Teriakan si Ani-ani yang mengaku dikawini Ayah secara siri ini menggelegar ke seluruh penjuru rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana jatuh bangunnya Bunda dalam memperjuangkannya. Aku tahu dengan benar bagaimana kerasnya Bunda berusaha agar memiliki rumah pribadi sendiri tidak sekedar tinggal nyaman di rumah dinas disaat gaji Ayah hanya cukup untuk hidup sehari-hari.
Dan sekarang rumah besar yang Bundaku usahakan, yang Bunda beli dengan keringat dan air mata hasil berjualan beliau selama nyaris seumur hidupku dan selama beliau menemani Ayah, disaat istri prajurit lainnya hidup nyaman, Bunda berjuang berjualan pakaian tanpa kenal lelah sampai memiliki beberapa toko offline dan kini aku kembangkan juga secara online, tiba-tiba saja datang seorang ani-ani yang mengatakan jika dia setara dengan Bunda dan dia memiliki hak atas rumah ini sama besarnya dengan Bundaku? Parahnya, orang ini justru berteriak kepada Bunda disaat Bunda bahkan masih memiliki belas kasihan kepadanya.
Habis sudah kesabaranku, amarahku yang sudah menggelegak sejak si J4lang ani-ani tidak tahu diri memperkenalkan diri sebagai istri siri Ayah kini meledak saat dia dengan lancangnya membentak Bunda, mengabaikan anaknya yang menangis keras karena pekikan menyebalkan Ibunya, tanpa basa-basi lagi aku menjambak rambutnya kuat-kuat.
"Beraninya kamu membentak Bundaku, Sund4l! Punya nyawa berapa kamu hah?"
"Aduuuuuh, lepaskan bocah gila! Beraninya kamu, akan aku adukan kamu ke Ayahmu! Lepasin."
Wanita sund4l ini tidak diam saja, dia memberontak berusaha melepaskan tanganku darinya, jangan tanya bagaimana riuhnya ruang tamu kami pagi ini, teriakannya bercampur makianku bersatu dengan tangis anak kecil yang aku nobatkan sebagai satu-satunya anak kecil di dunia ini yang tidak aku sukai.
"Adukan saja, aku tidak takut dengan Ayahku. Adukan saja, dan akan aku hajar Ayahku sekalian."
Persetan dengan sebutan anak durhaka yang akan aku sandang. Di dunia ini tidak ada yang boleh menyakiti Bundaku bahkan jika itu Ayahku sekalipun.
Tangannya yang berkuku panjang merangsek berusaha menghentikanku yang menjambak rambutnya, mungkin aku akan terus menjambaknya sampai botak jika saja aku tidak melihat kemilau cincin di jari manisnya. Seketika aku melepaskan jambakanku pada rambutnya, dan beralih mencengkeram tangannya untuk aku tunjukkan kepada Ibuku.
Mengabaikannya yang memberontak seperti orang gila, aku menarik tangan itu tanpa perasaan untuk aku perlihatkan kepada Bunda.
"Bun, ini cincin Bunda, kan.........." Aku mendesak Bunda yang hanya menatap diam pada cincin yang aku tunjukkan. Sungguh, kadang aku benci melihat ketenangan beliau ini, disaat aku bahkan tidak bisa berkata-kata lagi dengan sikap buruk Ayah yang akhirnya terbongkar. Beliau masih bersikap sangat tenang seolah dunia beliau masih baik-baik saja sementara aku benar-benar hancur tidak percaya mendapati benda kesayangan bunda yang hilang beberapa tahun lalu justru ada ditangan si J4lang.
"Jadi sekarang kita tahu Ri kemana perginya cincin Bunda. Bukan Bunda yang teledor meletakkannya......" tidak ada air mata di wajah cantik Bunda tapi aku mendengar suara beliau yang bergetar. Rasa sesak ini menyerangku, membuat airmataku merebak karena luka yang merobek-robek dadaku meski tanpa bekas.
Pemahaman tentang bagaimana cincin yang hilang dan ternyata singgah ke tangan si Ani-ani yang tidak tahu diri ini membuatku duniaku yang sebelumnya penuh dengan warna-warni seketika tertutup mendung.
Kenapa? Kenapa Ayah menjadi seperti ini? Pria yang selama ini aku lihat sebagai contoh pria idaman yang selalu mencintai Bunda dengan luar biasa besarnya nyatanya tidak lebih dari pengkhianat munafik yang menjijikkan. Bagaimana bisa setelah semua yang dilakukan Bunda, beliau bisa mengkhianatinya?! Hatiku benar-benar hancur mendapati Ayah mendua bahkan sampai mencuri barang milik Bunda untuk diberikan kepada selingkuhannya.
Baru cincin yang terkuak dan aku tidak tahu seberapa banyak lagi harta Bunda yang Ayah curi untuk ani-ani Sialan ini.
"Jangan bicara sembarangan, Tua Bangka. Jangan mengaku-ngaku. Cincin ini hadiah dari Mas Agung, bukti cinta dan keseriusannya saat melamarku."
Habis sudah. Kekecewaanku kini menggulung bagai badai besar, aku seperti hilang kesadaran saat ani-ani Sialan yang sudah merusak pagiku justru berteriak menantang mengatai Ibuku kembali. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, tapi kini aku tidak lagi menjambaknya melainkan juga menampar mulut kotornya itu bolak-balik.
"Hina lagi Bundaku dan aku akan membunuhmu, s****l!"