8. DAISY

1669 Kata
Pagi itu obrolan hangat menemani sarapan mereka, keluarga Pak Wanto berulang kali mengucapkan terima kasih pada Azka yang telah berhasil membantu proses persalinan salah satu warga dengan selamat. Tak hanya itu, Pak Wanto juga mengucapkan syukur karena kehadiran dokter muda itu telah memberikan sumbangsih pada perubahan warga untuk lebih menjaga kebersihan dan kesehatan dengan baik. Kehadiran Azka seperti oase di dusun terpencil dan terisolasi tersebut. "Tidak terasa ya sebentar lagi Mas Dokter sudah harus balik ke kota, kami benar-benar berterimakasih karena Mas Dokter rela dan ikhlas membantu kami," ucap Joko dengan nada sedih. Kehadiran Azka membuatnya merasa memiliki seorang saudara yang tidak pernah ia rasakan. Joko memang anak tunggal dari pasangan suami istri Pak Wanto dan Bu Narti. Tapi bukan berarti ia merasa kecewa karena tidak memiliki saudara. Ia sangat bersyukur memiliki kedua orang tua yang memberikan seluruh perhatian dan kasih sayang padanya. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Justru saya yang harus berterima kasih karena bisa diterima di dalam keluarga dan warga di sini dengan sangat baik. Selama saya tinggal di sini saya mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga yang tidak akan mungkin saya lupakan. Bagi saya waktu 1,5 bulan ini tidak lah lama. Andai masih memiliki waktu saya pasti akan tinggal lebih lama lagi tapi karena suatu hal yang harus saya capai demi membahagiakan kedua orang tua saya maka saya wajib melaksanakannya," terang Azka dengan ramah. "Orang tua Mas Dokter pasti sangat bangga memiliki putra seperti Mas Dokter," sambung Bu Narti dengan netra berkaca-kaca. Tak butuh waktu lama Bu Narti mengenal sosok dokter muda bernetra hazel itu tetapi rasa sayang sebagai ibu secara naluriah ia berikan pada pria itu. Apalagi Joko putranya sendiri terlihat begitu akrab dengan dokter muda tersebut. Obrolan terus bersambung tanpa ada yang menyadari jika ada hati yang tengah berduka. Hati milik seorang gadis belia yang telah berhutang nyawa kepada dokter yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian seluruh orang yang sedang berada di sana. Perlahan tapi pasti hatinya bergerimis bahkan gadis itu tak tahu mengapa hatinya begitu sedih mendengarkan perbincangan empat orang dewasa di hadapannya. Seolah hatinya hendak dicabut dari rongganya. Tiba-tiba hati Azka terasa berdenyut nyeri kembali saat tanpa sengaja melihat kesedihan yang terpancar dari sepasang iris hitam legam yang tengah menatapnya. Netral mereka beradu seperkian detik sebelum Azka menanggapi ucapan Bu Narti yang sekaligus menjadi jawaban atas keresahan hati Anisa. "Bu Narti bisa saja. Sebagai anak kewajiban saya saat ini adalah berbakti kepada kedua orang tua," jawab Azka dengan tergelak karena merasa ucapan satu keluarga tersebut memujinya secara berlebihan. "Oya saya juga meminta izin membawa Anisa pergi sekalian karena ia harus segera mendapatkan pemeriksaan atas cidera yang dialaminya. Insyaallah saya akan menolong Anisa hingga sembuh dan menemukan keluarganya kembali," sambung Azka yang langsung disetujui oleh satu keluarga tersebut. Bagi mereka menyerahkan tanggung jawab gadis amnesia tersebut pada Azka adalah keputusan terbaik agar Anisa segera mendapatkan penanganan medis. Anisa menatap Azka tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seperti cenayang Azka bisa menebak dan menjawab kegelisahan hati gadis tersebut. Kalau boleh jujur Anisa sangat takut jika harus tinggal selamanya di dusun terpencil tersebut. Ikut ke kota bersama Azka adalah pilihan terbaik baginya untuk saat ini. Tanpa sedikit pun ragu Anisa menyakini jika Azka adalah pria yang baik. "Terima kasih untuk semuanya," lirih Anisa dengan netra berbinar. Setelah menyelesaikan sarapan, Anisa membantu Bu Narti membereskan meja serta membersihkan semua peralatan dapur, piring dan gelas kotor. Sedangkan Azka dan Joko membantu Pak Wanto ke kebun untuk memeriksa sayuran yang telah mereka tanam beberapa waktu lalu. *** "Suka, nggak, suka, nggak, suka, nggak." Kata retoris itu terus terucap dari bibir seorang gadis yang tengah mencoba mencari jati dirinya yang hilang bersama kecelakaan yang menimpanya. Gadis itu tengah duduk di atas rerumputan dengan tangan kiri menggenggam setangkai bunga, ujung jemari kirinya tengah memegang kelopak bunga berwarna putih tersebut. Bunga cantik bernama daisy tersebut merupakan bunga yang melambangkan sebuah cinta yang diam-diam. Mungkin itulah yang saat ini Anisa rasakan, mencintai dokter tampan yang telah menyelamatkan hidupnya secara diam-diam. Bahkan Anisa sendiri tidak memahami hatinya yang mendadak memiliki rasa tersebut hanya dalam kurun waktu yang singkat. Tepatnya seminggu yang lalu ia mengenal Azka tapi entah mengapa ia merasa hatinya begitu terikat pada pria bernetra hazel tersebut. Lalu anggapan bahwa bunga daisy dianggap sebagai lambang kesetiaan, kelembutan, dan kesucian sepertinya tidak akan mewakili perasaan Anisa. Pasalnya Anisa tahu dari semua orang bahwa Azka sudah memiliki seorang calon istri. "Suka," lanjut Anisa pada kelopak terakhir bunga daisy yang berada dalam genggamannya. Namun dengan cepat Anisa menggelengkan kepala mencoba mengusir kerancuan otak dan hatinya yang seolah telah berkonspirasi untuk menentang segala kenyataan yang ada. Dari kejauhan Azka yang tanpa sengaja melihat Anisa segera mendekatinya. "Jangan suka melamun!" sapa Azka seraya mengambil posisi duduk di sebelah Anisa. "Eh Mas Dokter kok tiba-tiba di sini?" jawab Anisa lalu segera membuang bunga dalam genggamannya. "Ya karena kamu asyik melamun makanya kamu sampai tak menyadari kehadiran saya," kekeh Azka seraya menoleh menatap sekilas pada gadis yang tengah mati-matian mencoba debaran jantungnya. Anisa mengulas senyuman sebagai balasan ucapan pria di sampingnya. "Terima kasih Mas karena mau membawa saya pergi dari sini!" ucap Anisa sembari kembali menatap hamparan hijau di hadapannya. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih, semua ini saya lakukan hanya karena rasa kemanusiaan. Bukankah sebagai makhluk sosial kita harus saling menolong." Ucapan Azka sukses membuat hati Anisa hancur berkeping-keping. "Semua yang ada di sini cantik seperti gadis belia yang saat di samping saya." Azka menyerahkan setangkai bunga daisy berwarna pink yang ia petik tak jauh darinya. "Terima kasih," jawab Anisa lirih seraya menerima bunga tersebut tanpa ingin sedikit pun menatap pria yang sedari tadi menjadi alasan konflik dalam batinnya. Gadis itu tengah berusaha menyembunyikan pipinya yang bersemu merah. Kepingan hati yang tadinya sudah pecah berkeping-keping seolah kembali menyatu hanya karena ucapan yang Anisa sadari hanya sebagai pelipur lara. "Lihatlah Anisa, bukankah di sini sangat indah!" Azka berucap sembari mengedarkan pandangannya pada warna-warni ratusan bunga daisy yang tumbuh secara liar di sekelilingnya. Senyuman terkembang di sudut bibir Anisa sembari tangannya menyisir ujung bunga-bunga yang berada di sekitarnya. Ucapan Azka benar, mereka seolah berada di tengah-tengah taman bunga daisy saat ini. Terlihat para hewan bersayap indah penikmat sari bunga tengah berebut makanan. Tak sedikit pula lebah madu dan kumbang berhasil mengusir hewan bersayap indah tersebut untuk pergi. Azka turut tersenyum mengikuti arah tatapan Anisa yang tengah memperhatikan kupu-kupu yang tengah berterbangan. Terik mentari yang mulai menggelincir di Ufuk Barat pun hanya mampu mengintip dari celah dedaunan pohon yang saat ini menjadi tempat kedua insan tersebut berteduh. "Oya, kamu nggak keberatan kan kalau misalkan nanti setelah kita sampai di kota harus tinggal bersama keluarga saya? Yah hingga saya bisa menemukan keluarga kamu. Syukur-syukur klo ingatan kamu segera pulih!" ucap Azka memecah kesunyian yang telah berhasil bertahta di antara mereka selama beberapa menit berlalu. Masih dengan tersenyum Anisa menatap lekat wajah Azka. "Tentu saja tidak Mas, tapi..." Anisa terbata saat hendak menyinggung tentang calon istri Azka. Pria itu menatap Anisa penuh khawatir jika gadis itu keberatan. "Aku takut membuat calon istri Mas Dokter marah," jujur Anisa yang akhirnya mampu terlontar dari bibirnya. Tanpa Anisa duga Azka justru tergelak seolah mendengar lelucon konyol darinya. "Kamu tenang saja. Calon istrinya saya itu orangnya unik. Biar saya jutekin bagaimana pun dia tidak akan pernah marah," balas Azka di sela sisa tawanya. Lalu pandangannya menerawang membayangkan wajah gadis berpipi chubby yang akhir-akhirnya ini telah mengusik ketenangan dan memporak-porandakan ketetapan hatinya. Mendengar jawaban Azka membuat hati Anisa kembali nelangsa. Meratapi kisah cintanya yang kandas bahkan sebelum diutarakan. Anisa menatap lekat Azka yang terlihat begitu bahagia saat membicarakan calon istrinya. "Oya, saya ingin menanyakan sesuatu padamu!" jeda Azka seraya berpindah posisi menghadap Anisa. "Tiga hari lalu waktu kita membantu persalinan Mbak Ratih kenapa kamu bisa pingsan?" "Nggak tahu, tiba-tiba aja kepala saya sakit lalu gelap semua," aku Anisa dengan ragu. Sebenarnya Anisa seperti melihat sekelebat bayangan seorang pria berkulit putih dengan tubuh tegap, bermata sedikit sipit tapi wajahnya begitu tampan tengah merangkul seorang pria yang wajahnya tak bisa Anisa deskripsikan karena saat wajah pria itu hampir saja terlihat ia telah tersadar dan dokter tampan di hadapannya saat inilah orang pertama kali tertangkap oleh indera penglihatannya. "Mas saya mau jujur dengan perasaan saya." Anisa memberanikan diri mengungkapkan rasa yang ia miliki pada Azka. Anisa tak peduli jika setelah ini pria itu akan bersikap berbeda karena kelancangannya. "Saya menyukai dokter." Seketika tubuh Azka membeku, sepasang iris hazel itu menatap ke dalam manik hitam legam milik Anisa untuk mencari kesungguhan atas ucapan gadis amnesia tersebut. "Mas Dokter nggak perlu menjawab, saya tahu Mas Dokter sudah memiliki calon istri. Saya hanya ingin mengatakan dengan jujur apa yang saya rasakan," sambung Anisa sebelum Azka berbicara untuk mematahkan keberaniannya. Ia hanya ingin mengeluarkan beban di hatinya, ia sangat sadar jika Azka membalas cintanya adalah suatu kemustahilan. "Saya permisi!" Anisa segera bangkit dari tempat duduknya lalu meninggalkan Azka yang masing membeku seraya menatap kepergiannya. Azka menghela napas panjang sebelum bangkit dari tempat duduknya. Tampak bahu gadis itu bergetar, Azka tahu Anisa tengah menangis. Semua karena ulahnya, seandainya Azka tidak pernah memberikan perhatian berlebih pasti gadis itu tidak akan salah mengartikan perasaannya. Lagi, rasa nyeri menghantam dadanya dengan keras lalu tanpa menghiraukan rasa nyeri tersebut Azka mengejar Anisa. "Jangan menangis please. Saya paling tidak mampu melihat seorang gadis menangis karena saya," bisik Azka seraya mengusap puncak kepala Anisa yang kini telah berada dalam pelukannya. ________________&&&_________________ Maaf ya kemarin benar-benar repot sampai nggak sempat nulis dan update. Semoga part ini bisa mengobati rasa rindu kalian pada dokter seksi Azka kwkwkwkwkw Dan terima kasih untuk suportnya karena berkat kalian cerita ini lolos. Do'akan kontrak segera turun dan bisa update setiap hari. Aku ingatkan lagi ya jadwal update 3 cerita on-going di bulan April 2021. 1. My Sexy Doctor : Senin-Selasa 2. Night With(out) You : Rabu-Kamis 3. Second Marriage : Jumat/Sabtu Jangan lupa follow and tap love.Oya insyallah 3 cerita ini akan aku update secara gratis hingga tamat. Kecuali sistem yang mengunci. Komentar kalian adalah mood booster aku untuk menulis. Jadi jangan sungkan-sungkan meninggalkan jejak pada setiap part yang aku update. Thanks you for my beloved readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN