"Seperti itukah cara menolong perempuan itu?" tanya Damar penasaran sambil menoleh kepada Soferina.
"Lantas harus bagaimana? Membawanya ke tempat tidur?" Soferina menjawab tanpa melirik Damar.
Damar menyeringai mendengar ucapan Soferina.
"Aku serius, lantas langkah selanjutnya apa?" tanya Damar kembali.
"Kamu harus melakukan sesuatu yang dampaknya bisa dirasakan orang sepanjang masa, sesuai dengan bidangmu." Soferina tidak menjawab pertanyaan Damar.
Damar mengernyitkan dahinya, ia berpikir mendengar kalimat Soferina.
"Manfaatnya seumur hidup, maksudmu? Sesuai bidangku? Hm ... penemuan hukumkah?" Damar seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ya, semacam itu, dengan begitu ilmumu akan bertahan abadi padamu, selama yang kamu lakukan bermanfaat bagi orang-orang di seumur hidup mereka bahkan sampai anak cucu mereka." Soferina berkata sungguh-sungguh.
Damar merenung, semuanya masuk akal baginya dan sangat sesuai dengan cita-cita idealismenya sebagai seorang pengacara.
Soferina tersenyum, ia berharap Damar akan segera melakukan apapun yang benar-benar bisa menambah kesaktiannya, tumbuh secara alami melalui tebaran kebaikan demi kebaikan.
"Baik, apapun itu selama bisa menolong orang banyak, akan aku lakukan," tekad Damar dengan mantap.
"Ferin, ada yang ingin aku tanyakan padamu, mengenai kematian Tian ... adakah caranya agar aku bisa melupakan kejadian itu? Terhindar dari mimpi buruk dan depresi, " tanya Damar dengan tatapan sendu.
"Tidak ada, sibukkan dirimu dengan merancang tujuan utamamu, dengan sendirinya, pikiranmu teralihkan," jawab Soferina tegas.
Damar terdiam, apa yang dikatakan Soferina benar adanya. ia harus menyibukkan diri dan berpikir bahwa segala sesuatunya harus mulai dirancang segera. ia seakan berpacu dengan waktu, tidak bisa hanya menunggu atau tenggelam di dalam kematian Tian.
"Turunkan aku di sana, aku mau pulang." Soferina memecah keheningan.
"Dengan memakai piyama?" sahut Damar heran.
"Ah iya, kalau gitu, panggilkan taksi." Soferina meminta kepada Damar.
"Aku antar kamu pulang," sahut Damar pendek.
"Tidak usah, Damar ...." Soferina setengah memohon.
"Aku mau antar, Ferin ...." Damar membalas dengan memohon juga.
Soferina terdiam, ia harus mengalah sebab ia tahu, Damar akan memaksa untuk mengantarkannya pulang.
Mereka terdiam, hingga tanpa terasa telah sampai di tujuan, tanpa ada satu orangpun yang bicara, tanpa pemberitahuan alamat dari mulut maupun hati Soferina, nyatanya mereka benar-benar sampai di rumah Soferina.
Damar tersadar dan seketika merasa bingung, ia sama sekali tidak tahu di mana Soferina tinggal, suatu keanehan baginya ia bisa sampai di sana tanpa ada yang memberitahukan sebelumnya.
"Rumahmu?" tanya Damar antara yakin dan tidak yakin.
Soferina mengangguk, lalu menoleh kepada Damar, "terima kasih atas kebersamaan hari ini, sampai jumpa Damar ...." Belum selesai ucapan Soferina, Damar telah menarik bahu Soferina dalam sekali hentakan lembut tapi cukup bertenaga.
Tanpa aba-aba, Damar langsung melumat bibir Soferina dengan gemas dan penuh gairah. Soferina berusaha berontak dengan lemah, Satu sisi ia tidak menginginkan hal ini terjadi, sisi lain, ia tidak rela melepaskan begitu saja sentuhan dari Damar.
Semakin lama, ciuman Damar semakin panas, Soferina hampir kehabisan napas. Damar melepaskan pagutannya, ia senang karena wanita itu membalas permainannya.
"Bolehkah aku masuk?" tanya Damar seraya menggerakkan kepalanya sebagai tanda menunjuk rumah Soferina.
"Tidak sekarang, Damar ...." Soferina menjawab dengan lemas, Damar telah membangkitkan gairahnya.
"Baiklah aku tidak akan memaksa, See you," ujar Damar seraya membukakan pintu mobil untuk Soferina.
"See you." Soferina melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan Damar yang terpaku di sana.
Damar menyetir mobilnya perlahan-lahan, pikirannya berkecamuk dalam rancangan-rancangan hasil pembicaraan dirinya dengan Soferina sepanjang hari itu.
Dia bertekad akan memanfaatkan kesaktian yang didapatkannya untuk menciptakan sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa menolong banyak orang. Gairahnya berpacu, ia ingin segera sampai di rumah ibunya dan mulai bekerja.
◇◇◇
Soferina merasakan hatinya bergolak tidak karuan. Dari sejak awal dirinya diperkenalkan kepada Damar, hatinya langsung terpikat, meskipun ia tahu, Damar adalah seorang play boy yang tidak pernah bisa terikat dengan satu wanita.
Hari ini ia sudah membuktikan sendiri, bagaimana pekatnya hati Damar yang bersikukuh tidak mau terpenjara dalam sebuah hubungan walaupun demi pembebasan dirinya dari misi yang maha berat itu.
Kecewa yang dirasakan oleh Soferina begitu dalam. Di sepanjang hidupnya, ia baru saja merasakan yang namanya jatuh cinta. Hatinya mantap tidak ingin memadamkan perasaannya itu, seakan-akan, Damar adalah jodoh yang telah digariskan oleh alam untuknya.
Bola mata Soferina berkaca-kaca, ia baru menyadari bahwa jatuh cinta itu bukanlah kesenangan, tapi rasa pedih yang memilukan. Ia hanya berharap bahwa rasa sakit ini akan menjadi kenangan indah pada suatu hari nanti.
Iapun menyadari bahwa perasaannya ini akan ditentang habis-habisan oleh keluarga besarnya di pulau mistis. Bukan tidak mungkin, saat ini pun mereka sudah mengetahui tentang hal ini, hanya saja mereka masih berdiam diri karena masih membutuhkan dirinya untuk menjinakkan Damar saat dia berbuat masalah.
Soferina, sebagai keturunan utama dari ketua pulau yang sebenarnya adalah calon Ratu di pulau itu, menggantikan Tetua Renta nantinya. Sebagai Ratu, merupakan pantangan mendapatkan jodoh di luar dari keturunan pulau.
Jika Ratu tidak menghendaki satupun lelaki yang berada di pulau itu, maka ia diwajibkan untuk selibat sampai Ratu memutuskan dan memilih salah satu lelaki di sana.
Dilema berat yang dihadapi Soferina saat ini, bagaimana pun, sebagai manusia biasa ia berhak untuk memutuskan mau dibawa kemana arah hidupnya itu, tapi sebagai manusia keturunan pulau, hak seperti itu sudah tidak boleh melekat pada dirinya.
Soferina harus tunduk dan patuh kepada aturan-aturan yang sudah berlaku selama ratusan tahun. Berani melanggar aturan itu, maka, orang yang ia cintai akan berakhir pada kematian yang mengerikan.
Tanpa disadarinya, sebuah energi telah berada di samping Soferina. "Hentikan kecengenganmu itu, Ratu." Suara seorang wanita tua yang raganya tidak berada di sana.
"Tapi aku mencintainya," sahut Soferina.
"Perkataan bodoh. Lihatlah Bani Edels, cepat atau lambat, semuanya terjadi kan?" sahut suara itu.
"Aku ingatkan bagaimana kematian wanita yang dicintainya itu, tidak berapa lama kejayaannya hancur oleh rakyatnya sendiri sebelum dia mati dalam kepedihan dan kesepian yang menyiksa," paparnya lagi.
"Apakah kamu akan mengikuti jejak Bani Edels? Membuat Damar Mati mengenaskan? lalu kamu menyusul kematiannya?" tanya suara itu, menekankan tiap kata pada kalimatnya.
"Apa kalian juga terus menerus membunuh keturunannya?" tanya Soferina.
"Tidak melalui tangan kami, karena memang tidak bisa. Harus mencari seseorang seperti Damar yang melakukannya untuk kami, Ratu, Damar adalah pion misi ini, jangan ganggu dia. Biarkan misinya berjalan dengan baik. Tugasmu adalah memastikan misinya diselesaikan dengan benar," papar suara itu.
"Yang kamu bahas adalah saudara-saudaraku, saudara kita sedarah. Kalian pengecut, harus menggunakan tangan orang lain untuk membasmi keturunan Bani Edels karena darah pulau mengalir di sana." Soferina merasakan sakit mengingat Tian telah pergi begitu saja.
"Tidak ada saudara meskipun darah pulau mengalir di tubuhnya. Mereka telah tercampur dengan darah yang dinajiskan oleh leluhur kita." Suara itu perlahan menghilang dari pendengaran Soferina.
"Aargh ... menyebalkan!" teriak Soferina seraya memukul meja di hadapannya.
Bagaimana bisa mereka menajiskan darah orang lain yang bukan keturunan pulau? Apa karena merasa superior oleh ilmu kesaktian mereka yang tidak dimiliki oleh orang-orang luar pulau? Soferina merasa hal itu sangatlah tidak adil dan bukan hal benar untuk disetujuinya.
Meskipun ia sudah dipanggil Ratu oleh seluruh penghuni pulau, tapi penasbihan atau peresmian dirinya sebagai Ratu yang berkuasa, belum dilaksanakan karena hanya bisa diresmikan apabila Tetua Renta mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Karenanya Soferina belum memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk memutuskan atau merubah dan membuat peraturan-peraturan baru. Saat ini, ia benar-benar kelimpungan. 'Bagaimana kalau diriku mempunyai anak bukan dari keturunan pulau? Seumur hidup dia harus menghindar dari ancaman pembunuhan, kecuali aku menjadi Ratu dan mengubah peraturan' pikirnya.