Bab 9. Sekolah Baru

1009 Kata
Hari ini jadwal mengajar Raka kosong. Kabar baik untuk Vika yang sebentar lagi akan bertemu dengan suasana baru. Ya, hari ini Vika akan bersekolah kembali. Setelah dua hari membereskan barang-barang, hari ini dia siap bersekolah. Raka sedang memasak nasi goreng di dapur. Satu wajan ukuran sedang memasak nasi goreng dan satu wajan kecil untuk mendadar telur.  Di kamar Vika tengah mengemas diri. Pakaian sekolah Vika masih sama—pakaian sekolah di tempatnya dulu. Kabarnya sekolah yang akan Vika datangi nanti berbeda. Mereka punya seragam khusus. Setelah jarum pentul terakhir ditancapkan, Vika memutar badannya sekali lagi memastikan apakah dia sudah rapi atau belum. Sudah. Vika segera turun untuk sarapan. "Pagi, Mas!" sapa Vika. Dia menarik kursi, duduk. Raka sudah selesai memasak nasi gorengnya. Dia tengah membagi dua porsi untuknya dan untuk Vika. Setelah itu Raka menaruh masing-masing satu telur mata sapi di atas piring. Vika menghirup aroma nasi goreng. "Keliatannya enak, Mas." "Passti dong. Emang kamu aja yang bisa masak? Mas juga bisa." Mereka berdua tertawa. Raka meletakkan dua wajan kotor di tempat cuci piring. Dia menarik kursi, duduk, bersiap menyantap nasi goreng buatannya. "Selamat makan!" __00__ Suara mesin mobil dimatikan. Vika menatap gerbang besi berwarna hitam dari jendela mobil. Banyak siswa yang masuk ke dalam sana. Satu-dua saling bertegur-sapa dengan satpam yang berusia sekitar 40 tahunan. Melihat senyum di wajah Vika pudar membuat Raka bertanya, "Kenapa?" "Vika takut, Mas." Raka tersenyum, mengelus pucuk kepala adiknya. "Kamu gak usah takut. Udah ayo, kita harus masuk, daftarin kamu sebagai murid pindahan." Vika mengangguk, keluar dari mobil. Raka melepas seatbelt-nya. Sebelum keluar dia tidak lupa mengambil map berisi berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan Vika sebagai murid pindahan. "Pagi, Mas!" sapa satpam itu ramah. "Pagi, Pak. Maaf, Pak, saya ingin bertanya. Ruangan kepala sekolah di mana, ya?" Satpam itu langsung mengarahkan. "Bapak masuk saja, lurus, nanti langsung ketemu." "Oke, Pak. Makasih, ya, Pak." "Iya, sama-sama." Sekolah ini terbilang cukup luas. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan tempat Raka tinggal. Untuk sekelas Madrasah Tsanawiyah bisa dibilang sekolah ini cukup keren. Gedung sekolah tiga tingkat, berwarna putih. Halamannya juga luas. Ada lapangan basket, voli, badminton, dan lapangan sepak bola. Semuanya terpisah, di tengah-tengah. Gedung tiga tingkat itu membentuk persegi mengelilingi lapangan.  Parkiran mobil dan kendaraan roda dua terlihat rapi dan tersusun. Seorang lansia mengenakan kaos hitam dan celana panjang hitam yang mengurus. Di mulutnya juga ada peluit. Mungkin digunakan untuk memberikan arahan parkir. Selain itu sekolah ini juga ditumbuhi pohon-pohon besar yang butuh 5-6 orang dewasa untuk memeluknya. Sepanjang jalan menuju ruangan kepala sekolah, Raka tidak melihat satu sampah pun. Itu menandakan sekolah ini sangat peduli dengan kebersihan. Tidak lama dia dan Vika pun sampai di ruangan yang bertuliskan "Ruangan Kepsek" di atas pintu. Saat Raka hendak mengetuk pintu seseorang menanyainya. "Maaf, Pak, ada yang bisa saya bantu." Raka balik badan. Tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata wanita yang menanyainya tadi. Wanita cantik itu mengenakan seragam batik khas sekolah ini.  "Astaghfirullah." Keduanya serentak mengatakan kalimat tersebut dan saling memalingkan pandangan. "Maaf. Saya ingin mendaftarkan adik saya sebagai murid pindahan." Kecanggungan mengungkung mereka. "I-iya, Pak. Silakan masuk." Wanita itu membukakan pintu. Pemberkasan berjalan lancar. Vika resmi diterima sebagai murid MTs Darul Arifin. Dia duduk di bangku 8. Raka menyukai sambutan kepala sekolah. Ramah sekali. "Ini seragam buat kamu," guru perempuan yang tadi membukakan pintu memberi dua seragam. Satu untuk senin-selasa dan satu lagi seragam batik untuk hari rabu-kamis. Saking senangnya Vika meminta untuk bersekolah hari itu juga. Raka tidak perlu menolak keinginan adiknya itu. Toh, lebih cepat lebih baik. Guru wanita itu mengantarkan Vika ke kamar mandi untuk mengganti seragamnya. Raka berpamitan pulang. __00__ Pukul delapan pagi. Gladis bangun lebih awal ketimbang Abira hari ini. Andai saja situasinya lebih baik, Abira pasti sudah menggoda Gladis sekarang. Apalagi ini merupakan sejarah yang amat sangat berharga selama persahabatan mereka berjalan. Gladis yang biasanya susah bangun, cosplay babi mati saat tidur bangun lebih dulu. Tidak bisa dibilang bangun awal juga sih sebenarnya. Gladis bangun setengah jam yang lalu. Kebetulan masih palang merah jadi aman untuk Gladis. Gladis tidur di sofa yang ada di kamar Abira. Usai bangun dan merapikan bantal sofa serta melipat selimut, Gladis langsung mendatangi Abira yang masih tidur. Gladis memegang jidat Abira. Masih panas. Bahkan panas Abira belum juga turun. Segera Gladis membasahi kain kompres, meletakkan kembali ke jidat Abira.  Keringat juga membasahi dahi dan juga leher Abira. Gladis mengambil handuk kecil di atas nakas, mengelap keringat. Tidur Abira terbilang lelap. Pintu kamar dibuka. Monica yang masih mengenakan celemek masuk membawa nampan berisi dua piring berisi roti dan potongan apel serta dua gelas s**u putih.  "Belum turun juga panas Abira?" tanya Monica, meletakkan barang bawaannya di atas nakas. "Belum, Tante." "Gak biasanya Abira sakit begini." Monica mengeluarkan ponsel dari saku celemek, menghubungi dr. Herman. Gladis kembali mengelap keringat di dahi dan leher Abira. Bahkan kini baju kaos Abira juga mulai terlihat basah oleh keringat.  Monica mematikan sambungan telepon.  "Kamu boleh mandi, Gladis. Biar Tante yang jagaain Abira." Gladis mengangguk. Itu ide bagus. Lagipula dia sudah merasakan gatal di tubuhnya.  Gladis menyerahkan handuk yang digunakan untuk mengelap keringat Abira kepada Monica, kemudian masuk ke kamar mandi. Monica memegang jidat Abira. Benar kata Gladis, suhu tubuh Abira belum turun juga. Tadi malam pukul sebelas malam Monica baru pulang. Lokasi yang cukup jauh dan banyak keperluan yang harus disiapkan untuk membuka cabang butik membuat Monica tidak bisa cepat-cepat pulang ke rumah. Dr. Herman juga sudah meyakinkan Monica bahwa Abira tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Abira hanya dengan biasa. Begitu kata dr. Herman. Meskipun begitu yang namanya seorang ibu tidak akan tenang jika anaknya sedang sakit. Monica langsung masuk ke dalam kamar Abira setelah pulang. Gladis masih belum tidur, dia baru saja mengganti kompres Abira. Setelah dicek, ternyata suhu tubuh Abira justru meningkat ketimbang tadi siang. "Abira sudah minum obat yang dikasih dr. Herman?" "Sudah, Tante. Mungkin besok pagi Abira akan pulih." "Amin." Nyatanya pagi ini suhu tubuh Abira belum juga turun. Semoga tidak terjadi apa-apa pada anaknya.  Monica menggenggam tangan Abira, mengusap kening anaknya.  Jujur ada tanda tanya di kepala Monica saat ini. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN