Bab 15. Berusaha

2215 Kata
Alarm ponsel membangunkan Doni. Masih dengan mata tertutup, laki-laki berusia dua puluh satu tahun itu meraba tempat tidur di sekitar kepalanya, mencari benda canggih yang sekarang disebut smartphone. Setelah berhasil menemukan benda canggih itu, Doni mematikan alarmnya. Alih-alih bangun, dia justru kembali melanjutkan tidurnya. Pukul setengah delapan pagi. Seharusnya dia sudah sampai di kampus saat ini berhubung dia dan teman kelompoknya—Rio, Bagas, dan Fadli harus membahas tugas mini risetnya. Tapi, sekarang dia malah enak-enakan bertamasya di pulau kapuk alias kasur yang empuk dan nyaman. Ponselnya berdering. Tidak diragukan lagi, itu pasti panggilan dari salah satu teman kelompoknya. Rasa kantuk berhasil menguasai Doni. Dia membalik badannya menjadi posisi telungkup, menjorokkan kepalanya ke permukaan kasur, kemudian menindih kepalanya dengan bantal sekaligus menutup kedua telinganya. Tidak berhenti sampai di situ. Yang menghubunginya adalah Rio dan ini kali kelima. Geram, Doni akhirnya mengangkat telepon Rio. “Lo bisa gak sih jangan ganggu gue tidur b*****t?!” bentak Doni. Dia beranjak duduk sekarang. “Santai, Bro. Lo gak lupa kan hari ini hari apa?” Mata Doni terbuka lebar perlahan. Ingatannya mengenai apa yang harus dia lakukan hari ini berangsur muncul di kepalanya. Tiga detik kemudian Doni benar-benar membuka matanya sempurna. “Kita bertiga udah nungguin lo setengah jam di sini?” “Sorry, Bro, gue—” “Udah, gak usah nyari alasan lo. Buruan ke sini. Jangan lupa bawa ituan, ya.” Sambungan telepon diputus. Doni melempar ponselnya ke kasur. Dia menggaruk rambutnya frustasi, kemudian mengucek matanya. Dia masih belum puas tidur sebenarnya. Terhitung, baru tiga jam Doni tidur. Pukul Satu dini hari. Seorang wanita yang mengenakan dres sepaha, berwarna merah, di atas lutut, super ketat. Wanita itu duduk di pangkuan Doni. Sambil memegang gelas, dia membiarkan Doni memainkan tangannya, menjamah seluruh bagian tubuhnya. Alih-alih marah, wanita itu justru tenggelam dalam permainan Doni. “b*****t lo, Don! Lo sama sekali gak ada bedanya sama nyokap lo.” Doni tertawa. Dia mengecup leher Erika. “Nyokap gue udah gak inget umur, Ka. Gue gak habis pikir kenapa masih ada yang mau sama nyokap gue.” Erika menyiramkan gelas berisi wine ke wajah Doni perlahan. “Nyokap lo banyak uangnya, Don. Siapa yang nolak uang di zaman sekarang ini?” Doni memukul-mukulkan tangannya ke kepala pelan. Pusing masih terasa. Entah berapa botol minuman keras yang dia teguk tadi malam bersama wanita penghiburnya. Dia baru tidur pukul setengah lima subuh. Dan itu pun karena dia sudah kehabisan tenaga. “Lemah lo!” Bibir Doni terangkat ketika mengingat kalimat itu di kepalanya. Senyum Doni semakin merekah ketika wajah Erika terbayang di benaknya. “Lo tunggu pembalasan gue.” Suara notifikasi ponsel. Pesan masuk dari Rio. “Gue tau lo lagi nginget kejadian tadi malam. Cepetan lo ke sini atau—” Doni mengirimkan voice note. “b*****t lo, Yo. Berani lo ngerjain gue, lo tunggu akibatnya!” geram Doni. Rio mengirim emoticon tertawa. “Mampus! Gue gak peduli. Lebih cepat lo ke sini, lebih aman buat lo.” Doni berdecak. Punya teman sama saja, tidak ada bedanya dengannya. Mereka berempat sudah bersahabat sejak masuk SMA. Berawal dari sebuah perkelahian, Rioa dan Doni resmi menjadi sahabat hingga sekarang. Nah, kalau Bagas dan Fadli sudah bersahabat dengan Rio sejak SMP. Mereka terkenal dengan sebutan siswa brandal dulu di SMA. Dan mereka juga empat siswa yang berwajah di atas rata-rata alias paling tampan di SMA Sinar Baru. Doni berdiri, berjalan malas ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya. Doni membuka lemari. Hari ini outfit yang dia pilih kemeja hitam dan celana abu-abu, ditambah sepatu sneakers hitam. Setelah selesai berpakaian, Doni mengambil ponselnya di atas kasur, bersiap pergi. Turun dari kamar, dia menatap jijik dua orang yang tengah tidur berpelukan, tanpa sehelai benang pun menutupi keduanya. Dia geleng-geleng kepala, jejap. “Bi, Bi Tiem, Bi,” panggil Doni. Wanita berusia setengah abad segera lari dari dapur ke ruang tengah setelah dipanggil oleh Raka. “Ya, Tuan?” Raka menunjuk ke arah sofa dengan bibirnya. “Tutupin tuh. “Astaghfirullah.” Bi Tiem segera memalingkan pandangannya setelah melihat objek yang ditunjuk Doni. Tadi, saat Bi Tiem datang pagi-pagi sekali, keduanya masih terbungkus selimut. Dan sekarang, sudah tidak tertolong lagi. “Baik, Tuan.” __00__ “Kamu sudah punya pacar, Gladis?” Pertanyaan tiba-tiba dan tidak disangka dari Monica membuat Gladis tersedak. Buru-buru dia menenggak habis air putih di sampingnya. Monica tertawa melihat Gladis tersedak. “Belum, Tante.” “Gimana mau dapet pacar, ngeliat cowok aja gak selera, Ma,” jawab Abira, menyindir Gladis. Gladis menginjak kaki Abira. “Sakit tau! Lo hobi banget sih nginjek kaki gue?” Abira mengelus kakinya yang sakit. “Bagus. Tante malah setuju kamu gak pacaran. Gak kaya si itu tu, yang itu.” Monica menyindir anak gadisnya. “Pacaran, tapi gak ada yang awet.” “Mama, ih, gak asyik.” Abira cemberut. Monica dan Gladis tertawa bersamaan melihat ekspresi cemberut campur kesalnya Abira. Sarapan selesai. Bi Ijah mengangkat piring kotor, membawanya ke tempat cucian. Usai menghabiskan s**u masing-masing, Abira dan Gladis bersiap untuk pergi ke kampus. “Mama kayaknya malam ini pulang larut deh, Ra.” Setelah mencium pipi kanan dan kiri mamanya, Abira langsung bertanya, “Urusan butik, ya, Ma?” Monica menjawab sambil menerima tarikan tangan Gladis untuk disalami. “Iya. Tante Iris bilang lebih cepet dibuka lebih bagus katanya. Temen-temennya juga udah gak sabar katanya mau liat koleksi butik Mama.” “Oh, iya deh, Ma. Tante Iris bener. Kan, butik Mama jadi lebih dikenal sama banyak orang. Syukur-syukur bisa go international.” “Amin.” “Gladis mau dong, Tante, ikut bantu-bantu.” “Gladis mau beneran?” Gladis mengangguk antusias. “Abira punya ide, Ma. Gimana pembukaan butiknya hari Minggu aja? Biar Abira sama Gladis bisa bantu-bantu.” Ada benarnya juga apa yang Abira katakan. Abira dan Gladis bisa bantu-bantu apa-apa saja yang harus dipersiapkan nanti di acara pembukaan. “Oke. Mama setuju.” Gladis mengepalkan tangannya, senang. “Abira berangkat, Ma.” “Gladis berangkat, ya, Tante.” “Hati-hati kalian berdua. Abira jangan ngebut. Awas kalau Mama tahu kamu ngebut, ya.” Gladis ingin membuka mulut ketika Abira sudah lebih dulu menutup mulutnya. Abira menutup pintu mobil, menyalakan mesin. Gladis menyingkirkan tangan Abira dari mulutnya. Dia ingin marah, tapi, Abira lebih dulu melajukan mobil, kencang sekali, membuat tubuh Gladis terhuyung ke belakang. “Apa? Mau marah lo?” Di halaman rumah, Monica geleng-geleng kepala. Belum lagi kering tenggorokan mamanya memperingatinya agar jangan ngebut, malah sudah dibuat. __00__ “Atau Vika yang kenalin, Mas?” “Nggak.” “Vika mintain nomor hp-nya mau, Mas?” “Nggak.” “Vika ajakin ke rumah boleh?” “Nggak.” “Vika kirimin salam atas nama Mas boleh?” “Nggak, nggak, nggak. Ya Allah, Vika. Mas belum mau nikah.” Vika menyandarkan tubuhnya kembali ke jok. Percobaan hari ini gagal. Sejak sarapan pagi hingga sekarang di perjalanan menuju sekolah, Vika terus membahas Nadira. Raka sama sekali tidak tertarik dengan itu. Raka, masih mau fokus dengan hal yang menurutnya paling penting dan segalanya dalam hidupnya. “Mas gak asyik.” “Mas belum mau nikah, Vika. Mas kan udah bilang, Masih banyak hal yang harus Mas kerjain.” “Tapi kan, Mas, kalau Mas nikah, kan ada yang jagain Vika di rumah.” “Mas bisa cari Mbok buat kamu, gak musti Mas harus nikah.” Mobil Raka berhenti. Di depan sana lampu merah menyala. Jalanan hari ini tidak terlalu padat. Lalu Lintas pun masih terpantau lancar. Pukul delapan pagi. Vika bukan terlambat. Vika belum masuk kelas hari ini. Nadira memintanya datang jam setengah Sembilan. “Emangnya mau ngapain, Bu?” “Ada deh. Pokoknya dateng aja, ya.” Awalnya Raka tidak mengerti dan berniat menghubungi Nadira langsung menanyakan apa tujuannya menyuruh Vika datang di jam segitu. Namun, Vika mencegah. Alasannya karena Nadira meminta Vika untuk mencegah Mas-nya jika hendak menghubunginya. Lampu kembali hijau. Raka menjalankan mobilnya. Vika menyerah sekarang. Bukan untuk seterusnya, tapi hanya saat ini saja. Nanti-nanti dia akan mencoba lagi. Lagipula, Raka kelihatanya sudah tidak mau lagi nama Nadira disebut oleh Vika. Daripada Vika kena marah nantinya, lebih baik dia berhenti dan mencoba lain waktu. Sepuluh menit kemudian, mereka sampai. Raka tidak ikut turun, hanya sampai di depan gerbang saja. “Belajar yang bener, ya, Vika. Kalo ada apa-apa langsung bilang ke Mas.” “Siap, Bos!” Vika mencium punggung tangan Raka, kemudian turun dari mobil. Raka melanjutkan perjalanannya menuju kampus. __00__ Nadira sudah menunggu di pos satpam ternyata. Begitu Vika berbalik setelah melambaikan tangan ke mobil Mas-nya, Nadira langsung memanggil Vika. “Vika.” Vika menoleh, tersenyum. Dia kemudian berlari menghampiri. “Murid baru, ya, Bu?” “Iya, Pak.” “Pantes. Bapak gak pernah liat soalnya.” “Ibu udah lama nungguin Vika, ya?” Nadira membelai kepala Vika, lembut. Dia menyejajarkan tubuhnya dengan Vika. “Nggak, kok. Kamu gak bilang Mas kamu kan?” Vika mengedipkan matanya sebelah. “Nggak dong, Bu.” Kemudian mengacungkan jempol. “Mantap.” Nadira balas mengacungkan jempol. Pak Galuh menatap keduanya bergantian, bingung. Sebenarnya apa yang sedang direncakan seorang murid baru itu dan gurunya. __00__ Di parkiran kampus. “Lo bisa gak sih kalo nyetir itu yang tenang, nyantai kayak orang-orang?” Abira tertawa. “Cita-cita gue pas kecil jadi pembalap tau!” “Pembalap, pembalap. Sok-sokan lo.” Gladis memperbaiki tatanan rambutnya, sekaligus memeriksa make-up di wajahnya terakhir kali sebelum keluar. “Terus, sekarang cita-cita lo apaan?” “Jadi istri cowok tajir plus ganteng.” Abira terkekeh. Kalimat yang barusan dia ucapkan, malah membuatnya geli sendiri. Gladis hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ternyata Gladis sudah berbuat salah menanyakan cita-cita Abira yang sekarang. “Santai kali, gue bercanda. Nih ya, cita-cita gue kepengen dapet cowok yang ganteng, baik, kaya, pinter, sholeh—” “Lo Kristen, Abira!” “O iya, gue lupa. Yang ganteng, baik, kaya, pinter, penyayang—” “Terserah lo, deh.” Gladis keluar dari mobil. Bisa gila dia jika terus di dalam mobil, mendengar celotehan Abira yang tidak jelas itu. Abira menyusul Gladis. “Lo kenapa, sih? Lo sirik kan sama gue karena gak ada cowok yang deketin lo.” Gladis menghentikan langkahnya, balik badan. “Enak aja. Gue bukan gak ada yang deketin, tapi guenya aja yang gak mau.” Abira menggandeng tangan Gladis, mengajaknya melanjutkan ayunan kaki menuju ruangan mereka. “Sekarang gue tanya, lo kenapa gak mau pacaran?” “Emm … gue males aja.” “Males?” “Ibu gue pernah bilang, Ra. Pacaran itu lebih banyak ruginya ketimbang untungnya.” Abira langsung menghentikan langkah kakinya. Dia menatap Gladis, menunggu kelanjutan apa yang ingin Gladis katakan. “Ya lo tau sendiri kan laki-laki itu kebanyakan yang gimana? Daripada ngorbanin hati buat disakiti, mending gue tunggu aja sampai laki-laki yang udah gue yakin seratus persen jadi suami gue, baru deh gue kasih hati ini.” Gladis menunjuk hatinya. Abira bertepuk tangan. Gladis jarang-jarang dalam mode seperti ini. “Itu alasannya kenapa gue suka mainin cowok. Biar mereka tau kalo perempuan itu gak selamanya bisa dijadiin mainan.” “Tapi lo ini udah kelewatan, Ra.” “Gue kasih tau, ya, Dis. Di luaran sana masih banyak cowok yang jadiin cewek itu mainan. Cewek cuman dianggap barang, gak lebih.” Gladis tidak bisa juga menyangkal apa yang Abira katakan barusan. Perempuan sekarang hanya dijadikan objek pemuas nafsu, lalu ditinggalkan. Kebanyakan pria yang mengatasnamakan sayang, namun setelah dapat apa yang dia inginkan dari si perempuan, tanpa belas kasih, dia meninggalkan perempuan itu. Dan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Gladis tidak ingin berpacaran. “Udah ah, ayo masuk, ntar keburu telat.” Gladis menggandeng Abira, melanjutkan mematri langkah menuju ruangan. __00__ “Bi, hari ini saya pulang larut, ya.” “Perlu saya jemput, Bu?” Ini bukan Bi Ijah yang bertanya, melainkan Pak Tejo. Dia sudah berada di samping mobil, bersiap membukakan pintu untuk Monica. Mendengar bahwa dia akan pulang larut, Pak Tejo langsung menawarkan diri. “Tidak usah, Pak. Nanti saya dianter pulang temen kok.” Bi Ijah berdiri di depan pintu setelah mendengar teriakan Monica. “Iya, Bu. Hati-hati, ya. Masakannya saya letakkan di kulkas.” “Iya, Bi. Makasih, ya.” Pak Tejo membukakan pintu. Monica masuk ke dalam mobil. Sesuai dengan yang disampaikan Monica tadi, dia akan pergi ke lokasi yang akan menjadi cabang butiknya. Sebelum pergi tadi, tiba-tiba Monica ingin makan bubur kacang hijau. Lalu, dia langsung meminta Bi Ijah untuk memasakkannya dan meminta untuk disimpan saja di kulkas. Monica tidak sempat menunggu masak karena Iris—sahabatnya sudah menunggu di sana. “Beneran gak dijemput, Bu?” tanya Pak Tejo sekali lagi, memastikan. Monica tersenyum hangat. “Gak usah, Pak.” Monica tau seberapa khawatirnya Pak Tejo terhadapnya saat ini. Pak Tejo sendiri sudah bekerja hampir dua puluh tahun. Sejak menikah dengan Mendiang Reno, Pak Tejo menjadi sopir pribadi keluarga mereka. Lima tahun setelahnya, barulah Bi Ijah bergabung. Nah, Pak Tejo memiliki satu anak, dan sudah meninggal saat masih SD kelas tiga. Dan sekarang, dia menganggap Monica anaknya, makanya khawatir sekali ketika Monica bilang kalau dia akan pulang larut nanti. “Bapak tenang aja. Nanti kalau ada apa-apa, saya bakal kabarin Bapak.” Kalimat itu berhasil menenangkan Pak Tejo. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu menyalakan mesin, melajukan mobil ke tempat tujuan Monica. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN