Bab 17. Berterima kasih

1391 Kata
Pintu mobil ditutup kasar. Raka disuruh Abira duduk di belakang, sedangkan dia mengambil alih kemudi. Abira menyalakan mesin mobil, keluar dari parkiran. “Kamu mau bawa saya ke mana?” tanya Raka kebingungan. Entah kenapa tiba-tiba Abira datang menggandeng tangannya, lalu memaksanya masuk ke dalam mobilnya. Dan sekarang, tanpa Raka tahu sama sekali ke mana Abira akan membawanya. Hening. Abira tidak menjawab sama sekali. “Abira, kamu mau bawa saya ke mana?” “Bapak bisa diam ga?” Dahi Raka berkerut. Mendengar mahasiswinya membentaknya seperti itu membuat Raka terheran-heran.Dan dari sini Raka tahu ternyata Abira bukan hanya keras kepala, tapi juga pemberani. __00__ “Lo gila? Buat apa Erika diajak ke sini?” Doni langsung memukul meja, tidak suka. Entah apa yang dipikirkan Rio sekarang, tapi jelas, idenya mengajak Erika untuk ikut serta dalam rencana mereka adalah hal yang tidak bisa Doni terima. Terlebih lagi setelah video syur mereka tadi malam ada di ponsel Bagas, Doni semakin geram. “Santai, Bro. Lo dengerin dulu penjelasan gue.” “Penjelasan apaan? Lo gak usah macem-macem, ya—” Bagas yang waktu itu duduk di samping Doni segera menahan tubuhnya saat hendak memukul wajah Rio. “Lo mau Abira balikan sama lo, kan? Lo pasti gak mau terus-terusan dimarahi nyokap lo, kan? Cuman ini satu-satunya cara supaya Abira balikan sama lo,” jelas Rio membuat Doni sedikit tertarik. Meski begitu, emosinya terhadap Rio masih belum sepenuhnya musnah. Erika sampai di dekat mereka. Dengan pakaian yang super ketat, tentu saja, dia melambaikan tangan, menyapa Doni sekaligus menggodanya dengan mengedipkan mata sebelah. Doni melepaskan dirinya dari pegangan Bagas. “Lo mau pesen apa, Ka?” Ria berdiri, menyilakan Erika untuk duduk. Rio kemudian mengambil satu kursi di samping meja mereka, menggabungkan satu meja. “Milkshake coklat aja.” “Mbok, milkshake coklat satu, ya.” “Siap, Den,” balas Mbok Lastri sedikit berteriak. Emosi Doni perlahan mulai mereda Perkataan Doni barusan membuatnya tertarik. Jika yang akan direncanakan Rio nanti benar-benar bisa membuatnya balikan dengan Abira. Maka, tidak ada salahnya untuk mencoba. Mbok Lastri mengantarkan minuman pesanan Erika. Setelah itu barulah Rio memberitahukan rencananya kepada mereka semua. Bukan hanya itu, sebuah fakta bahwa Abira tengah berusaha mendekati Raka—dosen baru juga Rio beritahukan. Mendengar dari A-Z rencana Rio membuat Raka mengangguk-angguk, setuju. Kenapa tidak terpikirkan sama sekali rencana itu di kepalanya? “Gimana?” Rio menaik-turunkan alisnya bangga. “Mantap gak ide gue?” “Tapi lo jamin ini bakalan berhasil?” Bagas menyikut Doni. “Lo masih ngeraguin otak Rio, Don?” “Ini bukan soal ngeraguin atau nggak, Gas. Kalo sampai gue gak bisa dapetin Abira lagi, nyokap gue bakal sita semua fasilitas yang udah dia kasih. Terus gue mau jadi apa? Gembel di jalanan?” “Pokoknya lo tenang aja. Erika siap bantu lo. Ya kan, Erika?” Wanita yang saat itu tengah menikmati minumannya mengacungkan jempol tanda setuju. “Jadi gimana? Lo mau gak?” Doni menimbang sejenak. Mengandalkan Gladis seorang tidak akan membantu banyak. Mau seberapa dekat pun Gladis dengan Abira, Gladis tetap tidak akan bisa membujuk Abira untuk balikan dengannya. Rencana yang Rio berikan juga berakibat fatal baginya kalau sampai gagal. Tapi kalau berhasil, Doni akan terbebas dari mamanya. “Oke. Gue setuju.” “Bentar, bentar,” jeda Erika. “Terus gue dapet apaan?” “Lo bebas mau apa aja dari kita.” Perkataan Rio barusan membuat semua mata tertuju padanya. Sungguh, itu pilihan yang benar-benar b*****t. Mereka semua berpikiran yang sama mengenai makna omongan Rio. Untuk wanita seperti Erika, itu adalah surga dunia baginya. “Serius?” Matanya berbinar saking senangnya. Bagas mengacak rambutnya frustasi. Juga Fadli. Sedangkan Doni membunyikan buku-buku jarinya. “Awas lo. Lo tunggu pembalasan gue,” geram Doni. “Gue serius!” Erika menawarkan jabat tangan. “Deal?” Rio menyambut jabatan tangan itu. “Deal!” __00__ Setelah Raka menaikkan nada bicaranya satu oktaf, menyuruh Abira untuk memberhentikan mobil, barulah Abira berhenti. “Bapak kok malah marah-marah sih? Asal Bapak tau ya, seharusnya Bapak berterima kasih sama saya. Kalau saya gak narik tangan Bapak, Bapak udah jadi mainan Bu Erna.” “Tapi cara kamu tetap tidak bisa dibenarkan, Abira. Kamu tahu? Seharusnya saya ke rumah sakit sekarang. Banyak hal yang harus saya urus di sana.” “Terus kenapa Bapak gak bilang dari tadi?” “Abira.” “Apa? Bapak masih gak mau berterima kasih? Baik. Silakan turun dari mobil saya.” “Apa?” “Iya. Turun.” Baiklah kalau itu keinginannya. Toh, lebih baik Raka turun dari mobil Abira ketimbang terus menanggapi omongannya yang menurut Raka tidak sopan untuk seorang mahasiswa kepada dosennya. “Lain kali belajar berterima kasih, ya, Pak.” Abira melajukan mobilnya, kencang sekali. Raka geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa di bertemu dengan wanita seperti Abira itu? Padahal bukan salahnya dan dia juga tidak meminta Abira untuk menarik tangannya dari Bu Erna. Dia juga bisa mengatasi Bu Erna seorang diri. Dan sekarang, keadaan jadi lebih rumit. Mobilnya tertinggal di kampus. Mau balik lagi, akan memakan waktu lebih lama. Raka memutuskan untuk naik taksi saja ke rumah sakit. Setelah berdiri lebih dari lima menit, taksi pun lewat. Raka langsung masuk, lalu memberitahukan tujuannya. Seharusnya Raka hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja dari kampus menuju rumah sakit, malah jadi tiga kali lipatnya. Abira membawa Raka tanpa tujuan tadi. Raka masih memasang wajah kusut. Dia juga keheranan mengapa bisa Abira yang kesal. Padahal, seharusnya dialah yang kesal karena Abira asal bertindak. “Keliatannya lagi banyak pikiran, ya, Pak?” tanya sopir taksi itu ramah. Raka memasang senyum. “Nggak, Pak. Tadi ada yang buat saya kesal.” “Bukan berantem sama istri kan, Pak?” “Nggak, Pak.” Raka tertawa tipis. Sampai. Raka membayar taksi sekaligus memberi tip. “Ini kebanyakan, Pak.” Raka menolak uang yang dikembalikan sopir taksi itu. “Nggak. Ambil aja, Pak, rezeki buat Bapak.” Sopir taksi yang rambutnya hampir memutih itu tersenyum, kemudian mengantongi uang yang Raka berikan. “Terima kasih banyak, Pak.” “Sama-sama.” Setelah taksi itu melaju, barulah Raka masuk ke dalam rumah sakit tempat dr. Nirmala bekerja. Rumah sakit terbesar di kotanya. __00__ Gladis terus mengikuti Bu Erna hingga ke ruangannya. Gladis tak henti-hentinya memohon agar Bu Erna memaafkan Abira atas apa yang sudah dibuatnya tadi. “Ibu gak mau tau, ya. Tugas kamu, suruh Abira temuin ibu. Ibu tunggu 2x24 jam. Kalau sampai dia gak juga dateng, liat aja nanti.” Bu Erna keluar ruangan dengan emosi yang memuncak. Gladis hanya bisa mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa dia bersahabat dengan Abira yang selalu bertindak sembrono. Lihat sekarang? Membujuk Abira untuk menemui Bu Erna bukan perkara mudah. Gladis harus berusaha ekstra dan itu pun belum tentu berhasil. Kalau Abira tidak juga mau, maka tamatlah riwayatnya nanti. Gladis mengeluarkan ponsel dari sakunya, menghubungi Abira. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan….” Sekali lagi. “Nomor yang anda tuju….” “Duuh, Abira ke mana, sih?” Gladis benar-benar tidak tahu harus berbuat apa selain mencari Abira. Dia segera keluar dari ruangan Bu Erna, mencari kendaraan untuk sampai di rumah Abira. __00__ “Emang bener ya kata orang. Cowok itu banyak gak peka. Apa sih susahnya bilang terima kasih? Terima kasih. Gak susahnya? Apa Bumi jadi gepeng kalau dia bilang terima kasih? Nggak, kan?” Abira merepet sendiri di dalam mobil. Dia kesal sekarang. Alih-alih mengucapkan terima kasih, Raka malah memarahinya. Di bawah pohon besar, tempat parkiran Indah Resto, Abira mengatur napasnya, merilekskan tubuh. Perlahan, rasa kesalnya berangsur hilang. Pukul dua belas, waktunya makan siang. Abira sengaja singgah ke Resto Indah karena rumah makan itu tidak jauh dari lokasi cabang butik yang sedang digarap mamanya. Abira berpikir kalau dia membantu mamanya di sana sekalian membawakan makan siang, pasti mamanya akan senang. Abira keluar dari mobil, langsung memesan lima menu best seller di Resto Indah—ayah bakar sambal kacang. Setelah itu Abira langsung kembali melajukan mobil menuju butik mamanya. Melihat Abira tiba-tiba datang membuat Monica kaget. “Kamu kok gak bilang-bilang mau datang ke sini?” tanya mamanya, menerima pemberian makanan dari Abira. “Eh, ada Abira,” sapa Iris. Abira membalas sapaan itu dengan senyuman. “Kamu abis marah-marah, ya?” Abira mengangguk. “Raka?” Abira mengangguk lagi. “Udah, gak usah dipikirin. Ris, ajak Mita dan dua temannya makan, yuk.” “Seep.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN