Pecat

1420 Kata
Pagi itu di kantor Damar, telah terjadi kehebohan. Bos besar mengamuk karena tidak ada satupun yang bisa menghubungi Damar Rahit. Kejadian kemarin mengenai pendaftaran kasus ke pengadilan tindak pidana korupsi, tidak bisa dibatalkan kecuali Damar sendiri yang mengajukan pembatalan. Seolah berpacu dengan waktu, Bos yang tidak sabaran itu mengambil keputusan sepihak. Menonaktifkan Damar dari seluruh kegiatan hukum di lembaganya, dan memerintahkan bagian finance untuk mencairkan dana yang masih tersangkut agar segera dibayarkan kepada Damar. Seluruh pengacara heboh, mereka sangat keberatan dengan keputusan bos besar, bagaimana pun, Damar telah menjadi tulang punggung mereka. Tanpa Damar, mustahil mereka bisa memenangkan kasus-kasus di ruang pengadilan. Bahkan, tanpa Damar tidak mungkin lembaga ini menjadi besar seperti sekarang. Alih-alih menonaktifkan sebenarnya, Damar dipecat secara halus dari lembaga yang telah dibesarkannya itu. Gelombang protes secara masif dilancarkan oleh puluhan pengacara kepada bos besar melalui mekanisme management. Tepat pukul sembilan pagi, satu per satu protes itu sampai ke meja bos besar yang semakin marah karena merasa dikangkangi oleh Damar Rahit. Bos besar mengira, gelombang itu dikoordinir khusus oleh tangan Damar, ia sadar, seluruh pengacara di kantornya itu sangat ketergantungan pada Damar. Pemikiran ini membuatnya semakin terbakar. Namun, sebelum menghadapi anak buahnya yang sedang protes, sang Bos menelepon seseorang dan melesat pergi dari kantornya. ◇◇◇ Pukul sepuluh pagi Damar terbangun dari tidurnya masih mengenakan baju kerja yang kemarin. Dia mengolah bukti-bukti yang didapatnya secara manual, tidak mengandalkan kesaktiannya sampai pukul lima pagi dan tertidur. Sesuatu melintas di kepalanya, Damar memejamkan mata dan ia melihat juga mendengar dengan jelas apa yang terjadi di kantornya. Damar tersentak. "Dipecat?!" serunya seraya terlonjak lalu duduk. Dia meloncat ke kamar mandi, sambil terus berpikir, ada apa dibalik kasus ini, kenapa bos besarnya demikian murka hanya karena dirinya belum bisa dihubungi? Damar mencium sesuatu yang aneh dan perasaannya mengatakan bahwa akan banyak korban dari kasus yang ingin dia perjuangkan. Namun, tekadnya sudah bulat untuk membela gadis itu, politisi muda yang masih sangat hijau dan mudah untuk dikorbankan. Masih berselempang handuk, Damar menghubungi beberapa rekannya di kantor hukum lain. Semua yang dihubunginya meminta Damar untuk stay away dari kasus ini. "Sial! Pengecut semua!" seru Damar menahan emosi. Lalu dia menghubungi sahabatnya, Ronald. Damar belum sempat bicara apa-apa, terdengar Ronald sudah nyerocos, "Bro, lu di mana? Pagi-pagi dah bikin heboh, kita semua terus protes sama bos karena bos ngambil keputusan sepihak. Sampai sekarang bos masih belum datang, tadi ngibrit pas kita mau nemuin dia di kantonya, nah, elu di mana?" Damar menarik napas panjang, kepusingan dengan ocehan Ronald. "Rekanan yang kita buat bisa diaktifkan kan? Kurang apa?" tanya Damar membuat Ronald terdiam beberapa saat. "Kurang tempat doang, kenapa?" tanya Ronald balik bertanya. "Tempat ada, seminggu keluar gak ijinnya?" Damar mengejar. "Bisa," jawab Ronald. "Ke apartemen gua sekarang!" seru Damar seraya memutuskan sambungan telepon. Damar segera memakai baju dan menjerang air untuk memasak mie instan. Perutnya terasa kosong karena melewatkan makan malam. Otaknya terus bekerja, memikirkan segala kemungkinan. Dia menciptakan beberapa skenario dari bos besarnya. Kecurigaannya semakin kuat bahwa bosnya itu terlibat dalam kasus korupsi. Tapi, sebagai apa? karena bosnya bukan seseorang yang bertengger di pemerintahan ataupun instansi, kecuali dia terlibat dalam organisasi. Damar beranjak mengambil laptop dan mulai mencari tahu tentang bos besarnya. Dia tidak menemukan apapun. "Dasar licik," gumamnya kesal. Ting Tong. Suara bel menggema di ruangan, Damar berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Ronald langsung nyelonong masuk dan menghempaskan diri di atas sofa. "Di mana rencana kantor kita?" tanya Ronald to the point. "Terserah mana, yang penting gak lebih dari lima puluh juta setahun, lo sewa aja dua tahun, asal seminggu kelar semuanya dan gua bisa langsung beracara," sahut Damar seraya meracik kopi. "Duitnya?" tanya Ronald yang merasa khawatir Damar akan menyuruhnya merogoh kocek dulu. "Tempat ada, duit gua transfer," sahut Damar kalem. "Oke, Bos. Laksanakan!" ujar Ronald seraya langsung mencari tempat yang cukup representatif buat mereka. "Lo mau ikut gua apa tetep sama bos?" Damar melirik Ronald dengan sudut matanya, bersiap untuk melontarkan ledekan. "Rekanan kan atas nama kita berdua, gua berhak ada di sana, Bro," sahut Ronald cepat. "Kalau gitu, setahun sewa lo yang bayar, setahun lagi gua yang bayar," ujar Damar menohok kepelitan Ronald yang langsung ternganga mulutnya. "Lo jamin dalam setahun duit gua balik?" tanya Ronald serius. "Tiga bulan, gua balikin. Asal lo gak ambil untung dulu. terus lo yakin mau bareng gua ambil kasus ini?" tanya Damar lagi. "Tiga bulan oke buat gua, tapi gak ambil untung apa lo mau makan sendiri, Bro? Gak bisa gitu dong" sahut Ronald. "Kalau lo mau ambil untung, lo yang bayar pengeluaran kantor, gaji pegawai, biaya operasional dan lain-lain," Lagi-lagi Damar menohok Ronald yang garuk-garuk kepala mendengar semua itu. "Serah lo lah!" Akhirnya Ronald pasrah karena kalah telak sambil melanjutkan pencarian tempat. "Haahh, nabung buat kawin malah suruh bayar tempat," gerutu Ronald dalam hatinya. Damar mendengus, mendengar Ronald menggerutu. Dalam hatinya tertawa terbahak-bahak melihat sahabatnya yang kadang seperti bocah bodoh, tapi piawai berdebat di ruang pengadilan. Dia beranjak menuju kamarnya, ada dua hal yang ingin dilakukannya yaitu, menelepon kantor dan mendeteksi keberadaan sang Bos. Damar menelepon finance kantor untuk menanyakan tentang jumlah yang dicairkan oleh finance untuknya. Hatinya cukup puas setelah mendengar sejumlah angka. Ia bisa membelanjakan uang tersebut untuk modal awal pendirian kantornya. Damar menghela napas panjang sebelum memejamkan matanya seraya membayangkan wajah mantan bosnya, seorang lelaki berusia menjelang enam puluh tahun, bertubuh subur, masih bermain-main dengan wanita, yang sudah dibebaskan oleh istrinya. Saat itu, Damar mendapatkan bayangan bahwa mantan bos sedang berada di sebuah kamar hotel dengan seorang wanita muda yang norak. Damar memalingkan wajah dengan kesal karena sempat melihat tubuh telanjang sang Bos yang menjijikan. "Sial! Telat gua!" gusarnya. Pencarian Damar saat itu menemui jalan buntu.Tapi, Damar yakin bahwa pada saatnya ia akan tahu secara jelas keterkaitan mantas bos dengan kasus yang membuat heboh itu. Telepon genggam Damar berdering dari nomor tidak di kenal, Damar mengangkatnya, "Halo?" "Halo Pak Damar? Kami dari yayasan tiga saudara. Kami telah mendengar kabar bahwa Anda telah mendaftarkan kasus kemarin ke pengadilan tipikor, tapi berita-berita mengatakan bahwa Anda telah dipecat dari lembaga yang menaungi Anda, berarti, Anda tidak bisa melanjutkan kasusnya?" tanya penelepon panjang lebar. "Kaitannya yayasan dengan kasus ini apa ya Pak?" Damar mengajukan pertanyaan bukan menjawab. "Kami yang akan membiayai seluruh biaya yang timbul untuk membela Nona Agusti." sahut penelepon. "Baik, saya tidak berencana mundur dari kasus Pak, hanya menunggu sampai dua minggu, saya akan tetap maju dengan bendera lain," sahut Damar. "Oh, kalau begitu, kabar yang melegakan, Pak. Baiklah, kapan kita bisa bertemu untuk berunding Pak?" tanya penelepon. "Nanti saya kabari, kemungkinan minggu depan. Dengan Bapak siapa?" tanya Damar hanya ingin memastikan deteksi hatinya. "Reyhan Pak," jawabnya. "Baik, Pak Reyhan, sampai jumpa." Damar menutup teleponnya. Orang yang baru saja berbicara padanya, mengatakan semua dengan jujur. Dan dia tahu sesuatu dengan pasti. Damar memang harus menemuinya. Damar melangkah keluar kamar, dia ingin tahu apakah Ronald sudah berhasil melaksanakan tugas maha ringan darinya atau belum. Dia harus mengeceknya. "Bro, di sini nih yang terkenal area kantor dengan cewek cantik-cantik. Kebetulan ada yang disewakan tapi gak bisa gocap setahun Bro, dia minta dua tahun seratus dua puluh, interiornya udah bagus, kita gak perlu nambah apa-apa lagi, nih lihat sendiri lay outnya," Ronald bersemangat sekali "Lo mau kerja apa mau cari cewek sih?" tanya Damar kesal. "Lah ... apa salahnya menyelam sambil minum air? Kerja trus dapat jodoh kan bagus, Bro!" seru Ronald. Damar melihat-lihat ruangan yang cukup besar itu, beberapa ruangan yang bisa dipergunakan untuk kantor pribadi dan ruang meeting. Dia tidak percaya dengan harga yang ditawarkan sangat murah. Sementara lokasi sangat strategis dan modal yang dikeluarkan untuk interior sangat mahal. Damar tahu di area sana, sewa pertahunnya untuk satu unit tidak kurang dari dua ratus juta. Damar memicingkan matanya, "Cari tahu kenapa harganya murah," perintah Damar yang langsung dikerjakan oleh Ronald. Beberapa menit kemudian, Ronald bergidik. Dia telah mengumpulkan banyak informasi dan kumpulan testimoni dari ruang kantor tersebut. "Bro, berhantu. Sangat tinggi intensitasnya," suara Ronald lemah. "Tawar habis-habisan. Siang ini juga kita bayar," jawab Damar santai. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ronald selain menuruti apa perintah Damar. Tapi, dia memberanikan diri untuk bicara, "Tapi Bro, gua kan penakut sama hantu-hantuan," ujarnya memelas. "Lo mestinya takut ama gua, lebih serem dari hantu," sahut Damar menatap tajam kepada Ronald. "Ya ya, Bro," jawab Ronald seraya menelepon orang yang menyewakan untuk menawar harga. "Dia oke seratus untuk dua tahun, tapi dengan syarat kalau gak betah, duitnya gak bisa balik," Ronald mengatakannya dengan lesu. "Deal! Ayo kita kesana!" sahut Damar seraya beranjak ke arah lemari sepatu. Dia akan mengawali semuanya dengan tangan dan pikiran sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN