Bab 33. Sinta

1573 Kata
Vika kedua kalinya terlihat ketakutan. Dia langsung bersembunyi di balik pintu. Abira tersenyum. “Eh, kenapa? Kakak gak mau jahatin kamu, kok.” Abira berkata ramah.            Kalimat Abira barusan membuat Vika berhenti bersembunyi di balik pintu. Rasa takutnya mendengar suara ramah Abira berangsur hilang. Kebiasaan Vika yang selalu takut bertemu orang baru masih sangat kental dalam tubuhnya.            “Ka-kak cari siapa?” tanya Vika dengan suara sedikit getar.            “Pak Raka-nya ada?”            Vika mengangguk. Dia masuk ke dalam untuk memanggil Mas-nya.            Raka datang. Melihat wajah Abira membuatnya menghela napas. Raka sudah bisa menebak, pasti sebentar lagi emosinya akan muncul kepermukaan. Abira tidak pernah gagal untuk membuatnya selalu senam jantung setiap kali bertemu. Ada saja ulahnya.            Abira dipersilakan untuk masuk.            Di ruang tengah, Raka menyuruh Vika untuk masuk ke kamarnya saja. Vika menurut. Raka tidak ingin Vika mendengar pembahasan mereka. Apalagi, niat Raka saat ini adalah untuk menegur tindakan Abira yang bilang kalau dia disuruh olehnya untuk menjemput Vika. Padahal, itu sama sekali tidak benar.            Tanpa basa-basi, Raka langsung menanyakan perihal maksud Abira datang ke rumahnya.            Abira menjawab, “Ada materi yang tidak saya pahami, Pak. Jadi, saya ke sini ingin menanyakan itu.”            Raka tidak sanggup untuk tidak tertawa. “Tidak paham?”            Melihat Raka tertawa membuat Abira menautkan alisnya, kemudian mengangguk.            “Saya tau maksud dan tujuan kamu kemari. Kamu pasti ingin berusaha mendapatkan hati adik saya, bukan?”            Jleb!            Abira tidak boleh mengaku begitu saja. Dia harus mengeles terlebih dahulu.            Abira menggeleng. “Nggak, Pak. Saya bener-bener gak paham materi.”                    “Abira Carlissa Imanuel, gak mungkin mahasiswa seperti kamu tidak memahami materi semudah ini.” Raka menunjuk materi yang ingin Abira tanyakan. “Lain kali, persiapkan matang-matang sebelum bertindak ya.”            Abira berdecak. Tidak ada lagi kesempatan untuk mengeles. Dia sendiri yang salah karena sudah salah memilih materi yang ingin ditanyakan. Ternyata, materi itu cukup mudah. Dia lupa bahwa Raka sudah tahu kalau dia adalah pemenang ajang olimpiade tingkat internasional. Untuk materi seperti itu, Raka otomatis yakin kalau Abira sudah pasti bisa.            “Sebelumnya saya ingin tegaskan. Kamu boleh merencanakan apa pun terhadap saya. Tapi saya mohon, jangan libatkan adik saya dalam semua rencanamu. Saya tahu kamu orang baik, tapi, tidak semua laki-laki bisa kamu taklukkan, Abira.”            Hei, entahlah. Kalimat Raka barusan kenapa seperti berhasil membuat hatinya merasakan nyeri. Abira yang biasanya selalu melawan setiap kali ada yang menasihatinya, kali ini tidak. Dia seakan lupa berbicara. Abira pun kehabisan kata-kata di dalam pikirannya. Sekarang, dia hanya menatap wajah Raka dalam.            “Saya tidak melarang kamu untuk menyambung tali silaturahmi dengan adik saya, tidak tapi, Vika tidak langsung bisa bersosialisasi dengan orang baru. Apalagi dengan cara kamu kemarin, yang menurut saya terlalu menyeramkan untuk anak manja seperti Vika.”            Abira menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dia berubah menjadi sosok yang sentimental. Kenapa dia jadi baperan seperti ini? Ini bukan Abira. Aduh, hatinya terasa semakin sakit. Abira juga tengah berusaha menahan supaya air matanya tidak keluar.            “Sudah? Ada yang ingin ditanyakan?”            Abira kalah. Air matanya berhasil keluar. Cepat-cepat dia menghapusnya, kemudian mengangkat kembali kepalanya, digelengkan. “Tidak ada, Pak. Terima kasih!” Abira bangkit, dia berjalan keluar dari rumah Raka.            Tiba di rumah, Abira duduk di depan lemari hiasnya. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin. Abira menarik tisu, mengelap air matanya. Dia menertawakan dirinya sendiri. Kenapa Abira bisa secengeng itu? Kemudian berdecak. Siapa pula si Raka itu bisa seenak hatinya menasihatinya? Lalu runtuh lagi. Dia tidak bisa bohong. Untuk kali ini, Abira merasa dia tidak sanggup untuk meneguhkan dirinya, menolak nasihat Raka barusan untuk tidak membuat hatinya merasa tersayat. Sebenarnya, kalimat itu hanya kalimat-kalimat biasa, tidak ada yang special. Tapi, anehnya, kenapa bisa berefek padanya?            Abira menarik napas dalam. Baiklah. Kalau memang itu maunya Raka, maka dia akan melakukannya. Raka bilang jangan libatkan Vika, bukan? Maka Abira akan berhenti berusaha untuk mendapatkan hati Vika. Abira, hanya akan fokus untuk mendapatkan hati Raka saja. __00__            Akhirnya setelah dua hari mencari. Doni pun berhasil menemukan di mana rumah temannya Putri. Dua hari lalu saat mendengar informasi dari Rio, Doni langsung mencari alamat di mana temannya Putri itu tinggal. Sekarang, Doni sudah tahu, dia akan segera ke sana untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Putri tengah rencanakan.            Rio sudah beranjak pulih. Lima hari ke depan dia akan datang kembali ke rumah sakit untuk membuka jahitan di kepalanya. Meski belum bisa kembali kuliah, tapi Doni sudah bisa melakukan aktivitas lainnya seperti biasa.            Bagas dan Fadli tengah bermain PS. Mereka sangat sibuk bermain sampai lupa kalau sebenarnya mereka berdua ada kelas hari ini. Diingatkan pun percuma. Mereka berdua lebih memilih bermain game ketimbang pergi ke kampus.            Rio menyerahkan black card Doni. “Makasih, Don,” ucapnya. Memiliki sahabat seperti Doni adalah satu keberuntungan yang tak terbilang bagi Rio. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Rio dibantu olehnya.            Doni menerima black card itu. “Gak usah berterima kasih segala. Kalo lo butuh apa-apa, lo bilang ke gue aja. Gue pasti bantu.”            Kehidupan Rio tidak seberuntung Doni. Rio adalah anak broken home. Sejak SMP, orang tuanya bercerai. Rio tidak memilih satu di antara keduanya. Rio memilih untuk tinggal bersama neneknya, rumah yang sekarang dia tinggali. Dua tahun lalu, neneknya meninggal dunia. Rio hidup seorang diri. Doni tidak ingin bertanya pada Rio untuk apa dia berhutang hingga 100 juta. Tapi, Doni yakin kalau Rio tidak akan segila itu sampai harus meminjam uang hanya demi kesenangannya saja. Sebejat-bejatnya Rio, dia juga masih berpikiran waras. Doni tahu itu. Jadi, lebih baik biarlah itu menjadi konsumsi Rio seorang diri. Kalau pun nanti dia menceritakannya pada Doni, itu akan menjadi tanggung jawab baginya. Yang pasti, Doni … akan membantu Rio.            Rio tersenyum, memegang bahu Doni. Bagaimana pun dan kapan pun, Rio akan selalu siap untuk membantu Doni. Kalau tidak ada Doni, entah bagaimana hidupnya sekarang.            “Eh, lo pada laper gak?” tanya Doni pada tiga sahabatnya.            Bagas mengacungkan jari. “Gue burger satu.”            Fadli juga ikutan. “Gue mie ayam satu.”            “Lo berdua kalo urusan makan aja cepet. Noh, ngampus.”            “Udah pernah, Don. Bosen gue!”            Doni menggelengkan kepalanya.            “Lo mau apa, Yo?” tanyanya.            “Gue apa aja dah. Yang penting makan.”            “Oke.”            Doni memesan dua makanan yang diinginkan Bagas dan Fadli. Untuknya, dia memesan sate. Untuk Rio, Doni memesankan nasi padang. Tambahan, satu pizza. Tak lama makanan pun datang. Fadli dan Bagas malah rela meninggalkan game mereka untuk makan, sedangkan untuk ke kampus, terasa berat.            Usai makan, Doni pun langsung menuju alamat temannya Putri. __00__            Doni sampai di perumahan elit. Rumah-rumah besar berjejer di sepanjang jalan. Mobil Alphard terparkir di masing-masing halaman rumah. Kompleks Graha Indah, kompleks perumahaan paling elit sejakarta. Di sanalah temannya Putri itu tinggal.            Nomor 45, itu nomor rumah yang Doni dapatkan. Rumah temannya Putri itu tinggal. Doni sudah mengantongi foto Putri berdua dengan temannya. Foto itu akan menjadi petunjuk bagi Doni.            Doni menekan bel. Satpam rumah mendatanginya.            “Maaf, cari siapa, Mas?”            Doni menunjukkan foto itu kepada satpam.            “Oh, temennya Neng Sinta toh? Sebentar ya, Mas.”            Satpam itu membukakan pintu, mempersilakan Doni masuk. Tidak sampai di situ. Satpam tersebut mengantarkan Doni sampai ke depan rumah.            Pembantu di rumah itu mempersilakan Doni untuk duduk di ruang tengah selagi dia memanggil ‘Sinta’            Doni hampir lupa apa itu berkedip. Wanita cantik dan seksi turun dari tangga membuat Doni menelan ludahnya. Sinta lebih cantik daripada Abira.            “Lo siapa? Ngapain lo nyaiin gue?”            Lihat gaya bicaranya yang ketus itu. Alih-alih membuat kesal, Doni justru semakin merasa tertantang.            Doni segera sadar. Dia harus ingat niatnya ke sini mau buat apa. Doni menunjukkan foto yang dia bawa. “Lo kenal Putri, kan?”            Wanita itu menyipitkan matanya, melihat foto di tangan Doni, kemudian menggeleng. “Nggak. Gue gak kenal cewek itu.”            Doni berdecak. Tampaknya wanita itu ingin bermain-main dengannya. “Jadi ini siapa kalau bukan lo?”            Sinta mengangkat bahu. “Ya gue gak tau.”            “Gue serius. Lo kenalkan sama ni cewek?”            “Lo kok malah nyolot sih? Kalo bilang gak kenal ya gak.”            Bibir Doni terangkat sebelah. Harus dia akui wanita di depannya sekarang cukup garang. Wajah cantiknya semakin terlihat mempesona ketika dibakar emosi.            “Maaf.” Doni berdeham. “Coba lo liat sekali lagi, siapa ta—”            Saat Doni hendak mengarahkan foto itu ke wajah Sinta, gadis itu mencengkram pergelangan tangan Doni hingga foto terlepas dari tangannya, jatuh ke bawah. Dengan mata penuh energi kebencian, wanita itu adu pandang dengan mata Doni. Sinta mendekatkan wajahnya dengan wajah Doni hingga Doni bisa merasakan napas Sinta.            “Lo, jangan coba-coba ke sini lagi, atau gue akan buat perhitungan sama lo.”            Doni tersenyum menyeringai. Di dekatkannya bibirnya dengan bibir Sinta. Saat itu Sinta langsung memejamkan matanya bersiap menerima serangan Doni. Namun, jarak satu sentimeter, Doni menarik kembali wajahnya. “Gue bakal terus datang ke rumah ini sampai lo mau kasih tau di mana alamat Putri sekarang.” Doni melepas paksa tangannya dari genggaman Sinta, kemudian tersenyum. “Lo cantik.”            Doni balik badan, melangkah keluar rumah Sinta.            Sampai di mobil, Doni merasa bisa mencium aroma parfum Sinta. Harus dia akui, wanita seperti Sinta, wanita seperti itulah yang dicari Doni. Nampaknya pencarian kali ini bukan hanya soal Putri saja. Tapi Doni juga akan berusaha menaklukkan Sinta.            Doni menyalakan mesin mobilnya, bersiap pulang ke rumahnya. Besok, Doni akan datang ke rumah itu lagi. Bukan hanya besok, tapi sampai wanita itu mau memberitahukan kepadanya di mana Putri tinggal.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN