Bab 13. Tugas

1095 Kata
    Suara mesin mobil dimatikan.     “Vika, Vika, bangun.” Raka menoleh ke belakang, membangunkan adiknya. Guncangan kelima, Vika membuka matanya.     “Udah sampai, Mas?” tanyanya. Vika masih kesulitan membuka matanya.     “Udah. Ayo turun.”     Setelah makan siang, Raka mengajak Vika ke banyak tempat. Di antaranya Mall dan Taman Kota. Sengaja Raka membawa Vika ke Mall untuk membelikannya beberapa barang dan juga pakaian. Selain itu Raka juga ingin mengajak Vika bermain di Timezone—arena permainan favorit Vika sejak duduk di taman kanak-kanak.     Vika oyong—tidak kuat membawa tubuhnya akibat rasa kantuk. Berjalan gontai, Vika mengusap-usap kelopak matanya.     Raka turun dari mobil, membuka bagasi belakang, mengangkat semua barang belanjaan.      Sekarang pukul Sembilan malam. Dua jam mereka terjebak macet, itu mengapa Vika memilih untuk tidur ketimbang melihat dan mendengar bisingnya suara klakson mobil.     Sampai di dalam, Vika langsung menuju kamarnya. Sebelum itu Raka mengingatkan adiknya untuk sholat isya terlebih dahulu baru tidur.     Vika mengiyakan.     Raka menyempatkan diri untuk belanja bulanan saat Vika sedang asyik bermain bombom car. Sekarang dia tengah membuka satu persatu plastik, menyusun isinya ke dalam kulkas.     __00__     “Gue gak ngerti. Sebenernya yang lo mau itu apa, sih? Lo gak cape apa bolak-balik ganti pacar?”     Abira menggeleng. “Nggak. Tapi … kalau boleh jujur gue mulai ngerasa bosen sih sekarang, Dis. Gue pengin nemuin cowok yang nantinya bakal bener-bener jadi suami gue.”     “Terus kenapa lo ngincer Pak Raka kalo lo udah mulai ngerasa bosen?”      “Ya gimana, gue yakin kalo Pak Raka itu jodoh gue.”     Kali kedua Gladis menjitak kepala Abira. Bisa-bisanya sahabatnya itu dengan percaya diri dan yakin mengatakan bahwa dosen baru, tetangga barunya, yang baru tiga hari pindah, adalah suami Abira nantinya. Ideologi dari mana?     Abira mengeluh memegangi jidatnya. “Sakit tau!”     “Abira Carlissa Imanuel, lo baru tiga hari, TIGA HARI ketemu Pak Raka.”     “Terus?”     Gladis harus menghela napasnya, menahan emosinya semaksimal mungkin.     “Bisa-bisanya lo dengan pedenya bilang kalo Pak Raka itu jodoh lo. Lo sehat?”     Abira menatap wajah Gladis sedikit ngotot. “Nih, ya, gue kasih tau. Yang namanya jodoh itu gak ada yang tau. Bisa aja kan jodoh gue Pak Raka?”     “Terserah lo deh, Ra. Tapi, lo musti inget pesen gue. Jangan sampai anak-anak kampus tau lo ngincer Pak Raka. Bisa berabe ntar urusannya.”     Perdebatan malam itu selesai. Sudah pukul sepuluh malam. Gladis memutuskan untuk menghentikan perdebatan, dia ingin tidur.      Abira menuruti saja keinginan Gladis. Lagipula sahabatnya itu tidak akan mengerti kenapa Abira begitu yakin bahwa Raka adalah jodohnya. Terserah Gladis mau bilang apa. Yang penting dia akan tetap melakukan segala macam cara untuk membuat Raka jatuh ke dalam pelukannya.     “Lo udah sholat isya, Dis?” tanya Abira. Dia sedang duduk di depan meja rias, melaksanakan rutinitas wanita kebanyakan sebelum tidur. Skin care-an.     “Gue masih palang merah, Ra.”     Abira ber-oh.     “Eh, gue mau nanya dong.”     Gladis saat itu sudah dalam posisi nyaman. Posisi miring, memeluk guling, di dalam selimut.     “Apaan?”     “Lo kenapa tiba-tiba nanya gue mau balikan sama Doni atau nggak?”     “Gak ada. Emang kenapa? Salah?”     “Kok lo yang sensi, sih?”     Gladis terkekeh. Benar juga kata Abira. Sejak tadi dia terlihat sensian. Mungkin itu efek palang merahnya.     “Doni datengin gue tadi.”     “What?” __00__     Baru saja Doni hampir memegang gagang pintu rumah, pintu sudah dibuka duluan oleh mamanya. Alih-alih menyambut dengan ramah, Dita justru memasang wajah kusut.     “Gagal lagi?” tembak Dita, langsung.      Doni menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia sengaja tidak langsung pulang ke rumah setelah dari rumah Gladis, untuk menghindari amarah mamanya. Sekarang pukul setengah satu dini hari. Dia tidak menyangka kalau mamanya akan menunggunya sampai selarut ini.     “Pokoknya Mama gak mau tau, ya, Don. Bagaimana pun caranya, kamu harus balikan sama Abira. Anggap itu tugas dari Mama, atau Mama akan sita semua fasilitas kamu.”     Dita masuk ke dalam rumah.     Doni mengacak rambutnya frustasi. Andai mamanya tau mencari cara agar bisa balikan dengan Abira itu sesulit apa, pasti mamanya akan memilih mundur lebih dulu.     Sampai di kamar Doni langsung mandi. Lima belas menit kemudian dia sudah selesai, keluar dari kamar mandi mengenakan kaos hitam dan boxer senada.      Perut Doni berbunyi. Dia memutuskan untuk keluar rumah. Saat hendak menuruni tangga, tiba-tiba sebuah pemandangan e****s menyambutnya. Doni menggelengkan kepalanya, muak. Entah sampai kapan mamanya itu akan berhenti dan keluar dari dunianya yang sekarang. Setelah melihat adegan itu membuat nafsu makan Doni hilang. Dia kembali masuk ke dalam kamar. __00__     Azan shubuh berkumandang.     Raka bangun dari tempat tidurnya, berjalan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Setelah itu Raka mengganti pakaian tidurnya dengan baju koko putih dan sarung coklat. Tak lupa kopiah hitam andalannya.      Saat Raka keluar dari kamar, Vika memanggilnya, “Mas.”     Raka menoleh, melihat ke atas. “Kenapa?”     “Vika mau ikut.” Vika buru-buru masuk kembali ke kamarnya, mengambil mukenah dan sajadah. Setelah itu dia bergegas menuruni tangga, menggandeng tangan Raka begitu sampai di sampingnya.     “Ayo, Mas.”     Sampai di mushola kompleks Raka ditunjuk menjadi imam. Tanpa ragu Raka langsung maju dan memimpin sholat.     Bacaan Raka tidak perlu diragukan. Suara indah, tajwid bagus, salah satu nilai plusnya.     “Assalamualaikum warahmatullah…. Assalamualaikum warahmatullah.”     Usai sholat subuh Raka bersalaman dengan para jamaah sekaligus memperkenalkan diri. Ada beberapa orang yang belum melihat Raka tiga hari terakhir karena tidak datang ke masjid. Para warga terlihat senang berkenalan dengan Raka.     Vika mengintip dari pembatas antara shaf perempuan dan shaf laki-laki.      “Mas, Mas, ayo pulang,” bisiknya.     Raka mengangguk dan segera mengakhiri acara berkenalan itu.     “Mas, ada yang kirim salam.”     “Kirim salam?”     “Iya. Bu Nadira kirim salam.”     Raka terkekeh. Masih pagi buta seperti ini adiknya sudah membahas guru barunya saja. Bahkan matahari masih butuh waktu sekitar satu jam lebih lagi untuk memunculkan diri. Tapi adiknya? Ingin mendesak punya kakak lagi. Begitu dalam pikiran Raka.     “Kamu salah orang pasti. Emangnya Bu Nadira rumahnya di mana?”     “Vika gak salah orang, Mas. Ternyata Bu Nadira tinggal di kompleks ini juga.”     “Seriusan kamu?”     “Iya, Mas. Tadi Bu Nadira bilang suara Mas bagus.”     Raka membuka pintu rumahnya. Mereka sudah sampai. Jarak antara masjid dan rumah mereka tidak jauh. Cukup berjalan beberapa menit, sampai.     “Itu namanya bukan kirim salam, Vika. Udah ah, kamu mandi sana, biar gak ngaco mulu.”     “Mas, ih. Vika kasih tau, ya, Mas. Kalo ada cewek yang muji laki-laki, itu tandanya dia suka.”     Raka mencubit pipi adiknya gemas. Masih kelas delapan, tapi sudah sok tau soal percintaan. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN