membalikkan tubuhnya dan memegang lengan Citra. Citra semakin takut di buatnya, ia menundukkan wajahnya.
"Bap ... bbapk mau apa?" Suaranya tercekat seakan tak bisa lolos dari tenggorokannya. Tangan Citra semakin bergetar.
Tanpa berkata apa-apa dia lalu menciium mulut Citra dengan paksa. Citra memberontak ia menolehkan wajahnya agar semua itu tidak terjadi. Namun Jhon tidak menyerah ia berganti menyerang telinga Citra.
Citra mencoba berteriak, meminta tolong, Citra mendorong sekuat yang ia bisa, menjauhkan wajah Jhon dari dirinya.
"Bapak hentikan! tolong ... tolo–!" teriak Citra. Namun teriakan itu tertahan, lagi-lagi oleh telapak tangan Jhon yang besar.
Mulut Citra kembali dibekap olehnya, dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain memegang kedua tangan Citra dan menguncinya di atas kepala Citra. Citra mencoba menggelengkan kepalanya agar ia bisa terlepas dan berteriak meminta tolong kembali, sekuat ia mencoba namun usahanya tetap sia-sia karena Jhon sudah benar-benar gila, dikuasai oleh nafsu bejatnya.
Saat mendapat satu kesempatan, saat Jhon telah sibuk melepaskan satu kancing baju Citra, ia melepaskan bekapannya dari mulut Citra. Saat itulah Citra berteriak meminta tolong.
"Ibu!! tolong aku!! tolong!!" teriak Citra.
Meski begitu Jhon tak menghentikan aksinya. Dia justru terus melepaskan kancing baju Citra satu persatu hingga tersisa satu kancing lagi maka terbukalah baju yang Citra kenakan.
Beruntung sebelum itu terjadi suara pintu digedor-gedor dari luar mampu menghentikan aksi dari Jhon. Tapi bukan berhenti dalam arti menyerah, justru Jhon berjalan menuju ke arah meja kecil tempat Citra mengambil minyak gosok tadi.
Suara teriakan dari luar terdengar dan siapa lagi kalau bukan Kasih, majikan Citra.
"Citra ... Citra kamu kenapa? Ada apa? Sama siapa?" Pertanyaan beruntun sudah memenuhi telinga.
"Ibu tolong saya!" teriak Citra, meski ia panik tapi ia harus meminta bantuan pada Kasih.
tapi Jhon? dia gila, dia tidak memberhentikan aksinya, justru dia meraih lakban yang berada di laci dan melakban mulut Citra. Kali ini Citra tak lagi bisa berteriak.
Beberapa saat kemudian pintu itu dipukul oleh Kasih. Dia merusak pegangannya menggunakan palu dan berhasil masuk ke kamar, saat Jhon mau melepas celana piyama Citra
Tangisan Citra sudah sampai terisak-isak. Ia begitu takut kalau hal buruk akan benar-benar terjadi. Beruntung Kasih datang tepat waktu.
Jhon yang gila segera menoleh ke arah Kasih. Dia mencari-cari alasan agar terbebas dari ini semua. Di balik lakban Citra hanya bisa menangis. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Jhon ataupun Kasih.
Jhon langsung mendekati Kasih. Memutar balikkan semua fakta yang ada.
"Ma untung kamu datang tepat waktu," kilahnya.
"Ada apa ini pa? Kenapa kamu di sini? Kenapa pintu dikunci? Citra kapan kamu datang?" Tanya Kasih dengan suara yg serak menahan tangis dan amarahnya.
Apa yang akan di katakan Jhon pada Kasih?