2. Alasan Arsa

1280 Kata
“Tidak menangis lagi?” Aria tersentak mendengar suara padat Arsa. Saat ini dirinya terduduk di tepi ranjang berseberangan dengan suaminya itu yang juga duduk di tepi ranjang sisi lainnya. Beberapa menit yang lalu Aria telah membantu Arsa pergi ke kamar mandi dan setelah suaminya itu selesai buang air kecil, ia membantunya kembali ke kamar. Meski belum bisa melupakan kesedihannya akan pernikahannya dengan Arsa, tapi Aria tak kehilangan sisi kemanusiaannya terlebih Arsa adalah suaminya. Meski kecewa, tak ada cinta di antara mereka, tapi Aria menyadari tugas seorang istri. “Apa kau tahu bahwa aku bukan orang yang membuatmu menjadi seperti ini?” tanya Aria dengan suara bergetar. Ia ingin tahu kenapa Arsa mau menikah dengannya padahal harusnya dengan kakaknya. “Ya. Dan aku tidak peduli.” Deg! Jantung Aria seolah berhenti berdetak. Ia hanya diam berharap Arsa melanjutkan ucapan mengenai alasannya. “Karena kakakmu aku tidak bisa melakukan apapun. Bahkan mungkin mati lebih baik karena orang sepertiku tidak akan berguna lagi. Aku tidak peduli siapa yang aku nikahi karena yang aku inginkan, wanita itu bisa mengurusku,” terang Arsa. Air mata Aria kembali menggenang. Itu artinya, ia hanya akan dijadikan alat, hanya dimanfaatkan. Aria tertunduk menatap tangannya yang saling mengepal di atas pangkuan. “Tapi ini tidak adil. Ini sangat tidak adil untukku,” ucap Aria dengan suara pelan. “Uangku sudah habis untuk berobat juga membayar pengacara untuk mengancam kakakmu. Mana mungkin aku menyiakan tawarannya agar menikah denganmu? Aku tak mungkin lagi meminta polisi mengurus masalah ini tanpa memiliki uang sepeserpun. Jika ada orang yang harus kau salahkan, maka itu adalah kakakmu,” ungkap Arsa. Ia tak mau ambil resiko Marisa bersedia melalui jalur hukum jika ia menolak tawarannya dengan menikahi Aria. Jika itu terjadi, ia membutuhkan banyak uang. Selain itu, ia membutuhkan seseorang untuk dijadikannya tangan untuk melihat. Sejak kehilangan penglihatannya dirinya menjadi seperti bayi. Dirinya tak bisa melakukan apapun sendiri. Bahkan sekedar ke kamar mandi dirinya kesulitan. Ia belum terbiasa dengan kondisi barunya saat ini. Tangan Aria semakin mengepal. Ia tahu yang harus disalahkan memanglah kakaknya. Tapi, ia tak bisa melakukannya. Dirinya terlalu lemah dan terlalu takut. Arsa meraba kasur kemudian berbaring dengan hati-hati. Ia ingin beristirahat tak peduli apa yang tengah Aria pikirkan. Aria menatap punggung Arsa dalam diam. Pria itu kini berbaring memunggunginya. Ia sedikit menyesal sudah merasa iba pada Arsa padahal pria itu sama sekali tak memikirkan dirinya, tak memikirkan perasaannya. Tok! Tok! Aria tersentak mendengar ketukan pintu disertai teriakan Marisa. Ia segera mengusap jejak air mata, turun dari ranjang dan berjalan cepat untuk membuka pintu. “Ck, apa saja yang kau lakukan?!” bentak Marisa saat Aria telah membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba perhatiannya jatuh pada Arsa yang berbaring di ranjang Aria. “Aaah, aku tahu, bagaimana mungkin aku melupakannya? Kau baru saja menikah, pasti kalian sedang melakukan malam pertama,” ucapnya bernada sarkas. “Ti- tidak, Kak. Kami tidak–” “Meh, tapi apa yang bisa dilakukan orang buta itu? Dia pasti tidak bisa melakukan apapun. Hahahaha. Ulu … ulu … kasihannya dirimu,” potong Marisa. Ia sama sekali tak peduli apa yang Aria katakan. Hati Aria begitu sakit. Padahal kakaknya itu lah sendiri yang membuat Arsa buta tapi wanita itu sama sekali tak menyadarinya bahkan menghina Arsa. “Sudah, sana cepat temui ayah. Ayah memanggilmu,” ucap Marisa kemudian berbalik dan melenggang pergi. Aria masih diam di posisi menatap langkah Marisa yang kian menjauh. Ia kemudian menoleh pada suaminya yang saat ini memejamkan mata. Entah pria itu benar-benar tidur atau tidak tapi, Aria tak mengatakan apapun saat dirinya pergi menemui ayahnya. Mata Arsa terbuka setelah mendengar pintu kamar Aria tertutup. Ia mendengar semuanya meski tak dapat melihat. Kini ia tahu Aria dan kakaknya memiliki hubungan tidak sehat. Di sisi lain, Aria berjalan menuju ruang tengah di mana ayah tirinya itu sudah menunggu. “Akhirnya kau datang juga, Aria. Maaf sudah mengganggu waktumu dan suamimu. Bagaimana? Apa dia bisa melakukan tugasnya? Mengingat dia buta, dia pasti tak bisa melakukan sesuatu yang membuatmu senang. Hahahaha!” kelakar tawa Hengki kian membuat hati Aria teriris. Jika saja ia berani, ia sudah berteriak pada ayah tirinya itu menyadarkannya bahwa harusnya Marisa yang bertanggung jawab dengan semuanya. “Nah, sekarang tanda tangan di sini.” Hengki menyodorkan sebuah kertas kosong dan meminta Aria menandatanganinya. Kelakar tawanya lenyap saat teringat tujuannya memanggil Aria. Aria menatap kertas kosong itu penuh tanya. “A- apa ini, Ayah?” tanyanya dengan suara pelan dan terbata. Seketika raut wajah Hengki menjadi begitu dingin dan datar dengan tatapan tajam. “Tanda tangani saja. Jangan banyak bertanya,” ucapnya dengan suara begitu dingin sedingin raut wajahnya. Tubuh Aria merinding. Jika Hengki sudah menunjukkan ekspresi seperti itu dan ia menolak, pria itu tak akan segan menghajarnya seperti yang lalu-lalu. Dengan tangan gemetar Aria meraih kertas kosong itu dan berniat membubuhkan tanda tangannya sesuai perintah Hengki, sesuai di mana pria itu menginginkan tanda tangannya berada. Namun, sebelum itu terjadi, Aria menghentikan gerak tangannya. Ia ragu dan merasakan perasaan buruk mengenai hal ini. Dahi Hengki berkerut tajam melihat Aria tampak ragu dan terlalu lama. “Apa yang kau tunggu?” Aria setengah mendongak menatap ayah tirinya itu dan mengatakan, “Aku … tidak mau.” Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Aria tepat setelah ia mengatakan satu kalimat yang bahkan belum selesai. Tak sampai disitu, Hengki segera menjambak rambut Aria kemudian membenturkan kepalanya ke atas kertas di atas meja. “Jika kubilang tanda tangan, kau harus menandatanganinya! Kau tak perlu tahu untuk apa dan kenapa! Yang harus kau lakukan hanya menuruti perintahku!” bentak Hengki di telinga Aria. Aria meringis sakit merasakan jidatnya yang membentur meja cukup keras serta jambakan kuat yang Hengki lakukan pada rambutnya. “Sekarang, cepat tanda tangan!” teriak Hengki dan melepas jambakannya dengan kasar hingga Aria nyaris jatuh tersungkur ke lantai. Tangisan Aria kembali pecah, tapi ia berusaha menahannya. Mau menahannya seperti apa akan percuma karena Hengki tak akan peduli. Dengan tubuh dan tangan gemetar Aria mulai membubuhkan tanda tangannya meski ia terpaksa. Seringai Hengki kian terukir jelas. Ia merampas kertas putih yang kini telah tertera tanda tangan Aria dan mengatakan, “Anak baik. Harusnya lakukan ini sejak tadi maka aku tak perlu menggunakan cara kasar.” Aria masih terduduk di lantai dengan menahan isak tangis. Ia yakin ayah tirinya itu akan melakukan sesuatu. Tapi, ia tak bisa melakukan apapun, hanya bisa menunggu apa yang menantinya di kemudian hari. Apapun itu Aria harap tidak lebih buruk lagi, tidak lebih buruk dari hal buruk yang dialaminya selama ini. Beberapa saat kemudian, Aria kembali ke kamarnya. Melihat Arsa masih berbaring dan sepertinya tertidur lelap, ia memutuskan membersihkan diri. Sebelum pergi ke kamar mandi, Aria menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Pipinya memerah karena tamparan Hengki dan jidatnya sedikit memar. Aria tersenyum getir. Perlahan tangannya terangkat menyentuh pipi. Dulu ia selalu berangan menikah dengan lelaki yang ia cintai, menjadi ratu semalam dan tampil cantik. Namun, di hari pernikahannya ini, alih-alih menjadi ratu, ia tetap terlihat seperti babu. Tak ada make up yang menghiasi wajahnya, pakaian yang dipakainya pun bukan gaun atau kebaya. Ia hanya memakai baju seadanya yang ia punya. “Tidak usah pakai jasa rias. Lagipula suamimu buta.” Ulu hati Aria seakan dicubit teringat ucapan Marisa. Dari ucapannya itu lah ia tahu siapa yang akan dinikahkan dengannya. Perlahan air mata kembali meluncur deras. Sampai kapan ia harus menerima penderitaan ini? Kapan penderitaannya ini akan berakhir? Trak! Aria menoleh mendengar suara benda jatuh dan mendapati Arsa sudah bangun. Pria itu telah duduk di tepi ranjang dan seperti mencari sesuatu. Aria mengusap air matanya kemudian berjalan menghampiri Arsa dan mengambilkan tongkatnya yang jatuh tergeletak. Diberikannya tongkat itu pada Arsa tanpa bertanya pria itu mau ke mana. “Aku mau mandi. Mandikan aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN