11. Langkah Awal

1632 Kata
Bersilang kaki, Helen meraih sebuah amplop coklat berukuran besar. Di dalamnya, ada beberapa lembar kertas berserta foto yang membuat bibirnya berkedut, ingin menyunggingkan senyuman. Saat menatap potret wajah penolongnya yang tampak tampan, meski diambil dari jarak yang cukup jauh.  Tentu saja harus dilakukan seperti itu, agar sosok yang tengah diawasi tak menaruh curiga. Ah, walau sebagian besar fotonya diambil dari jarak jauh, tak mengurangi kadar ketampanan pria itu. Justru kian terlihat memesona. Nanti, akan Helen pilih, mana yang paling bagus untuk ia cetak dalam ukuran besar, lalu dipajang di dinding kamarnya. Kembali menjatuhkan pandangan pada seorang pria yang dibayar Farhan untuk mencari tau tentang sosok penolongnya. Helen mulai angkat bicara. "Saya harap, apa yang ada di dalam amplop coklat ini, sesuatu yang memang ingin saya ketahui." Mengelus bakal janggutnya, pria itu terkekeh sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang berada di belakangnya. "Tentu saja Nona. Jika tak berkompeten, Tuan Farhan tak mungkin memilih saya untuk melakukan pekerjaan ini." Mengangguk singkat, Helen mulai membongkar isi amplop tersebut. Membacanya secara perlahan dan fokus. Tak mau melewatkan secuil pun informasi yang bisa didapatkannya dari pria yang tengah dia incar. Sementara orang suruhan Papanya yang duduk bersebrangan dengannya, memilih untuk menikmati secangkir kopi dan kudapan yang tersuguh. Sesekali, mengedarkan pandangan ke sekitar kafe yang Helen pilih untuk pertemuan mereka.  Tak terlalu banyak pengunj*ng yang datang. Mungkin karena bukan jam makan siang.  Helen tak bisa menutupi rasa antusiasnya. Dengan cepat, kedua netranya melahap semua informasi yang tertera di setiap lembar kertas orang suruhan Papanya. Elard Dhanurendra. Jadi itu namanya. Putra dari seorang pengusaha ternama, Anggoro Dhanurendra. Memiliki usaha sebuah restoran yang—astaga! Hei, dia cukup sering mendatangi restoran itu.  Jika saja tau pemiliknya adalah sosok yang menolongnya, Helen tak perlu menunggu lama.  Selain hal itu. Ada banyak informasi lainnya tentang Elard yang berhasil Helen dapatkan. Termasuk, pria itu ternyata memiliki Ibu dan saudara tiri. Tapi kenapa Elard tak ikut saudara tirinya mengurusi perusahaan? Oh, tunggu! Bicara tentang perusahaan. Jadi perusahaan keluarga Elard tengah bermasalah? Berdeham pelan, Helen mengangkat pandangan. Menatap orang suruhan Papanya mencari informasi tentang Elard. "Apa yang sedang terjadi dengan perusahaan milik keluarga Dhanurendra? Bagaimana bisa Anda tau soal itu?" Pria yang sejak tadi duduk tenang di seberangnya, menyunggingkan senyuman tipis, sebelum kemudian menjawab pertanyaan dari Helen.  "Sebenarnya, informasi itu sudah bocor di kalangan beberapa pengusaha, Nona. Perusahaan milik keluarga Dhanurendra tengah teranc*m mengalami bankrut." "Bagaimana bisa?" Helen tak bisa menutupi rasa penasarannya. Dia cukup tau tentang keluarga itu. Dan tak menyangka, sosok yang menjadi penolongnya ternyata seseorang dari keluarga Dhanurendra. Setau Helen, selain perusahaan milik sang Papa. Perusahaan keluarga Dhanurendra menjadi perusahaan yang paling diperhitungkan.  "Dari kabar yang beredar, hal itu terjadi karena Anggoro Dhanurendra, ditipu oleh saudara iparnya sendiri." "Apa yang dilakukan?" "Korupsi." Helen mendengkus setelah mendengarnya. Perusahaan yang susah payah dibangun selama puluhan tahun akhirnya teranc*m bankrut karena ketamakan seseorang. "Sebenarnya, hal ini cukup ironis bagi seorang Anggoro Dhanurendra." Suara pria suruhannya mengoyak lamunan Helen. Kembali meletakkan atensinya, wanita itu menaikan satu alis mata, "apa maksud Anda? Tolong beritahukan semua informasi yang Anda tau, selain apa yang ada di kertas ini." Ucapnya sembari mengacungkan kertas yang tergenggam di tangan kanannya. "Anggoro memiliki ipar bernama Beno. Saya rasa, Tuan—maksud saya, Papa Nona pun pasti tau siapa dia." "Katakan saja, jika bisa mendapatkan informasinya dari Anda, untuk apa harus repot-repot menginterogasi Papa?" Meletakkan pelan kertas berisi informasi tentang Elard, Helen menatap orang suruhan Farhan, "tenang saja, untuk informasi tambahan yang Anda berikan. Ada uang tambahan yang bisa didapatkan." Mendengar hal tersebut, pria itu tentu saja tersenyum sumringah. Dia tak akan segan melempar semua informasi, bahkan hal-hal yang mungkin remeh sekali pun. Selagi bisa mendapat uang tambahan. Yang paling penting, Helen bisa terpuask*n, dan ia mendapat bayaran lebih banyak dari perjanjian awal. Berdeham untuk memulai, pria itu kemudian menceritakan apa yang diketahuinya pada Helen. "Beno—sepupu dari mendiang Istri pertama Anggoro, dikenal sebagai seseorang yang licik. Rela menghalalkan segala cara untuk mendapat keuntungan pribadi. Perusahaan milik pria itu bankrut, sampai akhirnya 'mengemis' pada Anggoro agar mendapat bantuan. Semua orang awalnya mengira jika Beno sudah berubah. Tapi, dia hanya tengah menyusun rencana, sampai akhirnya, berhasil mengelabui Anggoro. Melakukan korupsi besar-besaran di perusahaan orang yang sudah menolongnya agar tak berakhir di jalanan, dan sekarang, melarikan diri ke luar negeri." Wow!  Helen bahkan kesulitan berkata-kata. Bagaimana bisa seorang Anggoro Dhanurendra 'memelihara' ular di perusahaannya? Selain tentang keluarga Elard, Helen baru mengingat sesuatu.  Mengambil kembali kertas yang sebelumnya ia letakan di atas meja. Gadis itu membaca ulang dengan fokus. Melihat raut wajah Helen yang tak biasa. Pria di depannya menatap was-was. "Ada apa Nona? Apa ada hal lain yang terlewatkan? Semua informasi yang saya berikan bisa dijamin akurat. Anda tidak perlu khawatir." Mengela napas, Helen menggeleng. "Bukan," meletakkan lagi kertas yang baru saja dibaca ulang, Helen menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang berada di belakangnya, sembari bersedekap tangan. "Anda adalah orang yang Papa saya pilih. Itu artinya, kemampuan yang Anda miliki pasti tak diragukan. Hanya saja," menggantung beberapa detik ucapannya, membuat sosok yang duduk bersebrangan dengnnya kian dibuat penasaran. Helen mengerutkan kening. "Hanya saja?" Beo pria itu dengan nada tak sabaran. Menanti Helen segera menyelesaikan ucapannya.  "Kenapa tidak ada informasi soal asmara?" Tanya Helen akhirnya. Memuntahkan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di hati dan pikirannya. Padahal, itu yang paling penting untuk Helen. Setidaknya dia tau, perempuan seperti apa yang Elard suka? Dan, sekali pun ternyata pria itu sudah memiliki kekasih. Helen tak peduli. Jangan harap membuatnya mundur walau hanya sejengkal. Apa pun akan dilakukan, agar Elard menjadi miliknya.  Ber'oh panjang. Pria itu menganggukkan kepala sembari terkekeh geli. Membuat Helen mengernyit heran.  Bagian mana dari pertanyaannya yang dianggap lucu? Melihat raut masam Helen. Pria itu buru-buru merubah ekspresinya. Berdeham meski tenggorokannya tak gatal. Ia garuk hidung dengan canggung. "Maaf Nona, saya tidak bermaksud meremehkan pertanyaan Anda." "Lalu?" Mengangkat tinggi dagunya sembari menaikan satu alis mata, Helen menunggu tak sabar, "kenapa tak ada informasi soal Elard dengan perempuan? Entah itu kekasih, mantan, atau sosok yang sedang dekat dengannya?" Menyugar rambutnya yang ikal dan cukup panjang, pria itu mengela napas panjang, saat mendapat pertanyaan dari Helen yang seolah mencecarnya. "Jujur saja Nona. Mencari informasi tentang putra tunggal keluarga Dhanurendra cukup sulit. Tapi, tidak ada yang lebih sulit tentang kisah asmaranya." Menarik. Sudut bibir Helen tertarik membentuk senyuman miring. Usai mendengar informasi tersebut.  Elard membuat rasa penasarannya kian berlipat. Pria itu seperti kotak Pandora. Selalu memiliki hal misterius setiap kali Helen mencoba membuka tentang kehidupannya.  "Elard Dhanurendra dikenal sebagai pribadi yang sulit untuk 'disentuh'," ucap pria itu, sembari memasang wajah serius, "bahkan, orang-orang lebih mengenal saudara tirinya, yang saat ini membantu Anggoro mengurusi perusahaan, ketimbang Elard yang bisa disebut, sebagai calon penerus kerajaan bisnis keluarga Dhanurendra. Cukup sulit mencari informasi tentang pria itu karena sangat minim memperlihatkan tentang kehidupan pribadinya pada khalayak ramai." "Ada banyak wanita yang berusaha mendekati. Tapi, sampai sekarang—setau saya, tidak pernah ada satu pun wanita yang menyandang status sebagai kekasih, atau mantannya." Kejutan apalagi ini? Jadi, bisa diartikan, kalau Elard tak pernah memiliki kekasih? Astaga! Bagiamana bisa? Pria se-wow itu jomlo sedari lahir hingga sekarang? Belum 'tersentuh' oleh siapa pun? Hal yang membuat tekat Helen kian berkobar di dalam hati. Agar bisa memiliki Elard untuknya. "Saya tidak mau hanya sampai di sini." Ucap Helen tiba-tiba.  Membuat Pria yang tengah menyesap cangkir kopinya seketika terjeda. Menjauhkan tepi cangkir dari bibirnya, ia menatap Helen bingung.  Menahan keinginan untuk memutar bola mata, Helen menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Saya ingin informasi lebih banyak tentang Elard Dhanurendra. Jadi, terus cari informasi tentangnya. Terlebih, soal wanita yang dekat dengannya."  Meski Elard tak memiliki kekasih atau pun mantan. Helen yakin, pria itu memiliki seorang wanita yang cukup dekat dengannya. Pengecualian jika statusnya saudara. "Baik Nona. Saya akan segera mencari tau informasi tersebut." "Bagus," tersenyum puas, Helen mengangguk. Sebelum kemudian membuka tasnya. Mengambil amplop coklat yang cukup tebal dan menyodorkannya pada orang suruhan sang Papa yang seketika tersenyum sumringah. "Itu untuk bayaran informasi pertama yang Anda beri. Untuk bonus yang sebelumnya saya janjikan, akan digabung dengan bayaran selanjutnya." "Baik Nona, terima kasih." Tak sabar, pria itu membuka amplop coklat tersebut, sekadar untuk mengintip isinya. Dan membuat senyumannya kian merekah lebar.  Sementara Helen tak bisa menahan diri untuk tak memutar bola mata sebal. Sekarang keberadaannya terabaikan, karena pria itu sibuk mengagumi tumpukan uang yang baru saja dia berikan. Uang memang bisa membutakan segalanya. Setelah dirasa tak ada lagi pembicaraan yang diperlukan dengan orang suruhan Papanya. Helen akhirnya meletakkan beberapa lembar uang di atas meja, untuk membayar pesanannya dan pria itu.  Mencangklongkan tas dibahu kiri, sebelum kemudian beranjak dari tempat duduknya. Helen berniat untuk pulang.  Ah, tidak. Mungkin dia harus merealisasikan keinginannya beberapa saat tadi. Yang ingin mencetak salah satu foto Elard dengan ukuran besar. Lalu, akan dia pasang di dinding kamarnya. Agar bisa melihat rupa pria itu setiap saat. Menyedihkan? Enak saja! Tentu saja tidak. Kata menyedihkan tak bisa disandingkan dengan namanya. Karena, jika tengah menginginkan sesuatu, Helen tak segan mengeluarkan semua usahanya, agar bisa mendapat apa yang ia inginkan. Tak peduli dianggap sebagai seseorang yang ambisius. Bukankah sudah seharusnya, berusaha keras agar keinginan kita tercapai? Tidak ada di dalam kamus hidupnya, kata menyedihkan bersanding di belakang namanya. Pergerakan Helen yang baru saja beranjak dari tempat duduknya hingga membuat kursi yang sebelumnya ia tempati terdorong dan menghasilkan bunyi deritan, rupanya berhasil mengalihkan atensi pria itu. "Anda sudah akan pergi?" Tanya pria itu, yang akhirnya mengalihkan perhatian dari uang yang membuatnya sempat mengabaikan eksistensi Helen di depannya.  "Ya, dan selamat bersenang-senang," ucap Helen sekadar basa-basi. Padahal dia tengah menyindir pria mata duitan itu. "Tentu saja Nona, sekali lagi terima kasih. Senang bisa berbisnis dengan Anda." Tersenyum tipis, dan hanya muncul beberapa detik. Helen segera berlalu pergi. Tak lupa membawa amplop coklat besar berisi informasi tentang Elard. Kali ini cukup. Meski belum memuask*n sepenuhnya rasa ingin tau Helen akan seorang Elard Dhanurendra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN