6 - Lebih Dekat dengan Camer

1643 Kata
Pesan dari sebuah nomor asing dibaca Faira sekilas. Ia mempercepat langkah melewati koridor, agar segera tiba di lantai dasar. Tidak jarang, Faira bahkan berlari-lari kecil menuruni anakan tangga. Abaikan beberapa sapaan dari para pria yang hanya ingin mendekatinya. Tiba di halaman depan, Faira langsung mengenali dengan mudah sesosok pria berjaket kulit hitam sebagai orang yang ia cari. Apalagi, keberadaan Adin yang mengobrol dengan pria itu semakin memperjelas bahwa Faira sudah memilih pria yang benar. Sambutan seperti biasa didapatkan oleh Faira; tatap takjub dengan mulut setengah terbuka. Lawan bicara Faira itu bahkan hampir tidak pernah berkedip seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu berlalu tanpa melihat Faira. “Darren!” pekik Adin sembari menarik lengan pria asing itu dengan kasar. Meski sudah biasa dengan tatap seperti itu, Faira tetap menunjukkan gelagat tidak nyaman ketika ia memperbaiki letak tas selempangnya. Senyumnya berubah kaku ketika ia diberikan senyum oleh pria asing itu. “Ini Faira, yang aku ceritain kemarin. Dia yang kemarin kuajak nonton balapan, dan tertarik banget buat gabung ke geng kalian. Boleh, Dar?” tanya Adin dengan tugasnya; mewakili Faira dalam berbagai hal. Namun, Adin tidak mengatakan alasan aslinya sesuai keperluan Faira. Seperti yang disepakati mereka sebelumnya, bahwa Steve tidak boleh mengetahui perjodohan yang direncanakan papanya, atau pasti Faira ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Karena kebanyakan pria mandiri tentu tidak suka diatur oleh papanya sendiri, apalagi dalam masalah asmara. “Boleh banget. Boleh.” Darren sangat bersemangat ketika mengiyakan keinginan Faira. “Lo bisa naik motor?” Faira menggeleng lemah, kemudian menunduk selama beberapa saat. Ketika ia kembali menengadah, rambutnya diselipkan ke belakang telinga agar rambut-rambutnya tidak menutupi wajahnya yang sempurna. Darren tampak memejam perlahan selama beberapa saat. Tidak butuh waktu lama, ia kembali membuka mata dengan senyum lebarnya. “Nggak papa. Biar gue yang ajarin lo naik motor. Motivasi lo gabung buat ikutan balapan kek gitu, ‘kan?” Pertanyaan Darren langsung ditolak oleh Faira dengan gelengan kasar. Matanya melotot sempurna, menunjukkan keterkejutan kentara. Ia jelas tidak akan mau ikut permainan berbahaya seperti itu. Jangankan balapan, belajar naik motor saja hanya pernah dicoba sekali oleh Faira. Setelah ia jatuh dan mendapati luka di kulit yang susah payah ia rawat, perempuan itu akhirnya kapok untuk mencoba hal-hal berbahaya seperti naik motor sendiri. “Nggak. Aku ... takut naik motor sendiri,” jawab Faira memperjelas penolakannya. “Aku cuman tertarik gabung karena ... kalian keren aja gitu. Kalau aku minta diboncengin, kayak makin ... hebat banget gitu. Yang kayak aku ... masih boleh gabung, ‘kan?” Di akhir kalimat, Faira bertanya dengan nada hati-hati. Darren mengangguk pelan. “Sebenarnya, susah sih, Faira, soalnya yang masuk klub kita itu cuman yang mau dan bisa naik mot—” Pria itu tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika Faira mengerutkan kening kecewa, dengan pandangannya yang turun menatap ke bawah. Tampak, semangat gadis itu segera hilang, sehingga Darren langsung merasa tidak nyaman. “Tapi kalau lo ... nanti gue usahain deh. Gue boleh minta nomor lo buat kontak lo kalau udah diterima?” Faira sedikit terhibur dengan secuil harapan yang Darren berikan. Ia menerima ponsel yang Darren sodorkan untuk mengetikkan nomornya di sana. “Oke ... aku kasih nama Faira Sarry, ya?” tanya Faira meminta izin. “Nggak usah. Biar gue yang namain,” balas Darren segera. Ia menarik ponselnya, setelah yakin Faira sudah selesai mengetik nomornya. Begitu telaten, Darren ikut mengetik di atas layar, lalu ... menunjukkannya pada Faira. Dewi Faira. “Nama aku nggak ada unsur ‘dewi’-nya, Darren ....” Faira menegur, dengan nada marah yang dibuat manja. “Soalnya kecantikan lo kelewatan banget, ngalahin pada dewi.” Jika Darren malah tersenyum dengan ucapan Faira, Adin yang sedari tadi menyimak obrolan mereka tidak bisa menahan diri untuk menunjukkan gelagat mual. Bahkan, suara ‘huek’-nya sengaja ia perbesar agar dua sejoli yang baru berkenalan itu tahu betapa menjijikkannya obrolan mereka sekarang ini. “Udah, Darren! Kamu pergi sana! Asam lambung aku rasanya bergejolak banget liat kalian berdua!” ucap Adin, kemudian mendorong-dorong Darren dengan setengah kasar. Darren berjalan mundur, seolah tidak ingin melepaskan pandangannya sedikit pun dari Faira. Ketika pria itu melambai, Faira juga mengangkat tangannya untuk memberikan ‘dadah’ anggunnya. Adin segera menyenggol Faira agar interaksi konyol mereka terhenti. “Kamu jangan ngasih harapan ke Darren, Fai. Kalau dia suka kamu, dia bisa kecewa dan marah banget setelah tahu kamu manfaatin dia supaya deket sama si Steve. Kasihan. Perasaan anak orang jangan kamu mainin.” “Ya elah, Din. Yakali orang sejenis Darren bukan playboy. Aku beberapa kali pacaran sama cowok, kenal banget karakter mereka. Kalau sejenis Darren ini, aku jamin, dia pemain perempuan banget,” ucap Faira. Keduanya mulai melangkah. “Kamu juga, katanya nyari Steve dari pencarian orang hilang. Kok bisa kenalan sama temennya Steve?” “Oh, Darren itu aku kenal pas masih SMA, waktu olimpiade. Gila, dia udah keren, pinter banget lagi. Cuman sayang, aku masih lebih pinter dari dia.” “Gembleng!” hardik Faira. Namun, ia tertawa beberapa saat kemudian. Mereka harus berpisah, karena Faira memilih menunggu depan gerbang, sementara Adin harus mengambil mobilnya terlebih dahulu. Sembari menunggu, bukan sesuatu yang aneh jika beberapa kali Faira ditawari tumpangan oleh mahasiswa lainnya. Namun, dengan tegas ditolak oleh Faira meski dari beberapa kendaraan yang ditawarkan itu adalah mobil sport mewah. Toh yang ia kejar saat ini jauh lebih kaya daripada mereka semua. Namun, ketika penolakan kelima, mobil di depan Faira tidak langsung pergi. “Mau pulang sama saya, Faira?” Ditawari pertanyaan seperti itu setelah jendela mobil turun, langsung membuat Faira membulatkan mulutnya selebar mungkin. Ia ditawari oleh Anton Pramono! s**t! Faira bahkan tidak menyadari asal kedatangan mobil itu. “Om emangnya nggak kerja?” tanya Faira dengan suara selembut mungkin, usai menetralkan keterkejutannya. “Sudah pulang,” jawab Anton. “Mau naik?” Sekali lagi, pria itu mengutarakan tawarannya. Faira menoleh ke belakang sebentar, dan tidak mendapati keberadaan Adin yang entah mengapa begitu terlambat mengeluarkan mobil. Jadi, Faira sama sekali tidak punya alasan untuk menolak si calon mertua. Sekaligus, Faira akan memamerkan kehebatannya menemukan Steve, sehingga Anton akan semakin mempercayai dirinya. Sebelum melangkah, Faira menyempatkan untuk mengangguk dua kali. Senyumnya tercetak lebar setelah duduk di kursi mobil Anton. Beruntungnya, ini tampak seperti mobil biasa entah merek apa, sehingga Faira sama sekali tidak kebingungan ketika membuka pintunya. Setelah mengenakan sabuk pengaman, mobil mulai berjalan dengan kecepatan standar. “Om pecinta klasik, ya?” tanya Faira, sekadar untuk menghilangkan keheningan di antara mereka. “Lihat umur dong, Faira.” Anton menjawab, diiringi kekehan ringannya. Seperti membaca maksud Faira, sehingga ia turut membantu mencairkan suasana. “Om masih muda, tau. Lebih muda 2 bulanan dari ayah saya.” Anton langsung tertawa mendengar itu. “Mana bisa kelihatan jelas perbedaannya kalau gitu, Faira .... Kamu beneran mirip Ayah kamu yang receh, tapi seger banget leluconnya.” Faira tersenyum tipis. “Tapi, Om. Kalau di sosial media, ya. Yang berumur pun masih suka ngoleksi Lambo, Ferrari ....” “Tergantung juga, sih, Faira. Kalau emang hobi, ya terserah mereka. Kalau mau pamer ... bukan urusan kita. Saya nggak pernah suka perhatiin gaya orang lain, makanya sampai sekarang, saya belum pernah ganti mobil sejak mendiang istri saya meninggal. Apalagi mobil ini banyak sekali kenangannya dengan istri saya dan Tyler.” “Tapi, bukannya kalau makin dipake, makin rusak ya, Om? Nggak sayang, gitu? Bagusnya ‘kan, mobilnya disimpen aja, disayang-sayang.” “Saya nggak ada waktu untuk dibuang-buang dengan merawat mobil yang nggak dipake, Faira. Jadi, sambilin dipake, sambilin dirawat juga. Kalau cuman disimpen, bisa-bisa saya lupain, dan mobilnya jadi nggak dirawat. Lagian, mobil terlalu mahal buat saya beli lagi.” “Ma-hal? Om tahu apa masalah mahal?” Faira sedikit terkekeh atas ucapan lawan bicaranya itu. Ia tetap harus mempertahankan keanggunannya saat di samping calon mertua. “Ya, tahu dong, Faira. Kalau mobil, mahalnya di awal aja. Makin lama, apalagi kalau bekas, makin murah harganya. Sayang banget, Faira. Apalagi koleksi mobil sport kayak yang kamu bilang. Satu-dua M itu bisa bangun cabang perusahaan lagi, loh. Bisa buka lapangan pekerjaan baru lagi, dan bisa menolong banyak orang lain.” Anton menoleh sejenak pada Faira yang mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. “Plus, nambah nilai saldo lagi.” “Untung banget ternyata, ya, Om?” “Iyaps. Kamu sebaiknya perbanyak belajar masalah kayak gini; atur keuangan. Om ragu, Tyler bisa atur uangnya sendiri.” Faira langsung bersemangat saat calon husbu-nya itu disebut. “Eh, Om, aku udah tahu di mana Tyler sekarang.” “Oh, beneran? Cepet banget kamu dapat infonya.” Faira membusungkan d**a penuh kebanggaan selama beberapa saat. “Faira dong .... Om nggak usah khawatir kalau ngasih tugas ke aku. Pasti bisa aku selesaiin.” Penuh percaya diri, Faira mempromosikan dirinya. “Tyler ikutan balap liar, Om. Ya ... sekarang aku tahu sih, kenapa dia nggak pernah ambil uang dari Om. Bayarannya sekali menang aja 50 jutaan.” “Kamu tahu nama penyelenggaranya?” tanya Anton, yang tidak termasuk dari bagian penjelasan Faira. “Kalau nggak salah, ini itu balap taruhan, Om. Jadi tim yang kalah itu yang patungan buat ngasih uang hadiahnya,” jelas Faira. “Sayang banget kalau gitu.” “Kenapa emangnya, Om?” “Kalau pakai penyelenggara, seenggaknya saya bisa minta buat hentikan balapan sejenis itu. Tapi kalau taruhan, lumayan susah. Karena fokusnya ke gengsi.” Faira memuji cara halus Anton yang menyebut ‘minta’, padahal sangat yakin, pria dewasa ini tidak hanya meminta. Pasti ada uang sogokan. “Tenang aja, Om. Aku lagi usaha buat nyusup ke klubnya Tyler. Jadi, semoga keterima, biar aku bisa ngasih banyak informasi ke Om juga.” “Apa itu nggak bahaya, Faira?” “Tenang aja, Om. Om nggak perlu khawatir sama keadaan aku. Pasti ... aku bakalan bawa Tyler kembali sama keluarga Om.” “Terima kasih, Faira.” Anton terdengar begitu tulus mengatakan itu. “Jadi, saya punya hadiah kecil untuk informasi kamu tadi.” Hadiah kecil? Faira sangat antusias mendengarnya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN