Anjing-anjing yang sama menggeram padaku dari balik pagar kawat sebelah, ketika aku parkir di jalan masuk runah keluarga Jack. Smith sedang berdiri di teras yang penuh sesak, rokok bergoyang-goyang dengan ujung filter hanya beberapa inci dari bibirnya, kabut kebiru-biruan terapung malas dari atas kepalanya, menuju halaman depan. la sudah menunggu dan merokok beberapa lama.
Aku memaksakan senyum lebar palsu dan meng ucapkan segala macam salam. Kerut-merut di seputar mulutnya sama sekali tidak merekah. Aku mengikutinya melewati ruang duduk yang penuh sesak dan lengas, melewati sofa koyak yang bertengger di bawah koleksi potret lama keluarga Jack sebagai keluarga bahagia, melangkah di karpet kasar yang sudah aus, dengan potongan-potongan kecil ditempatkan di sana-sini untuk menyembunyikan lubang-lubangnya, masuk ke dapur tempat tak seorang pun sedang menunggu.
"Kopi?" ia bertanya sambil menunjuk tempatku di depan meja dapur.
"Tidak, terima kasih. Air saja.” la kemudian mengisi sebuah gelas plastik dengan air keran tanpa es, dan meletakkannya di depanku. Pelahan lahan kami berdua melihat ke luar jendela.
"Aku tak bisa menyuruhnya masuk," katanya tanpa sedikit pun nada kesal. Kurasa Eddy kadang kadang masuk, kadang-kadang tidak.
"Kenapa tidak?" aku bertanya, seolah-olah perilakunya bisa dinalar.
la cuma angkat bahu. "Kau perlu Ronnie Kray juga, betul?”
la pergi dari dapur, meninggalkan aku dengan air hangat dan pemandangan pada Eddy. Sebenarnya ia sulit dilihat karena kaca depan mobil itu sudah berpuluh tahun tak pernah dicuci, dan segerombolan kucing kudisan bermain-main gembira di atapnya. la mengenakan topi entah apa, mungkin dengan kelepak telinga, dan perlahan-lahan mengangkat botol ke bibir. Botol itu kelihatannya terbungkus kertas cokelat. Dengan santai ia meneguk isinya.
Aku mendengar Smith berbicara lembut kepada putranya. Mereka berjalan melewati ruang düdük, lalü maşuk ke dapur. Aku berdiri untuk menemui Ronnie Kray Jack.
la jelas akan mati, apa pun penyebabnya. Tubuhnya sudah kurus kering, tampak mengerikan, pipinya cekung, kulitnya pucat pasi seperti kapur. Perawakannya memang kecil sebelum penyakit itu menimpanya, dan sekarang tubuhnya bungkuk di pinggang, tidak lebih tinggi dari ibunya. Rambut dan alisnya hitam legam, sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Namun ia tersenyum dan mengulurkan tangannya yang kurus kering. Aku menjabatnya dengan waswas.
Smith selama itu memeluk pinggangnya, dan dengan lembut mendudukkan anaknya ke sebuah kursi. Ronnie Kray mengenakan jeans baggy dan T-shirt putih polos yang menggelantung longgar pada tulang belulangnya.
"Senang berjumpa denganmu," kataku, mencoba menghindari matanya yang cekung.
"Mom menceritakan beberapa hal menyenangkan tentangmu," jawabnya. Suaranya lemah dan parau, tapi kata-katanya jelas. Aku tak pernah berpikir kalau Smith akan bicara baik-baik tentang diriku. Ronnie Kray menangkupkan kedua tangannya menyangga dagu, seolah-olah kepalanya tak bisa tegak sendiri. "Katanya kau sedang menggugat b*****t-b*****t di State Farm Insurance, dan akan membuat mereka membayar." Ucapannya lebih kedengaran putus asa daripada marah.
"Itu memang benar," kataku. Aku membuka berkas dan mengeluarkan satu salinan surat gugatan Gibson yang dikirimkan ke State Farm Insurance. Aku menyerahkannya pada Smith yang sedang berdiri di belakang Ronnie Kray. "Kami sudah mengajukan ini," aku menerangkan, seperti layaknya pengacara yang sangat efisien. Mengajukan, bukannya mengeposkan. Kedengaran lebih baik, sepertinya kami benar-benar sudah beraksi sekarang. "Kami tidak berharap mereka akan menanggapinya secara memuaskan, jadi kami akan menggugat mereka beberapa hari lagi. Mungkin kami akan minta paling sedikit satu juta dolar."
Smith melirik surat itu, lalu meletakkannya di meja. Aku sudah bersiaga menghadapi berondongan pertanyaan mengapa aku belum mengajukan gugatan. Aku takut itu bisa menimbukan kericuhan. Namun dengan lembut ia membelai pundak Ronnie Kray dan menatap sedih ke balik jendela. Ia berhati hati dengan ucapannya, tak ingin membuat anaknya sedih.
Ronnie Kray duduk menghadap jendela. "Apa Daddy akan masuk?" ia bertanya.
"Dia bilang tidak akan masuk "
Aku mencabut surat kontrak berkas, dan mengangsurkannya pada Smith. “Ini harus lebih dulu ditandatangani sebelum kita bisa mengajukan gugatan. Ini kontrak antara kalian, pihak klien, dan biro hukumku. Surat kontrak untuk mewakili kepentingan hukum.”
la memegangnya dengan hati-hati. Kontrak itu hanya ada dua halaman. "Apa isinya?"
"Oh, seperti biasanya. Kalimat-kalimat standar kalian menyewa kami sebagai pengacara kalian, kami menangani kasusnya, membayar segala biaya, dan kami mendapatkan sepertiga dari uang ganti rugi yang dibayarkan."
"Kalau begitu, kenapa perlu dua halaman persyaratan?" ia menanyaiku sambil mencabut sebatang rokok dari bungkus di meja.
"Jangan nyalakan itu!" tukas Ronnie Kray dari atas pundaknya. la memandangku dan berkata, "Tak heran kalau aku sekarat.”
Tanpa ragu-ragu ia menancapkan rokok itu di antara bibir dan terus memandangi dokumen tersebut. la tak menyalakannya. "Dan kami bertiga harus menandatanganinya?"
"Benar."
"Ah, dia bilang tidak akan masuk ke sini," katanya.
"Kalau begitu, bawa surat itu ke luar sana," kata Ronnie Kray marah. "Ambil pena dan keluar. Suruh dia menandatangani surat ini."
"Tadi tidak terpikir olehku," katanya.
"Kita sudah pernah melakukannya." Ronnie Kray menunduk dan menggaruk kulit kepala. Kata-kata tajam itu meletihkannya.
"Kurasa aku bisa," kata sang ibu, masih ragu-ragu. "Pergilah saja, sialan!" katanya, dan Smith merogoh rogoh ke dalam sebuah laci, sampai menemukan sebatang pena. Ronnie Kray mengangkat kepala dan menyangganya dengan tangan. Pergelangan tangannya sekurus pegangan sapu.
"Sebentar aku akan kembali," kata Smith. Seolah-olah ia akan pergi belanja di ujung jalan dan mengkhawatirkan anaknya. Ia berjalan perlahan-lahan lintasi teras bata dan turun ke alang-alang. Seekor kucing di kap mobil melihatnya datang dan menyelinap ke bawah mobil.
"Beberapa bulan yang lalu," Ronnie Kray berkata lalu terdiam lama. Napasnya terengah-engah dan kepalanya bergoyang-goyang sedikit. "Beberapa bulan yang lalu, kami harus minta tanda tangannya untuk notaris, tapi dia tak mau pergi. Mom menemukan seorang notaris yang bersedia datang ke rumah dengan bayaran dua puluh dolar, tapi ketika notaris itu sampai ke sini, Daddy tak mau masuk. Jadi, Mom dan notaris itu keluar ke mobil sana, melewati alangalang. Kau lihat kucing besar berbulu jingga di atas mobil itu?"
"Kami menamakannya Miko. Dia semacam kucing penjaga di sini. Omong-omong, ketika notaris itu mengulurkan tangan untuk mengambil surat-surat dari Buddy, yang tentu saja dalam keadaan mabuk dan boleh dikata tak sadar, Miko melompat dari mobil dan menyerang si notaris. Kami harus bayar enam puluh dolar untuk biaya dokter. Dan sepasang stocking baru. Apa kau sudah pernah melihat orang dengan leukemia akut?"
"Belum, ya baru sekarang ini."
"Bobotku 55 kilo. Sebelas bulan yang lalu beratku 80 kilo. Leukemia ini terdeteksi cukup dini untuk diobati. Aku beruntung punya saudara kembar identik, dan sumsum kami cocok. Transplantasi tentu akan menyelamatkanku, tapi kami tak kuat biayainya. Kami punya asuransi, tapi kau tahu sisa ceritanya. Kurasa kau tahu semua ini, benar?"
"Ya. Aku sangat kenal dengan kasusmu, Ronnie Kray.”
"Bagus," katanya lega. Kami mengawasi Smith mengusir kucing-kucing itu. Miko bertengger di atap mobil, pura-pura tidur. Miko tak ingin bagian apa pun dari Smith Jack. Pintu-pintunya terbuka dan Smith mengulurkan kontrak itu ke dalam. Kami bisa mendengar suaranya yang menusuk.
"Aku tahu kaupikir mereka gila," kata Ronnie Kray, membaca pikiranku. Tapi mereka sebenarnya orang orang baik yang telah mengalami banyak kepahitan. Bersabarlah dengan mereka."
"Mereka orang-orang yang menyenangkan."
“Aku sudah delapan puluh persen mati, oke? Delapan puluh persen. Seandainya aku mendapatkan transplantasi, bahkan enam bulan yang lalu sekalipun, aku tentu punya peluang sembilan puluh persen untuk sembuh. Sembilan puluh persen. Sungguh lucu bagaimana para dokter memakai angka-angka untuk mengatakan apakah kami akan hidup atau mati. Sekarang sudah terlambat." Ia mendadak terengah mencari udara, mengepalkan tangan, dan menggigil keras. Wajahnya jadi bersemu dadu ketika ia dengan susah payah menyedot udara, dan sedetik itu aku merasa sepertinya aku perlu membantu. Ia memukul d**a dengan dua tinjunya, dan aku khawatir seluruh tubuhnya akan runtuh.
Akhirnya ia berhasil menenangkan napas dan mendengus-dengus cepat melalui hidung. Tepat pàda saat itulah aku mulai membenci State Farm Insurance.
Aku tidak lagi malu memandangnya. Ia adalah klienku, dan ia mengandalkanku. Aku akan mengurusnya, semaksimal mungkin dan bahkan hingga tuntas.
Ia bernapas senormal mungkin, matanya merah dan berair. Aku tak bisa mengatakan apakah ia menangis atau cuma pulih dari kejang-kejang tadi. "Maaf," bisiknya.
Miko mendesis keras untuk bisa kami dengar, dan kami melihat tepat saat ia melompat ke udara dan mendarat di alang-alang. Jelas kucing penjaga itu agak tertarik pada kontrakku, dan Smith memukulinya. Smith mengumpat suaminya yang terpuruk makin dah lagi di belakang kemudi. la mengulurkan tangan ke dalam, menarik surat-surat itu, lalu menghambur ke arah kami sementara kucing-kucing bersembunyi ke segala penjuru.
"Delapan puluh persen mati, oke?" kata Ronnie Kray parau. "Jadi, aku tidak akan hidup lebih lama lagi. Berapa pun yang kau dapat dari kasus ini, tolong pergunakan untuk merawat mereka. Hidup mereka susah."
Aku terharu, sampai tak mampu menjawab.
Smith membuka pintu dan menyodorkan kontrak itu ke meja. Bagian bawah halaman pertamanya sedikit tercabik dan halaman keduanya ternoda kotoran. Aku harap itu bukan kotoran kucing. "Ini," katanya. Misi terlaksana. Eddy benar-benar sudah menandatanganinya, tanda tangan yang sama sekali tak terbaca.
Aku menunjuk ke sana-sini. Ronnie Kray dan ibunya membubuhkan tanda tangan, dan perjanjian itu ditutup. Kami bercakap-cakap beberapa menit, dan aku mulai melihat jam tangan.
Ketika aku meninggalkan mereka, Smith duduk di samping Ronnie Kray, dengan lembut membelai lengan anaknya dan mengatakan segalanya akan membaik.