Sudah tiga hari berjalan. Sean merasakan perbedaan Hara setelah ia memecahkan sebuah kehormatannya. T
Istrinya menjadi tidak banyak bertanya, cerewet atau pun melakukan kesalahan lagi.
Beberapa hari terakhir, Hara benar-benar berperan dengan kemauannya. Normal tanpa kata-kata, bahkan ia lebih cuek dengan keadaan. Semua itu karena ketakutannya, takut akan perbuatan yang sama yang dilakukan Sean kemarin.
Sel-sel sensorik motorik Hara seakan sangat peka, di saat Sean ingin mendekati Hara seolah tahu keberadaannya, sehingga ia selalu menghindar.
"Resletingmu terbuka, aku cuma mau bantu!" ucap Sean. Ya, punggung Hara terekspos bebas karena selerek baju tidak sepenuhnya tertutup.
Kini, Sean siap dengan pakaian formalnya dan Hara baru saja selesai mandi. Masa bodo dengan peran istri, Hara hanya ingin menuruti kemauan suaminya yang tidak ingin disusahkan. Sebab, tiap kali ia bergerak mungkin akan menciptakan masalah dan berimbas dari mulut tajam Sean.
"Terima kasih." Setelah itu, Hara kembali acuh dan menyibukkan diri di depan cermin sembari memoles wajahnya. Hara akan selalu bercermin, walau ia sendiri tidak bisa melihat bagaiman bentuk rupanya.
Sean menarik napas, tiba-tiba kesabaran yang ia miliki beberapa hari ini, habis. Emosinya meluap, alhasil barang kecantikan milik Hara dimusnahkan dari tempat.
"Pantas kamu mengacuhkanku seperti ini? Sadar akan dirimu Hara, kamu istriku, menumpang dan menyusahkan!" bentak Sean, membuat Hara melongok kebingungan.
Ternyata sikap cueknya Hara menyulut apa amarah, padahal Hara mengira jika sang suami tidak akan perduli. Namun, sepertinya Sean mengamati setiap gerak-geriknya. "Kak, aku cuma menuruti permintaan Kakak. Aku gak mau nyusahin, gak mau bergerak sedikitpun kalau ujungnya menimbulkan masalah, ini yang Kak Sean mau 'kan?"
"Kamu tahu peran seorang istri?! Di dunia ini gak ada yang kayak kamu Hara, setidaknya sadar diri. Aku benci diacuhkan!" Lagi-lagi suara lantang Sean menggema.
"Aku takut karena sebelumnya aku terlalu berani, tapi kenapa sekarang marah di saat aku menakuti Kakak?" Hara seolah tidak ingin mendengar ujaran Sean yang menyadarkannya.
Di sini, hanya ada ego dengan ego. Keduanya sama-sama tidak ingin mengalah. Sampai akhirnya batas kesabaran Sean benar-benar dihujung kekesalan. Hara dipaksa berdiri untuk menyeimbangkan, kemudian kekesalan itu terlampiaskan di bibir Hara.
"Pahmmmfff!" Rasanya kuat sekali, bahkan Sean sampai menekan-nekan kepalanya, sehingga terasa pusing. Hara kewalahan, lagi-lagi ini bagian dari kekerasan.
"Akhhh!" Sean melepaskan. Seketika napas keduanya menderu, saat Hara menyentuh bibir mungilnya, ternyata ada cairan kental terasa di tangan. Ternyata Sean menciumnya sampai berdarah.
Kini, pria itu pergi keluar tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Hara pun bergumam, "Gak ada pria seegoisnya, temprament, dan toxic!"
***
"Sean habis kamu pakai lipstik istrimu?"
Di meja makan, sepertinya Sean akan menjadi bulan-bulanan mama dan kakaknya. Mereka meledek seakan-akan rumah tangga yang ia jalani berbahagia pada umumnya, seperti pernikahan lain.
Pertanyaan sang mama, menuai godaan dari Yora—kakak Sean, anak pertama. "Pakai dari bibir langsung ya?"
"Pagi-pagi sudah dibuat kesal, dapat ledekan pula. s**t!" batinnya.
Tidak ada Nathan, mungkin jika lelaki itu hadir segala tatapan dilayangkan sebagai tanda mengintimidasinya. Sementara, Sean hafal dengan sikap sang ayah yang selalu mencurigai.
Akhirnya kursi yang ingin ia singgahi, ia lepas dan tidak jadi diduduki. Sang kakak pun bertanya, "Kenapa Sean? Moodmu hari ini buruk sekali."
"Aku sarapan di kantor!" Setelahnya Sean pun pergi.
Yora dengan Metha saling menatap, akhir pun Metha mengedikkan bahunya sembari berkata, "You know lah, adikmu itu gak bisa jaga suasana baik hatinya. Apalagi tiap pagi kayak ini."
"Problem 'kah, Mom?"
"Biasanya dengan Hara, tapi mama tahu masalah itu terjadi karena Sean yang memulai duluan atau ada saja kesalahan yang dia cari. Mama dengar, Hara merajuk gak mau tanya Sean!" ucap Metha, terlihat seperti logat sedang menggosip.
"Why? Rumah tangga mereka baik-baik aja 'kan, Ma?"
"Kunjungi saja adik iparmu, beri dia pengertian untuk menghadapi sikap Sean. Mama cuma khawatir kalau Hara nggak bisa bertahan."
"Okey ...." Yora—singgle mom itu akhirnya meninggalkan tempat. Ya, jika bertanya perihal Yora dan di mana sang suami. Dia adalah janda ditinggal pergi. Saat di mana, Mola dilahirkan. Kabarnya, mantan suaminya telah kabur bersama wanita lain.
Kini dirinya telah tiba dan ingin memasuki kamar adiknya. Namun, pandangan yang membuat bibir dan hatinya tersenyum saat melihat Hara tengah meraba-raba buku bertuliskan titik-titik menonjol yang dikhususkan untuk penderita tuna netra.
"How are you, girl?"
Mendengar itu, seketika Hara melepas kegiatannya. Ia mencari-cari keberadaan seseorang yang datang. "Kakak, apakah itu Kakak?"
"Ya, aku Yora. Hara!"
Seketika Hara tersenyum merekah. "Kak Yora, sangat baik. Hara merindukan Kakak!"
Seketika Yora tersenyum dan memeluknya. "Dulu waktu kamu dibawa ke sini, kamu masih sangat kecil, sedang imut-imutnya, polos dan lucu sekali. Sekarang wajahmu gak berubah ya, selalu baby face. Hmm ..., maaf saat pernikahan aku gak hadir, aku masih sibuk di Inggris ...."
"Gak apa-apa, lagi pula itu hanya pernikahan terpaksa!" balas Hara tersenyum pahit.
"Hei ... siapa yang bilang pernikahan itu keterpaksaan? Pernikahan gak ada yang terpaksa, semua adalah kebetulan dan tentunya terencana. Mohon jangan bilang kalau ini juga sementara. Big no Hara, kamu sudah menjadi bagian dari kami. Wilson Family!" Lembut, asik, ramah dan penyayang. Itulah sikap Yora yang menurut Hara tidak pernah berubah dari dulu.
"Tapi Kak Sean yang mengatakan seperti itu!"
Yora menatap sendu kedua bola mata Hara, ia meraba pipinya, menyentuh mata itu kemudian beralih mengelus bibir yang tergores. "Masih mau bertahan 'kan cantik? Aku sangat menghargai om Elthan yang begitu baik mempercayai keluargaku. Maafkan sikap Sean, aku tahu sebenarnya dia itu memiliki hati yang baik, dia hanya terpukul atas kaburnya Briana. But, aku yakin seiring berjalannya waktu dia akan jatuh cinta padamu!"
Hara hanya terdiam, tidak mampu berbalas karena baginya ucapan wanita yang sedari dulu ia sebut 'kakak' itu, hanya sebuah kata penenang yang jauh dari pengharapan.
"Kamu percaya? Cinta akan hadir seiring waktu yang menyatukan!"
"Nggak Kak karena suami aku gak pernah punya waktu. Di ada hanya di waktu pagi sampai ketemu pagi lagi!"
Mengingat jam pulang Sean yang nyaris larut malam terus, bahkan di saat dirinya sudah tidur, itu pun terkadang dalam kondisi mabuk-mabukan, bau alkohol, rokok, atau bahkan parfum wanita. Ia seperti diberi kesempatan hanya di pagi hari dan akan merasakan kehadirannya lagi di pagi selanjutnya.
"Bau Rokok, parfum wanita, alkohol atau bahkan terkadang aku menemukan barang tidak lazim di saku-saku bajunya yang entah itu untuk apa, aku gak tau, tapi setelah dapat penjelasan dari Surti aku paham, kalau paman nggak pernah menghargai statusnya sebagai suami!"
Akhirnya keluh kesah selama beberapa hari ini, termuntahkan oleh Hara. Ia mengatakan sejujurnya dari rumah tangga yang ia jalani.
"What? Adikku sungguh keterlaluan. Kamu diam aja?"
"Aku gak tahan, kalau bukan untuk ayah aku pasti akan pulang!"
"Jangan ...."