Matahari belum lagi muncul, tapi celemeknya sudah kotor oleh tanah dan sepatunya bernoda lumpur. "Selamat pagi," kataku, berusaha keras untuk tidak terdengar kesal.
la tersenyum lebar, giginya tampak kuning dan kelabu.
"Apa aku membangunkanmu?" ia berkicau.
"Tidak, saya baru saja akan bangun."
"Bagus. Kita punya pekerjaan yang harus diselesaikan. "
"Pekerjaan? Tapi..."
"Ya, Edward. Kau sudah cukup lama mengabaikan pupuk itu, sekarang saatnya kerja. Pupuk itu akan membusuk kalau kita tidak bergegas.”
Aku mengedip-ngedipkan mata dan mencoba memusatkan pandangan. "Hari ini Jumat," aku menggumam tak begitu pasti.
"Bukan. Sekarang Sabtu," tukasnya.
Kami saling menatap selama beberapa detik lalu aku melirik jari tangan—-kebiasaan yang kudapat sesudah tiga hari bekerja, "Sekarang Jumat, Miss Streep. Jumat. Saya harus bekerja hari ini."
"Sekarang Sabtu," ia mengulangi dengan keras kepala.
Kami saling menatap lagi. la melihat celana pendekku. Aku mengamati sepatunya yang berlumpur.
"Begini, Miss Streep," kataku hangat, “saya tahu kalau hari ini Jumat, dan saya ditunggu di kantor satu setengah jam lagi. Kita akan mengurus pupuk itu akhir pekan ini." Sudah tentu aku mencoba menenangkannya. Aku merencanakan bekerja di depan mejaku besok pagi.
"Nanti pupuk itu busuk."
"Tidak akan busuk sebelum besok." Apakah pupuk benar membusuk dalam karung? Aku rasa tidak.
"Aku ingin mengurus mawarnya besok.”
"Nah, kenapa tidak Anda urus mawarnya hari ini, sementara saya di kantor? Besok kita mengurus pupuknya." la merenungkan hal ini sejenak, dan mendadak tampak mengundang kasihan. Pundaknya melorot dan wajahnya sedih. Sulit untuk mengatakan apakah ia jengah, "Kau janji?" ia bertanya lemah.
"Janji."
"Kau bilang akan mengurus pekerjaan kebun kalau aku menurunkan uang sewa.”
“Ya, saya tahu." Bagaimana mungkin aku lupa? La sudah mengingatkanku selusin kali tentang hal ini.
"Nah, baiklah,” katanya, seolah-olah ia sudah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya ke sini.
Kemudian ia berjalan bergoyang-goyang keluar pintu dan menuruni tangga, sambil menggumam sepanjang jalan. Aku menutup pintu pelan-pelan, dalam hati bertanya, pukul berapa lagi ia akan datang menjemputku besok pagi.
Aku berpakaian dan pergi ke kantor. Setengah lusin mobil sudah diparkir di sana, dan gedung itu sebagian sudah menyala. Saat itu belum lagi pukul tujuh. Aku menunggu di dalam mobil sampai satu mobil lain berhenti di halaman parkir. Aku menghitung waktuku dengan hati-hati, sehingga aku bisa menyusul seorang laki-laki setengah baya di pintu depan. la menjinjing tas kerja dan membawa satu cangkir kertas tinggi berisi kopi, sambil merogoh rogoh mencari kunci.
la tampak terkejut melihatku. Tempat ini bukan daerah rawan kejahatan, tapi masih tetap bagian tengah kota Southaven dan orang-orang mudah kaget.
"Selamat pagi," kataku hangat.
"Pagi," ia mendengus. "Ada yang bisa kubantu?”
"Ya, Sir. Saya paralegal baru Robin Gibson, baru datang untuk bekerja."
"Nama?"
“Edward Cicero."
Kedua tangannya terdiam sejenak dan ia mengernyit dalam. Bibir bawahnya berkerut dan dimonyongkan, lalu ia menggelengkan kepala. "Tidak pernah dengar. Aku manajer bisnis. Tak seorang pun bicara padaku tentang ini.'
"Dia mempekerjakan saya empat hari yang lalu, saya sumpah." la menyelipkan kunci ke pintu, sambil melirik takut dari atas pundak. Pikir orang ini aku pencuri atau pembunuh. Aku memakai jas dan dasi, dan kelihatan cukup rapi.
"Maaf. Tapi Mr. Stone punya peraturan ketat mengenai keamanan. Tak seorang pun boleh masuk sebelum jam kerja, kecuali nama mereka ada dalam daftar karyawan." la hampir melompat ke dalam melewati pintu itu. "Katakan pada Gibson untuk menghubungiku pagi ini,” ia berkata, kemudian membanting pintu di depan hidungku.
Aku tidak akan berkeliaran di tangga depan, seperti pengemis menunggu pegawai berikutnya datang.
Aku naik mobil beberapa blok dari sana ke sebuah deli dan membeli koran pagi, bolu gulung, dan kopi. Aku melewatkan satu jam menghirup udara penuh asap rokok dan mendengarkan gosip, kemudian kembali ke ha laman parkir yang sekarang dipenuhi mobil. Mobil mobil bagus. Mobil-mobil Jerman yang elegan dan mobil impor lain yang berkilauan. Dengan hati-hati aku memilih tempat kosong di samping sebuah Chevrolet.
Resepsionis di depan sudah beberapa kali melihat ku datang dan pergi, tapi pura-pura tak mengenalku. Aku tidak akan ingin mengatakan padanya bahwa sekarang aku pegawai, seperti dirinya. la menghubungi Gibson yang memberi lampu hijau membiarkan aku masuk ke labirin itu.
la harus ke pengadilan pukul sembilan, mosi dalam kasus product liability, jadi ia bergerak cepat. Aku bertekad untuk membicarakan pencantuman namaku dalam daftar gaji biro hukum itu, tapi waktunya tidak tepat. Itu bisa menunggu satu-dua hari. la menjejalkan berkas-berkas arsip ke dalam tas besar, dan sejenak aku hanyut dengan lamunan untuk mengikutinya ke pengadilan pagi ini.
la punya rencana lain. "Aku ingin kau pergi menemui keluarga Jack, dan kembali dengan konttak yang sudah ditandatangani. Surat kontrak itu harus ditandatangani oleh ketiganya—Smith, Eddy, dan Ronnie Kray, karena dia sudah dewasa sekarang.”
Aku mengangguk mantap, tapi sebenarnya lebih suka dipukuli daripada melewatkan pagi bersama keluarga Jack. Aku akhirnya akan berjumpa dengan Ronnie Kray, padahal kukira bisa menunda perjumpaan ini selamanya. "Dan sesudah itu?” tanyaku.
"Aku akan berada di pengadilan seharian. Datang temui aku di ruang sidang Hakim Alkostar.” Teleponnya berdering dan ia mengebaskan tangan menyuruhku pergi, seolah-olah waktuku sudah habis sekarang.
Membayangkan diriku mengumpulkan seluruh anggota keluarga Jack di sekitar meja makan untuk menandatangani kontrak bukanlah gagasan menarik. Aku akan dipaksa düdük dan menyaksikan Smith berjalan pongah melintasi halaman belakang ke van Ford b****k itu, mengumpat bersama setiap langkah, kemudian membujuk dan merayu Eddy agar meninggalkan kucing dan ginnya. la mungkin akan menarik telinga laki-laki itu keluar dari mobil. Menyeramkan. Dan aku harus duduk gelisah sewaktu ia menghilang ke belakang rumah untuk menyiapkan Ronnie Kray, kemudian menahan napas ketika ia muncul menemuiku, pengacaranya.
Untuk menghindari hal ini sebisanya, aku berhenti di sebuah telepon umum di Stasiun Jimbang dan menelepon Smith. Sungguh memalukan. Biro hukum Stone memiliki peralatan elektronis paling baik, tapi aku terpaksa memakai telepon umum. Syukurlah Smith menjawab. Aku tak dapat membayangkan percakapan telepon dengan Eddy. Aku ragu kalau ia punya telepon mobil di dalam van Ford itu.
Dan seperti hal-hal yang biasa diketahui, sikap Smith terlihat curiga untuk menemuiku sebentar. Aku tidak mendiktenya untuk mengumpulkan keluarganya, tapi aku menekankan perlunya memperoleh tanda tangan pada setiap orang. Dan seperti hal umum, aku katakan padanya kalau aku sangat tergesa-gesa. Harus ke pengadilan. Para hakim sedang menunggu.