"Ayo kita menikah saja!"
Gubrak
Pletak
Suara benturan benda berat menggema di seluruh penjuru warung. Membuat semua mata pengunjung terarah pada di mana keberadaan si pemilik warung bersama si Mas Bule berada.
Bukan Mia atau James. Namun, Sutini. Ya, gadis pelayan warung kopi itulah yang kini menjadi pusat perhatian. Beberapa orang sigap mendekat. Pun demikian, tidak dengan Mia juga James yang hanya diam membisu karena terkejut mendapati Tini yang jatuh pingsan hingga tubuh kurusnya membentur dinginnya lantai.
Bukan tanpa sebab gadis itu tiba-tiba pingsan. Semua karena James. Lebih tepatnya pernyataan James yang membahas persoalan pernikahan. Padahal apa yang James lontarkan itu tadi bukan untuk Tini melainkan untuk Mia. Namun, rupanya yang terkejut sampai pingsan justru Tini.
"Astaga! Tin ... nyapo dadak semaput barang. Ya, Tuhan! Heh, Cah! Ayo podo tulungono Tini. (Astaga! Tin... Kenapa sampai pingsan segala. Ya, Tuhan! Heh, Kalian! Ayo semua tolong Tini.)"
Mia panik. Beranjak dari kursi dan jongkok menggoyang-goyang tubuh Tini. Tak ada respon yang berarti dari gadis itu membuat Mia semakin kebingungan. Sigap, beberapa orang yang Mia mintai pertolongan segera membopong tubuh Tini. Membawanya masuk ke dalam rumah utama milik keluarganya Mia. Melewati sebuah pintu yang menjadi pembatas antara warung dengan rumah utama.
Tak lagi menghiraukan keberadaan James yang masih termangu di tempat duduknya, kini Mia lebih fokus pada Tini. Apalagi ibunya ikut-ikutan panik melihat Tini yang tergeletak tak berdaya di atas kursi ruang tamu.
"Suwun ya, (Terima kasih ya,)" ucap Mia pada tiga orang lelaki yang tadi membantu membopong tubuh Tini.
"Nyapo Mbak Tini kuwi maeng. Kok semaput? (Kenapa Mbak Tini tadi. Kok sampai pingsan?)" tanya salah satu diantara mereka.
"Emboh. Aku dewe ora weruh, (Entahlah. Aku sendiri juga tidak tahu,)" jawab Mia.
"Ya, wes Mbak. Awake dewe balik nang warung, ya. (Ya, sudah Mbak. Kita kembali ke warung, ya.)" pamitnya lagi sebelum meninggalkan Mia.
"Iyo. (Iya.)"
Ibunya Mia tergopoh-gooh kembali menghampiri Mia dengan membawa botol minyak kayu putih. Memberikannya pada Mia yang langsung dibuka oleh gadis itu. Lalu diusapkan ke hidung Tini. Untuk beberapa saat Tini mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya. Hingga pada akhirnya mata itu kini benar-benar terbuka.
"Ya, Tuhan! Tini. Akhire kowe sadar. (Ya, Tuhan! Tini. Akhirnya kamu siuman.)" Dengan antusias Mia berucap.
Tini masih mengerjab-ngerjabkan mata. Ia sedikit linglung hingga pandangan matanya tertuju pada Mia.
"Tin!"
"Mi ... Aku nyapo iki? (Mi ... Aku kenapa ini?)"
"Lha mboh. Kowe maeng nyapo kok ngerti-ngerti semaput. (Lha tidak tahu. Kamu tadi kenapa tiba-tiba pingsan.)"
Tini diam, mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Menepuk dahinya kala teringat sesuatu. Mulut Tini sudah terbuka hendak bertanya, akan tetapi di sela oleh kedatangan ibunya Mia.
"Ngombe sek, Nduk! (Minum dulu, Nduk!)" Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu menyodorkan teh hangat yang ada di dalam gelas pada Tini.
Patuh Tini mengangguk dan mencoba untuk bangkit dari berbaringnya. Mia membantu Tini agar dapat bersandar pada punggung kursi. Setelah itu barulah Tini menerima gelas pemberian ibunya Mia. Ia sesap minuman yang langsung membasahi tenggorokannya. Hangat Tini rasa membuatnya sedikit tenang dan rileks. Ia mencoba untuk menenangkan diri sebelum bertanya banyak hal pada Mia.
"Piye, wes enakan awakmu? (Bagaimana, apa sudah baikan kamu?)" tanya ibunya Mia.
Tini mengangguk lagi. "Sampun, Budhe. Ngapunten kulo ngrepoti jenengan. (Sudah, Budhe. Maaf saya merepotkan Anda.)"
"Heleh. Ra popo. Koyo karo sopo ae. Ya, wis Mi. Ibuk tak nang ngarep jogo warung. Kowe nang kene sek ae ngancani Tini. (Halah. Tidak apa-apa. Seperti dengan siapa aja. Ya sudah, Mi. Ibu mau ke depan jaga warung. Kamu di sini saja menemani Tini.)"
"Inggih, Bu, (Iya, Bu,)" jawab Mia sopan pada ibunya.
Mia itu memang sifatnya tomboi sedikit urakan. Namun, jika bersama ibu dan bapaknya Mia bisa bersikap sopan. Bagaimana pun juga, di kampung itu masih menjunjung tinggi adat kesopanan. Orang yang lebih tua wajib dihormati dan disegani. Berbahasa dengan tutur halus tidak sama seperti ketika berbicara dengan sesama teman yang ceplas ceplos tanpa disaring dulu. Bahasa jawa kasar seperti yang sering Tini dan Mia gunakan tidak pantas juga tidak cocok jika di aplikasikan saat menghadapi orang tua semacam ibunya Mia.
Begitu ibunya Mia pergi dan tak lagi berada diantara mereka, Tini yang sudah tak mau menahan diri pun berucap. "Mi!"
"Hmm. Piye. Kowe njaluk opo? Tak jupukne. Mangan opo piye? Biasane wong lek mari semaput ki kroso luwe. (Hmm. Ada apa. Kamu minta apa? Tak ambilkan. Makan atau gimana? Biasanya orang yang baru saja pingsan itu terasa lapar.)"
"Hooh jane. Aku luwe kowe ki kok ngerti ae. Konco sing pengertian. (Iya memang. Aku lapar dan kami ini tahu saja. Teman yang pengertian.)"
"Ya wes. Etenono sek. Tak jupukne sego. (Ya, sudah. Tunggu sebentar. Aku ambilkan nasi.)"
Baru saja Mia berniat berdiri, tangannya dicekal oleh Tini. Gadis itu cengengesan tidak jelas membuat Mia bertanya. "Opo maneh, Tin! (Ada apalagi, Tin!)"
"Sek to ojo kesusu. Lungguho sek. (Sebentar jangan terburu-buru. Duduk saja dulu.)"
"Jaremu maeng apek mangan. (Katanya tadi kamu ingin makan.)"
"Perkoro mangan engko sek ae. Enek perkoro seng luweh penting ketimbang mangan. (Masalah makan nanti saja dulu. Ada hal yang lebih penting daripada soal makan.)"
"Opo? (Apa?)"
"Mas Bule, Mi!"
Mia terperanjat. Yup. Ia melupakan keberadaan Mas Bule. Menepuk dahinya karena bingung.
"Ya, Tuhan, Tin. Mas Bule maeng terus piye. Kiro-kiro sek nang kene opo ora yo. Kok tak tinggal ngunu ae kuwi maeng gara-gara aku bingung mergo kowe semaput. (Ya, Tuhan, Tin. Mas Bule tadi terus bagaimana. Apa kira-kira masih di sini. Kenapa tadi aku tinggal begitu saja gara-gara panik karena melihatmu pingsan.)" Sedikit panik mengatakan hal itu, akan tetapi pertanyaan Tini selanjutnya membuat Mia jadi diam dan berpikir.
"Sek to, Mi. Sakjane wong londo kuwi maeng ki sopo lo? Opo kowe wes kenal sak durunge? Kok sampe ngejak rabi kowe? (Sebentar, Mi. Sebenarnya orang bule itu tadi siapa? Apa kamu sudah kenal sebelumnya? Kok sampai meminta kamu untuk menikah?)" cercaan yang Tini lontarkan melupakan kenyataan bahwa beberapa detik yang lalu gadis itu sempat pingsan.
Mia menggangguk ragu membuat Tini langsung melotot. "Dadine kowe wes kenal ambi dekne? (Jadi, kamu sudah kenal dengannya?)" Tini bertanya.
"Iyo. Aku kenal ra sengojo, (Iya. Aku kenal secara tidak sengaja,)" ucap Mia.
"Kok iso? (Kok bisa?)"
"Yo iso. Aku tahu nabrak mobile nang prapatan lampu abang. Aku ra sengojo, Tin. Kadung lekku numpak montor banter, ndilalah lampu abang. Ra iso ngerem terus nabrak mobile mas bule kuwi maeng. (Ya, bisa. Aku pernah menabrak mobilnya di perempatan lampu merah. Aku tidak sengaja, Tin. Terlanjur aku menjalankan motor dengan kencang, ternyata lampu mendadak merah. Tidak bisa mengerem motorku dan akhirnya menabrak mobilnya Mas Bule itu tadi.)"
"Lah? Terus kok iso wonge teko kene? (Lah? Kok bisa orangnya datang ke sini?)"
"KTP-ku dijaluk, kon tanggung jawab. (KTP-ku diminta, dan aku harus bertanggung jawab.)"
"Loalah ... terus wonge kuwi rene apek jaluk ganti rugi? Lah, nyapo kok malah jaluk rabi. Opo gawe bayar mobile sing kok tabrak kudu rabi ambi dekne. Oalah ... Mi ... Mi... kok apes timen nasibmu, koyok cerito n****+ ae. Pethuk wong londo, njur dijak rabi. (Loalah... Terus orang itu ke sini apa mau minta ganti rugi? Lah, kenapa justru minta menikah? Apa untuk membayar ganti rugi mobil yang kamu tabrak harus menikah dengannya. Oalah... Mi... Mi... Kok sial sekali nasibmu. Seperti cerita n****+ saja. Bertemu orang Bule, lalu diajak menikah.)"
"Lambemu, Tin! Sakjane wonge ki tahu moro rene sak durunge ki maeng. (Mulutmu, Tin! Sebenarnya orang itu sudah pernah ke sini sebelumnya.)"
"Mosok? Kapan? Kok aku ra ngerti? (Masak? Kapan? Kenapa aku tidak tahu?)"
"Kowe pas ra neng warung. (Kamu pas tidak ke warung)."
"Terus ... terus piye? (Lalu... Kau bagaimana?)"
"Mas Bule ki tuku kopi. Terus kroso enak. Bar kuwi KTP-ku ora malah dibalekne tapi dekne malah jaluk resep kopiku lek pengen KTP-ku balik. (Mas Bule beli kopi. Lalu merasakan enak. Setelah itu KTP-ku bukannya dikembalikan, dia justru minta resep kopiku jika mau KTP-ku kembali.)"
"Embuh, Mi. Aku ra paham. (Entahlah, Mi. Aku tidak mengerti.)"
"Pokok intine Mas Bule ki gelem mbalikne KTP-ku tapi enek syarate. (Intinya Mas Bule itu mau mengembalikan KTP-ku tapi Ada syaratnya.)"
"Syarat opo maneh. (Syarat apalagi.)"
"Sek to rungokno aku crito. (Sebentar, dengarkan aku cerita.)"
"Hooh ... hooh ... wes ndang crito'o. Tak rungokne. (Iya... Iya... Sudah cepat cerita. Aku dengarkan.)"
"Aku dikon ganti kerusakan mobile Mas Bule seket juta lek pengen KTP-ku balik. (Aku diminta mengganti kerusakan mobilnya Mas Bule lima puluh juta jika ingin KTP-ku kembali.)"
"Hah! Seket juta? Kuwi duit kabeh? (Hah! Lima puluh juta? Itu uang semua?"
"Nek oleh tak bayar karo godong aku ra mumet, Tin! (Jika boleh aku bayar pake daun aku tidak akan pusing, Tin!)"
"Terus kok bayar? (Lalu kamu bayar?)"
"Duit ko endi lekku apek bayari. Kok utangi po piye? (Uang darimana aku dapatkan untuk membayarnya. Apa kau mau memberikanku pinjaman?)"
Tini mencebik. "Edan kowe. Aku entuk duit teko endi sak mono akehe. (Gilaa kamu! Aku dapat uang darimana segitu banyaknya.)"
"Makane ndasku mumet iki. Nek aku nggak iso bayar, aku kon menehi resep kopiku. Yo ra mungkin to, Tin, aku menehi resep rahasia kopiku. (Oleh sebab itulah aku pusing sekarang. Jika aku tidak bisa membayar, aku harus memberikan resep kopiku. Ya itu tidak mungkin, Tin, aku akan memberikan resep kopi rahasiaku ini.)"
Tini manggut-manggut.
"Gae opo jane wong londo kae jaluk resep kopimu. (Buat apa sebenarnya orang Bule itu meminta resep kopimu?)"
"Mosok aku ngerti. (Mana aku tahu.)"
"Lha kowe nyapo ra takon, Mi? (Lha kamu kenapa ngga nanya, Mi?)"
"Gae opo aku takon. (Buat apa aku tanya.)"
"Yo sopo ngerti pancen wonge jatuh cinta ambi kopimu. Londo kan biasane demen karo kopi. (Ya siapa tahu jika memang orang itu jatuh cinta pada kopimu. Bule kan suka kopi.)"
Mendengar apa yang Tini ucapkan membuat Mia sedikit berpikir tentang hal itu.
"Ahay ... aku ngerti saiki! (Ahay... Aku tahu sekarang!)"
Mia yang sedang berpikir dikejutkan oleh teriakan Tini yang tiba-tiba.
"Ngerti opo sih, Tin! (Tahu apa sih, Tin!)"
"Mas Bule pen kowe dadi bojone ben lek isuk enek sing gawekne kopi enak kuwi. Piye ... piye ... bener po ra lekku mbedek. (Mas Bule ingin kamu jadi istrinya agar setiap pagi ada yang membuatkan kopi enak. Bagaimana ... bagaimana ... benar atau tidak tebakanku.)" Mia memijit pelipisnya. Nyambung juga sebenarnya dengan prasangka yang Tini lontarkan.
"Emboh, Tin. Mumet ndasku. Ra iso mikir. (Entahlah, Tin. Pusing kepalaku. Tidak bisa berpikir.)" Mia menjawab dengan menjatuhkan tubuh pada sandaran kursi yang ia duduki.