Satu kebohongan yang terucap akan memerlukan ratusan kebohongan lain untuk menutupinya. Seperti itulah kira kira yang Sasha alami sekarang.
Dua minggu berlalu dan selama itu dia masih belum punya keberanian untuk mengakui kehamilanya di hadapan ibunya.
Seperti normalnya wanita hamil di trimester pertama, dia juga mengalamai morning sicknes. Hanya bedanya, Sasha harus mati matian menyembunyikan keadaannya. Tapi sampai kapan? Perutnya akan semakin membesar dan bundanya pasti akan menyadari kehamilannya.
Seperti pagi itu, wajah Sasha yang pucat pasi dan berat badannya yang terus menurun tak urung membuat bundanya khawatir. Selama beberapa hari ini entah sudah berapa kali wanita setengah baya itu mengajak anaknya untuk ke dokter.
Tapi mana mungkin Sasha menurut untuk diajak ke dokter, sama halnya mencari mati itu namanya. Dia belum siap menghadapi kemarahan bundanya, apa lagi melihat kekecewaan di wajahnya.
"Sha, beneran kamu tidak mau ke dokter? Mukamu makin pucat lho," tanya wanita setengah baya itu khawatir.
Sasha menggeleng, "tidak usah Bun, paling sebentar lagi juga baikan. Mungkin aku terlalu tegang karena sebentar lagi sudah mulai masuk kuliah."
"Kalau begitu Bunda ke tokoh dulu ya, hari ini banyak pesanan kue."
"Mau dibantu?" tawar Sasha.
"Tidak usah, kamu istirahat saja di rumah. Nanti bisa bisa kamu malah pingsan di sana. Kalau ada apa apa segera hubungi Bunda!" ucap ibu Sasha sambil membetulkan selimut anaknya.
"iya."
Begitu pintu kamarnya ditutup dari luar, Sasha segera berlari menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya. Sudah dari tadi dia menahan rasa mualnya karena mencium bau parfum bundanya.
"Jangan bandel dong Nak! Bunda sudah hampir tidak kuat lagi muntah muntah begini."
Sasha terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tangannya tidak berhenti mengelus perutnya yang masih saja terasa mual.
Apa kabarnya laki laki itu? Semenjak pertemuan terakhir mereka di apartement hari itu, dia menghilang begitu saja dari hidupnya. Jangankan menelfon sekedar menanyakan keadaanya, bahkan tak satu pun pesan yang dia kirimkan padanya.
Sasha tertawa pelan saat air matanya mulai mengalir, rasanya terlalu menyakitkan. Dia benar benar sudah dicampakan seperti barang yang sudah tidak ada harganya lagi.
Tapi baginya ada yang lebih menyakitkan dari sekedar dicampakan. Saat tahu sudah tidak diinginkan lagi, tapi hati masih terus berharap dia akan kembali lagi. Sialan sekali bukan?!
Bukan hal yang mudah bagi Sasha untuk bisa melupakan seorang Aksa Pradipta begitu saja. Keberadaan anak dalam perutnya seperti alarm yang terus berdering mengingatkannya pada laki laki b******k itu.
Sasha sangat mencintai Aksa, itulah kenapa dia sampai rela menyerahkan dirinya pada pria itu. Sayangnya demi ambisi mendapatkan jabatan tertinggi di perusahaan keluarganya, Aksa lebih memilih membuang Sasha dan calon anaknya.
Kini Sasha harus membayar mahal atas kebodohannya. Harusnya sekarang dia sudah berbahagia karena keinginannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri impiannya lewat SNMPTN telah tercapai. Bahkan bundanya begitu bangga saat mendengarnya.
Tapi ternyata mimpinya terpaksa kandas begitu saja. Semua nilai nilai sempurna dan prestasinya selama ini berakhir sia sia. Sekarang bukan hanya hidupnya yang hancur berantakan, bundanya juga pasti akan kecewa dan malu. Terlebih lagi calon anaknya yang nantinya harus hidup tanpa seorang ayah.
Lamunan Sasha seketika buyar begitu mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Non Sasha, ada temannya Non yang datang."
"Siapa Bi?" sahut Sasha pelan.
"Non Rena."
Sasha diam membeku, memang sudah dua minggu dia menghindari sahabatnya itu. Semua pesan ataupun panggilan selalu dia abaikan, tapi sekarang Rena malah datang ke rumah mencarinya.
Bukan tanpa alasan dia bersikap begini, karena Rena adalah adik kandung pria b******k itu. Semua yang berhubungan dengan keluarga mereka harus dia jauhi, termasuk Rena, sahabat terbaiknya selama lima tahun ini.
Tapi dia sadar, semua tidak akan selesai hanya dengan terus menghindar. Sasha melangkah tertatih keluar dari kamarnya. Tubuhnya benar benar lemas, ditambah rasa pusing dan mual yang makin menjadi.
"Sha, ya ampun kamu kenapa? Mukamu kok pucat begini? Kamu sakit?"
Sasha hanya diam menggeleng, bahkan dia juga menepis halus tangan sahabatnya yang ingin merangkul bahunya. Rena berdiri tertegun memandang Sasha yang terduduk lemas dengan tatapan khawatir.
"Ada perlu apa kamu ke sini?"
Rena yang baru saja duduk tampak sedikit terkejut. Pertanyaan dengan nada ketus dari Sasha semakin membuatnya bingung. Kesalahaan apa sebenarnya yang sudah dia lakukan, hingga membuat sikap Sasha berubah drastis padanya.
"Kamu kenapa terus menghindariku selama dua minggu ini? Apa aku membuat kesalahaan?" tanya Rena masih dengan wajah bingungnya.
Tatapan mata mereka bertemu, untuk beberapa saat Sasha hanya diam membisu. Dia sedang memikirkan kata kata yang tepat untuk sahabatnya ini.
Bukan, mulai dari sekarang Rena akan menjadi mantan sahabat baginya. Meski Sasha tahu ini tidak adil bagi Rena yang tidak punya salah apa apa, tapi dia juga tidak punya pilihan lain lagi.
"Kamu kenapa Sha? Jangan membuatku takut! Kenapa kamu menatapku seperti itu?" cecar Rena.
"Ren," panggil Sasha lirih, tapi Rena terus saja bicara tanpa memberinya kesempatan menyela.
"Apapun masalahmu bisa kita selesaikan nanti. Sekarang ayo aku antar kamu ke dokter dulu! Wajahmu sudah pucat banget Sha," desaknya panik.
"Tidak perlu. Dengar! Mulai sekarang tolong jangan mencariku lagi, persahabatan kita cukup sampai disini saja. Aku tidak bisa berteman lagi denganmu, Ren."
Rena melongo. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Selama berteman mereka berdua selalu akur dan tidak pernah sekalipun bertengkar sampai marahan. Itulah kenapa Rena bingung saat dua minggu terakhir Sasha tiba tiba menghindar darinya.
Maksud kedatangannya karena ingin menanyakan langsung pada sahabatnya itu, tapi dia justru mendapati Sasha yang aneh dan terlihat sedang tidak baik baik saja.
"Bercanda kamu tidak lucu Sha," protes Rena dengan wajah masamnya.
"Karena aku memang sedang tidak bercanda. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan kalian keluarga Pradipta," jelas Sasha.
Rena menggeleng tidak mengerti. Tapi melihat wajah dingin dan serius sahabatnya, dia tahu ada sesuatu yang salah disini.
"Apa ada hubunganya dengan Kak Aksa? Kalian putus? Kalaupun memang demikian, kenapa aku juga yang kena getahnya?"
Sasha masih membisu meski Rena menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Mendengar nama Aksa disebut, tiba tiba membuat dadanya berdenyut nyeri.
"Kita bahkan sudah bersahabat dari SMP, Sha. Apa cuma karena alasan putus cinta dengan kakakku, lantas kamu juga mau mengakhiri persahabatan kita. Egois sekali kamu!" dengus Rena kesal.
"Egois? Kamu bilang aku egois? Kenapa kamu tidak tanyakan pada kakak kesayanganmu itu, apa yang sudah dia lakukan padaku!" sahut Sasha geram.
Sasha sangat tahu, Rena tidak bersalah apa apa. Tapi kata kata gadis itu barusan sudah berhasil memancing emosinya.
"Aku sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan semua hal yang menyangkut keluarga Pradipta, termasuk kamu. Jadi tolong, jangan mencariku lagi Ren!" lanjut Sasha tegas untuk mengakhiri perdebatan mereka.
Rena menghela nafas panjang, matanya semakin memincing tajam. Seberapapun kerasnya dia berpikir, tetap tidak paham kenapa sahabatnya jadi aneh begini.
"Ada apa sebenarnya antara kamu dengan Kak Aksa? Bukankah hubungan kalian baik baik saja? Kakakku begitu mencintai kamu, mana mungkin dia tega menyakitimu?"
Sasha tertawa sinis. Lihatlah! Bahkan adiknya sendiri juga tertipu. Akting Aksa selama ini memang terlalu sempurna.
"Cinta katamu? Manusia tak punya hati seperti kakakmu mana mungkin mengerti apa itu cinta, hanya mendengar saja aku sudah jijik," cibir Sasha pedas.
"Jaga mulutmu! Kamu sudah keterlaluan menghina kakakku, bahkan kamu juga membawa bawa keluarga kami," protes Rena yang tidak terima keluarganya terang terangan dihina.
"Aku hamil, Ren."
Rena terbelalak kaget. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar tadi itu. Tidak ada wajah bercanda Sasha, sahabatnya itu kini justru sedang menatapnya sedih dengan mata berkaca kaca.
"Hamil? Kamu hamil anak Kak Aksa? Apa kamu sudah memberitahu kehamilanmu pada kakakku?"
Sasha mengangguk, "sudah dan dia menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku. Kakakmu yang berengsek itu bahkan menuduhku sudah tidur dengan laki laki lain."
Sasha menghapus air matanya kasar. Semua amarah dan beban di hatinya yang disimpan sendirian selama dua minggu ini seakan membuncah di dadanya.
Rena terdiam, seakan masih belum percaya kakaknya bisa seketerlaluan itu. Apa lagi kakaknya juga tahu, Sasha adalah satu satunya sahabat karib yang dia miliki selama ini.
"Tapi kakakku bukan orang seperti itu Sha, mungkin ini hanya salah paham. Aku bisa membawanya ke sini untuk bicara baik baik denganmu."
"Tidak usah, semua sudah selesai Ren. Aku tidak butuh tanggung jawab dari kakakmu, karena baginya anak ini hanyalah beban."
"Kamu jangan begini, Sha. Kita masih bisa menyelesaikan semua secara baik baik. Anak ini butuh ayah, aku akan bicara dengan Kak Aksa dan orang tuaku," bujuk Rena.
"Aku bilang tidak perlu! Sejak awal dia sudah tidak menginginkannya anak ini. Lagi pula tanpa Aksa pun aku juga mampu membesarkan anakku sendirian."
Sasha berteriak marah, Rena bahkan sudah menangis tergugu. Dia sama sekali tidak menyangka masalahnya akan seperti ini. Yang dia tahu kakaknya sangat mencintai Sasha, tapi kenapa malah jadi begini akhirnya.
"Pergi dan jangan pernah datang lagi ke sini! Anakku tidak butuh ayah seperti kakakmu itu," bentak Sasha ketus.
"Anak apa maksudmu, Sha? Siapa yang hamil?"
Mereka berdua menoleh kaget. Tangis Sasha semakin keras melihat bundanya yang tiba tiba muncul dari pintu rumah yang dibuka dari luar.
"Aku sedang bertanya padamu, Sha. Apa maksud ucapanmu tadi? Siapa yang hamil?" cecar bunda Sasha yang tampak begitu murka.
Wanita setengah baya itu menatap nyalang anak perempuannya. Sebenarnya dia sudah mendengar semua pembicaraan mereka dari luar, tapi dia ingin mendengar sendiri pengakuan langsung dari mulut anaknya.
"Maafkan Sasha, Bunda. Sasha hamil," ucap Sasha yang akhirnya terpaksa mengaku.
Dan tangis wanita setengah baya itu pun meledak, tubuhnya jatuh terduduk di lantai. Pengakuan anaknya yang baru saja dia dengar seperti petir di siang bolong.
"Kenapa kamu bisa sebodoh itu, Sha? Bunda memberikan kebebasan padamu karena percaya kamu bisa menjaga diri. Kenapa malah seperti ini jadinya?" ratap Sang Ibu di antara tangisnya.
"Maaf Bun, maafkan Sasha. Aku tahu, aku salah. Tolong jangan seperti ini, Bun."
Sasha duduk bersujud di depan bundanya yang masih bersimpuh di lantai dengan tangis pilunya.
"Bangun Tante, jangan seperti ini. Aku akan pulang dan bicara dengan orang tuaku. Mereka pasti akan bisa membuat Kak Aksa berubah pikiran."
"Aku bilang tidak perlu, apa kamu tuli?! Pergi, aku tidak butuh tanggung jawab laki laki b******n itu!" teriak Sasha kasar.
Rena terkesiap kaget begitu Ambar menampar keras wajah anaknya. Bekas memerah tercetak jelas di pipi Sasha.
"Jaga omonganmu! Kami tidak pernah mengajari kamu untuk memaki sekasar itu," sahut Ambar berang.
"Dia sudah menolakku juga anak di perutku, Bun. Laki laki itu tidak hanya menyuruhku menggugurkan anak ini, tapi dia juga sudah menuduhku tidur dengan orang lain."
Ambar memeluk anaknya yang menangis semakin keras. Demi Tuhan, dia tidak rela anak kesayangannya diperlakukan seperti ini.
"Maafkan Sasha, Bun. Aku sudah mencoreng aib di keluarga ini. Sakit Bun, dia membuangku seperti sampah tidak berguna."
Rena tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya diam terisak melihat dua orang di hadapannya saling memeluk dan menangis.
"Ayo bangun dulu Sha, nanti kandunganmu kenapa napa. Kita bicarakan baik baik untuk mencari jalan keluarnya."
Ambar dan Rena membantu Sasha bangun, tapi baru saja berdiri sebentar tubuh Sasha tiba tiba ambruk. Beruntung Rena bergerak cepat menopang tubuh lemah Sasha, sehingga tidak sampai jatuh menghantam lantai.
" Ya Allah Sha, kamu kenapa? Bangun Sha!" teriak Ambar panik.
Mereka membawa tubuh Sasha ke sofa. Tangis keduanya kembali pecah melihat wajah gadis itu yang pucat pasi dengan bibir membiru.
"Tolong panggil Bi Siti sama Mang Udin, Kità bawa Sasha ke rumah sakit sekarang!"
Rena berlari ke arah dapur, Ambar menggenggam tangan anaknya yang sudah sedingin es.
"Kamu harus kuat Sha, jangan sampai anak sama cucu Bunda kenapa napa."
Saat Rena datang bersama dua orang lainnya, mereka membantu Ambar membawa Sasha ke rumah sakit terdekat.
Ambar bukannya malu dengan keadaan anaknya yang hamil di luar nikah, toh semuanya sudah terlanjur terjadi. Tapi dia sedih melihat anaknya seterluka ini. Terkutuklah Aksa yang sudah membuat Sashanya seperti ini.
Sambil memeluk tubuh Sasha, Ambar terus menangis terisak. Ibu mana yang tidak sakit hati melihat anak semata wayang yang diamanatkan mendiang suaminya supaya dijaga baik baik, sekarang sedang menderita di depan matanya.
"Apa yang harus Bunda lakukan sekarang Sha?"