“Dan pada akhirnyam hanya Rangnick bersaudara yang bersedia mengisi kekosongan jabatan itu sampai pengganti Maggie ditemukan. Mereka semua bermain untuk Maggie pada akhir tahun tujuh puluhan…”
“Ya, aku ingat mereka. Pemilik sebuah perkebunan kacang.”
“Benar. Pemain yang luar biasa. Orang-orang yang ramah, pun sebab Maggie tak pernah merubah apa pun, mereka masih mengenal metodenya, gaya permainannya, dan sebagian besar dari anak yang bermain. Tiba hari Jumat, pertandingan pertama di musim itu berlangsung malam hari. Kita menghadapi Abertay, dan saat itu boikot berlangsung. Masalahnya, semua orang menantikan pertandingan itu. Terutama dari para pendukung Maggie yang termasuk mayoritas. Mereka sungguh tidak ingin melewatkan pertandingan itu karena mereka mau tim itu dibantai. Benar-benar dibantai. Para penggemar ada di sana berangkat dari sebuah alasan yang benar. Untuk kejayaan Red Circle. Seperti biasa, tempat itu penuh sesak. Dengan api yang menyala-nyala, mereka saling berteriak ke segala arah. Para pemain juga turut bersemangat. Mereka mempersembahkan pertandingan itu untuk Martin, dan menang dengan skor yang meyakinkan. Malam yang sangat luar biasa. Tapi bisa dianggap sebuah perayaan yang membingungkan. Satu karena Martin, dua karena mengetahui era James Maggie tampak sudah berakhir, tapi tetap saja bahwa menang adalah segalanya.”
“Aku merasa bangku ini sangatlah keras,” kata Nicki sambil bersusah payah mengangkat pinggulnya. “Lebih baik berjalan saja.”
“Di sisi lain, Maggie ternyata menyewa seorang pengacara. Dia mengajukan sebuah gugatan, situasi menjadi sangat kacau, sementara Lawther—dia yang juga punya kekuatan—tetap bertahan, dan kota yang meskipun sudah terpecah, masih kompak datang bersama-sama setiap hari Jumat malam. Kedua tim sama-sama bermain dengan keberanian, bahkan Red Circle tetap mampu membara di tengah kekacauan. Bertahun-tahun setelah itu, seorang bocah yang aku kenal mengatakan sebuah kalimat paling sensasional sepanjang sejarah para pemain Lambeth bahwa rasanya melegakan bisa bermain sepak bola demi kesenangan bermain, bukan karena bermain dengan ketakutan.”
“Seberapa indah kalimat itu?”
“Kita tak pernah tahu.”
“Ya, kita tak pernah tahu.”
“Mereka sangat bagus. Menyapu bersih delapan pertandingan pertama dengan kemenangan. Tak pernah kalah. Tidak ada apa pun selain kebanggaan dan tekad yang luar biasa. Niat yang menggebu untuk meraih gelar juara negara bagian. Niat yang luar biasa untuk menorehkan serangkaian kemenangan baru. Dan niat untuk membayar Rangnick bersaudara sejumlah uang untuk memulai era yang baru. Serta semua omong kosong itu.”
“Dan setelah itu mereka kalah?”
“Jelas saja. Ini sepak bola. Semua serba mungkin. Beberapa tim memiliki mental kultural yang hanya berhenti pada reputasi tim lain saja. Tapi ada tim yang tak pernah memperhitungkan kualitas tim lain, mereka ini adalah tim yang unik, yang bermain tanpa ragu, yang tanpa perhitungan rumit yang bisa saja menganggu mental para pemainnya.”
“Siapa yang melakukan itu?”
“Vernon.”
“Ayolah, jangan sampai Vernon yang melakukannya. Itu cuma sekolah basket.”
“Faktanya memang seperti itu. Mereka melakukannya di sini, di depan lima belas ribu penggemar. Itu adalah pertandingan paling buruk dalam sejarah Red Circle yang pernah aku lihat. Tak ada kebanggaan yang terpancar. Nyali menciut. Lupakan saja soal rangkaian kemenangan. Kubur saja tekad untuk meraih gelar negara bagian. Pecat Rangnick bersaudara. Dan kembalikan tahta itu ke James Maggie segera. Memang situasi bisa dikatakan baik-baik saja ketika kita menang, tapi hanya dengan satu kekalahan saja, itu akan membuat seisi kota akan terpecah belah hingga bertahun-tahun. Kekalahan kembali menimpa mereka pada minggu berikutnya, kita tidak berhasil masuk babak enam belas besar di sistem gugur. Rangnick bersaudar dengan cepat mengundurkan diri.”
“Bocah-bocah itu sangat cerdas.”
“Kita berdua yang pernah bermain untuk Maggie terhimpit di situasi yang serba tengah. Banyak orang yang bertanya, ‘Kau ada di pihak mana?’ Tak boleh ada yang mengatakan netral, harus mengatakan apakah mendukung atau menentang Maggie.”
“Kau sendiri memilih apa?”
“Sejujurnya aku netral, aku ditendangi kedua belah pihak. Sementara kejadian itu berubah menjadi perang kelas. Dari dulu, memang selalu ada kelompok kecil orang yang bersikeras untuk menentang penggunaan uang banyak untuk sepak bola daripada menyisakan uang untuk ilmu pengetahuan dan matematika. Coba bayangkan, kita menggunakan bus sewaan untuk bepergian ke mana-mana. Sedangkan klub bagian akademik terpaksa harus meminta bantuan sukarela dari orang tua mereka masing-masing. Selama beberapa tahun, para gadis harus bersabar untuk tidak bermain baseball karena tidak ada lapangannya. Sedangkan kita mempunyai tidak hanya satu melainkan dua lapangan latihan. Royal Club memenuhi syarat untuk bepergian ke London, sayangnya mereka terkendala dengan masalah biaya. Dan di tahun yang sama, tim sepak bola menggunakan kereta api untuk menonton pertandingan Liga Elite di Newcastle. Nah, yang ingin aku garis bawahi di sini adalah pemecatan Maggie ini menyebabkan beberapa keluhan yang semula kecil terdengar semakin nyaring. Mereka yang ingin mengurangi intensitas perhatian publik pada olahraga, mulai mendapatkan peluang. Sedang di sisi lain, para pecinta sepak bola tetap bersikeras; mereka cuma mau Maggie dan rangkaian kemenangan yang lain. Dan kita ini, yang pernah bermain, kemudian kuliah dan dianggap sedikit berwawasan, kemudian terjebak di tengah situasi itu.”
“Apa yang terjadi setelah itu?”
“Perselisihan itu berlangsung memanas hingga berbulan-bulan. Alex Lawther benar-benar tangguh dengan pendiriannya. Dia menemukan seseorang yang jiwanya sedang tersesat, orang itu berasal dari Norfolk, dan dia ingin melatih. Kemudian Lawther mempekerjakan orang itu sebagai penerus James Maggie. Dan sialnya, tahun 1993 adalah tahun pemilihan ulang bagi Lawther, jadi seluruh kekacuan itu menyusup pada kontestasi politik besar-besaran. Sempat ada isu yang kuat kalau Maggie sendiri akan maju untuk menghadapi Lawther.”
“Maju? Maksudmu, mencalonkan diri?”
“Benar sekali. Dan jika dia terpilih, dia akan menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi pelatih kembali dan mempersetankan seisi dunia. Ada isu juga yang beredar bahwa ayah Martin siap menghabiskan jutaan dolar untuk membuat Alex Lawther bisa terpilih kembali. Dan setelah itu, pertandingan kembali digelar. Pertandingan tersebut sudah memburuk bahkan sebelum dimulai. Begitu buruknya sampai pihak Maggie nyaris tak dapat menemukan kandidat.”
“Dan siapa yang mencalonkan diri?”
“Van Gal.”
“Nama yang terdengar menjanjikan.”
“Ya, nama itu merupakan bagian yang terbaik. Van Gal adalah seorang pengusaha di bidang tanah properti setempat yang dikenal dengan si mulut besar di kalangan pendukung. Dia tak mempunyai pengalaman, tak ada riwayat pendidikan yang menjanjikan, nyaris tidak bisa menyelesaikan college. Cuma satu kelebihan, tak ada vonis yang menimpanya. Dia seperti pecundang yang nyaris menang.”
“Jadi, Lawther bertahan?”
“Ya, menang tujuh puluh suara. Hasil itu adalah yang terbesar sepanjang sejarah kota ini. Presentasinya nyaris menunjukkan angka Sembilan puluh persen lebih. Yang diketahui publik, kejadian itu adalah perang tanpa tawanan. Dan ketika pemenangnya diumumkan, Maggie pulang ke rumah, mengunci pintunya rapat-rapat, dan bersumbunyi di dalamnya hingga dua tahun.”