7 - Hadiah Kecil

1585 Kata
Hadiah kecil yang Anton sebutkan terhitung sebagai hadiah gila bagi Faira. Ia dibawa masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai macam barang branded dari sepatu, tas, pakaian, aksesoris, hingga produk kecantikan. “Kamu bisa pilih apa pun ... dari tempat ini.” Itu adalah salah satu kalimat menakjubkan dari Anton, yang membuat Faira langsung menjatuhkan rahang bawahnya untuk membiarkan mulutnya membulat kaget. “Baru aja tadi Om bilang kalau buang-buang uang untuk sekadar hobi itu mubazir banget, bisa bangun bisnis lain.” Faira susah payah menahan dirinya untuk tidak langsung menyerbu semua store khusus untuk perempuan. Ia tidak boleh terlihat matre, meski itu adalah kenyataannya. Sebagai gantinya, Faira meremas sisi pakaiannya bagian samping dengan sangat kuat. “Ini bukan pakai uang untuk usaha, kok. Uang yang saya pake adalah uang yang saya berikan ke Tyler, tetapi dia nggak pake selama beberapa tahun.” “Gimana kalau Tyler ternyata butuh uangnya suatu saat nanti?” Faira memberikan sanggahan, sementara dalam dadanya sudah bergemuruh kuat ingin segera mengumpulkan semua pakaian lucu nan feminim di salah satu bagian toko. “Kamu sendiri tadi bilang kalau dia hampir nggak perlu butuh uang dari saya lagi,” jawab Anton. Faira sudah dapat lampu hijau. Ia sudah bisa berlari, memuaskan hasratnya, sudah bisa memenuhi laparnya akan gaun-gaun indah yang terpajang. Tetapi ... dirinya tidak boleh terlihat murahan dengan begitu mudahnya. Jadi, ia memilih tersenyum dengan kepala menunduk, agar terhindar dari semua godaan barang-barang indah di sekitarnya. “Nggak perlu berlebihan, Om. Aku bantu Om nyari Tyler itu beneran murni tulus buat bantu Om aja,” ujar Faira, lalu menggigit bibir bawahnya dengan kuat ketika dorongan untuk memiliki semua gaun-gaun indah itu semakin sulit ditahan. “Memberikan kamu hadiah ini juga nggak berlebihan, Faira. C'mon, Ayah kamu suka ngeluh kamu belanja setiap hari. Nggak perlu malu, karena kamu juga bakalan kayak gini setiap hari setelah menikah dengan Tyler.” “Itu belanja barang promo, Om. Aku biasanya belanja barang yang diskonan, biar hemat, pake voucher. Beneran ini, mata murahan saya nggak biasa lihat barang-barang branded.” “Makanya itu, dari sekarang latihan milah-milih barang branded. Setelah kamu nikah sama Tyler, kamu bakalan ketemu sama perempuan-perempuan pecinta barang mewah. Jadi, kamu bisa imbangi mereka. Sudah, nggak perlu gengsi malu atau sejenisnya. Sana! Belanja! Biar ayah kamu juga nggak perlu takut, karena saya akan jaga putrinya dengan baik.” Faira masih ragu, tetapi kemudian, ia mengangguk memenuhi arahan dari Anton. Ia mulai berjalan ragu ke deretan pakaian yang terpajang pada manekin. “Pramuniaga bakalan layani kamu. Nggak perlu segan, oke? Kalau perlu apa pun, bilang saja ke mereka. Saya tunggu di sana,” ucap Anton. “Iya, Om.” Faira mengecilkan suaranya. “Terima kasih.” * “Kalau kamu datang ke sini, nggak perlu sungkan lagi. Pemilik toko ini teman saya, dan kamu juga sudah dilihat sama pramuniaga, jadi, kalau datang ke sini, kamu bisa ambil apa pun yang kamu mau. Nggak perlu segan, oke? Uang Tyler di saya masih tersisa banyak. Bagusnya kamu aja yang habisin uangnya.” Faira sungguh kesulitan menghilangkan suara tersebut dari kepalanya. Ucapan Anton terus terngiang sejak ia turun dari mobil, hingga di kamarnya. Gadis itu bahkan langsung mandi, membersihkan seluruh celah di setiap inchi tubuhnya, lalu mulai mencoba beberapa barang yang ia beli tadi. Hanya beberapa, karena Faira masih harus menjaga martabat dirinya, dan tidak boleh tamak. Padahal ... terlalu banyak gaun, kalung, sepatu, dan tas yang ingin ia beli. Setidaknya, satu-satu dari setiap kategori barang-barang tadi. Namun pada akhirnya, hanya terpilih dua dress yang total harganya setara delapan kali dari ponsel Faira, dan sebuah tas tangan mungil warna hitam yang lebih mahal lagi dari harga gaun. Namun, tidak masalah. Ini saja ... Faira sudah kejang-kejang memakainya. Dress selutut dengan bahan kaku warna hitam menjadi yang pertama dikenalkan oleh Faira. Dengan kancing berukuran besar dari atas, hingga ujung bawah; tali pundak kecil. Cocok untuk acara formal. Lalu, dress V neck selutut, dengan lengan balon setengah lengan. Dengan bahan lembut yang jatuh, Faira sangat suka berputar untuk melihat bagaimana gaun ini melebar karena angin. Berwarna putih, dengan motif bunga-bunga warna merah yang semakin ke bawah, semakin banyak motifnya. Tali di pinggang diikat, untuk menunjukkan betapa kecil pinggangnya. Merasa tidak cukup, Faira mengambil ponselnya. Memotret puluhan kali dirinya dengan tas yang dibeli tadi, lalu di-upload ke story i********:, dengan hashtag #bareface, agar semua orang tahu betapa indah, dan betapa sempurnanya ia walau baru saja selesai membersihkan diri. Faira duduk di pinggir tempat tidurnya. Mengecek beberapa penambahan followers-nya, kemudian menyunggingkan senyum tipis. Masih jauh dari target. Pindah ke aplikasi perpesanan, Faira takjub dengan 114 pesan dari Adin. Faira merutuk diri sendiri yang terlalu nyaman mengobrol bersama Anton, hingga lupa mengabari sahabatnya itu. Namun, bukannya memberi kabar pada Adin, Faira malah memilih membuka pesan di bawah nama Adin, karena berasal dari nomor asing. +62 812 4375 *** [Faira, ni Darren] [Gw mo ngabarin, klw lo udh dtrima msuk k sni. Bsk gw jmput jm 3] Faira membalas pesan itu terlebih dahulu dengan pengiyaan, serta ucapan terima kasih, lalu menyimpan nomor Darren. Sekarang, adalah meminta maaf pada Adin. Entah permohonan jenis apa yang bisa meluluhkan hati sahabatnya itu sekarang ini. * Faira segera keluar dari rumahnya setelah mendengar suara motor berhenti depan rumahnya. Ia menyampirkan tas di pundak, lalu keluar dari rumahnya. Tidak lupa mengunci pintu, lalu kemudian dimasukkan ke dalam tas. Gadis itu segera menghampiri pemilik motor gede warna merah tersebut. “Lo beneran mau gabung ke klub kita pake ... dress secantik itu?” tanya Darren usai mengangkat kaca helm-nya. “Ada yang salah?” tanya Faira, dengan matanya yang mengedip polos. Ini dress santai yang ia beli kemarin, paling pantas untuk dibawa menemui Steve daripada pakaian-pakaian murahan Faira. “Nggak. Cuman, itu lebih cocok dipakai kalau kita kencan aja. Apalagi nih,” Darren memukul body motornya sekali, “senada banget sama motor gue.” Faira tidak menyadari itu. Ia tersenyum kaku, ketika penyesalannya muncul. Seharusnya ia mengenakan dress hitam kemarin agar senada dengan motor Steve! “A—aku ganti baju dulu!” “Nggak perlu, Faira. Ini udah telat banget. Gue mesti latihan sama anak-anak lain. Udah, sini, naik! Gue boncengin!” seru Darren. Jadilah, Faira tidak bisa menolak pria itu. Ia menaikkan kaki kirinya terlebih dahulu untuk menjadi topangan tubuhnya ketika kaki kanannya melewati body motor, hingga menemukan penyangga sebelah kanan. Faira berpegangan pada pundak Darren pada awalnya, meski ia tahu, seharusnya ia ikut merunduk mengikuti posisi Darren dan memeluk pria ini. “Jangan cepet-cepet, ya?” ucap Faira ketika Darren sudah menurunkan kaca helm-nya. Pria itu sontak menoleh. “Lo beneran mau gabung, Faira? Ya kali pembalap tapi nggak cepet.” “Ini ‘kan baru pertama kali. Nanti kalau aku udah biasa, kamu bisa pake kecepatan berapa pun.” Faira menjawab dengan yakin, karena tahu dengan pasti, selanjutnya ia tidak akan naik motor pria ini lagi. Faira bertekad untuk membuat Steve yang mengantarnya pulang-pergi. “Oke kalau gitu. Tapi lo yang mesti laporan ke bos gue karena udah terlambat sampe ke basecamp.” Faira mengangguk yakin, sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Motor bergerak, pegangan Faira semakin kuat di pundak Darren. Sedikit menyesal, karena ia tidak mengenakan helm. Rambut yang sudah ia tata sedemikian rupa sekarang pasti berantakan karena angin yang menerpa wajahnya selama perjalanan. Sehingga, ketika ia turun dari motor sesampainya di halaman sebuah rumah, Faira langsung memperbaiki rambutnya. Ia sisir lembut menggunakan jari tangan, dan kadang dililitkan pada jemarinya agar tetap memberikan kesan bergelombang. “Bro, sori telat. Soalnya gue bawa ....” Mendengar suara Darren yang kini telah berdiri di depan pintu dengan dihadang seorang pria, Faira langsung memperbaiki sikapnya. Ia berlari-lari kecil menghampiri Darren untuk berdiri di sampingnya. Matanya kembali membulat kaget setelah melihat Steve lah yang kini berdiri di hadapan mereka. “Dia yang lo maksud?” tanya Steve, yang berhasil membuat kaki-kaki Faira lemas seketika. Suaranya benar-benar maskulin. “Di sini bukan tempat buat belajar model. Suruh pulang! Tipe kek gini, disenggol dikit langsung nangis.” “Ah-eh, n-nggak kok, nggak.” Faira mengelak tegas atas tuduhan Steve. “A—aku nggak cengeng.” Steve mengangkat sebelah alisnya, meragukan dengan kentara ucapan Faira barusan. Decak kerasnya terdengar kesal, sehingga Faira sedikit memundurkan tubuhnya untuk berlindung di belakang Darren. “Gue nggak suka kalau di tempat gue ada beban. Lo usir dia, Darren! Atau lo mau ngasih dia jaminan nggak bakalan ngeganggu di sini, pakai status lo?” Sesaat, Darren tampak kebingungan. Ia menoleh pada Faira, yang tampak sangat lugu ketika mengerutkan alis penuh pengharapan. Ia bahkan selalu gagal menolak permintaan gadis ini. Sehingga, Darren memulai dengan embusan napas panjang, sebelum memberikan satu anggukannya. Diperjelas dengan ucapannya. “Oke. Gue bakalan tanggungjawab.” Steve mengangkat kedua bahunya, tidak ingin peduli lagi pada sahabatnya jika memang itu keputusan bulat dari Darren. Ia melangkah melewati keduanya, tidak lupa memberikan pesan. “Latihan sekarang. Lusa lo tanding.” Darren berbalik pada Faira. Ia menyentuh kedua pundak gadis itu, agar fokus Faira yang semula tertuju pada punggung Steve, kini beralih padanya. “Lo lihat sendiri respon dia gimana, ‘kan? Jadi, jangan pernah bikin masalah di sini, oke? Mendingan diem-diem aja, lihatin kami latihan,” ucap Darren. “Oke,” jawab Faira, tidak lupa menunjukkan senyum tipisnya sehingga Darren langsung luluh. Pria itu mengusap rambut Faira terlebih dahulu, lalu menggenggamnya mengikuti jejak Steve tadi. Faira sontak melotot karena pria ini terlalu mengambil kesempatan untuk berdekatan, sementara Faira seharusnya menjaga sikap untuk jauh dari pria-pria lain agar Steve tidak meragukannya. Sekarang, bagaimana jika ketakutan Adin menjadi kenyataan? *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN