3. Memandikan Arsa

1438 Kata
Aria terkejut dengan permintaan Arsa. Apa pria itu serius? “Ta- tapi ….” ucap Aria dengan suara pelan. Ia ingin menolak, tapi pada akhirnya dengan terpaksa melakukan apa yang Arsa minta. Entah terbuat dari apa hatinya, meski tahu hanya dimanfaatkan, dirinya tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri. Padahal, ia bisa menolaknya dengan tegas atau mengabaikan Arsa begitu saja. Aria merangkul Arsa, membantunya berjalan menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, ia membantu Arsa membuka satu persatu pakaiannya menahan rasa malu. Padahal, harusnya Arsa yang malu, bukan? Tapi pria itu terlihat tetap tenang bahkan saat Aria mulai menurunkan celananya. Aria membuang muka saat membuka celana Arsa. Ini pertama kali dirinya melihat tubuh telanjang seorang pria dan rasanya sangat memalukan meski ia sempat dibuat terkejut saat melihat tubuh Arsa yang berotot. Lengan kokohnya, d**a bidangnya dan perut ratanya sempat membuat Aria berdebar. Arsa berpegang pada bahu Aria saat mengangkat kakinya agar celananya terlepas. Ia tidak tahu seperti apa wajah Aria sekarang tapi merasakan tangan wanita itu gemetar saat membuka satu persatu pakaiannya. “A- apa … apa ….” Suara Aria menggantung. Saat ini posisinya berlutut di depan Arsa yang berdiri setelah selesai membuka celananya. Aria hanya ingin bertanya apakah juga harus membuka celana dalam Arsa? Tapi, rasanya sangat memalukan. Meski mereka suami istri dan sah-sah saja melihat tubuh masing-masing, tapi Aria belum siap. “Apa yang kau tunggu?” tanya Arsa karena Aria tak segera membuka celana dalamnya dan memandikannya. “A- apa … apa kau tidak malu? Mak- maksudku ….” “Malu? Aku sudah tidak punya rasa malu. Aku bahkan tak bisa melihatmu dan kau adalah istriku, untuk apa aku harus malu padamu?” “Ta- tapi ….” “Kalau begitu keluar. Biar aku selesaikan sendiri.” Arsa mendorong Aria membuatnya terduduk di lantai. Ia kemudian membalikkan badan, kedua tangannya terulur ke depan meraba-raba mencari keberadaan bak mandi sampai akhirnya tangannya menyentuh tepian bak mandi kemudian berusaha mencari gayung. Namun, ia tak menemukannya karena gayung itu berada di ujung bak mandi berseberangan dengan tempatnya berdiri. Aria melihatnya dan kembali merasa iba. Ia segera berdiri mengambil gayung itu dan meletakkannya di depan Arsa. Entah Arsa tahu atau tidak jika dirinya masih di sana. Namun, Arsa mulai menyiram tubuhnya tanpa bicara kemudian mencari sabun. Melihat itu, Aria segera mengambil sabun dan meletakkannya di tepi bak mandi di depan Arsa. Ia tidak berniat memberikannya langsung pada Arsa agar Arsa mengira dirinya tidak lagi di sana. Namun, tanpa sengaja sabun itu jatuh saat Arsa meraba mencari keberadaannya. Merasa telah menjatuhkan sesuatu, Arsa mencoba mencari tahu tapi justru terinjak sabun itu dan membuatnya terpeleset. Brugh! Arsa jatuh terlentang di atas lantai kamar mandi yang basah dan dingin. Ia pun berteriak marah dan memukul lantai saat berusaha bangun. Aria masih menutup mulut terkejut melihat apa yang terjadi. Rasa iba dan bersalah pun timbul membuatnya segera membantu Arsa berdiri. “Kenapa kau masih di sini?” ucap Arsa bernada sarkas. “Aku … akan membantumu.” Bukannya menjawab pertanyaan Arsa, Aria membantu Arsa membersihkan diri. Ia segera mengambil sabun yang sebelumnya menjatuhkan Arsa dan mulai menyabun tubuh suaminya. Meski ia sangat malu hingga wajahnya memerah, tapi ia tak ingin melihat Arsa yang kesulitan hanya untuk mandi. Setelah selesai menyabun, Aria menyiram tubuh Arsa, membersihkan setiap jengkal tubuh suaminya kecuali bagian tubuh suaminya itu yang masih tertutupi celana dalam. Wajah Aria kian merah padam, tangannya kian gemetaran saat akan membuka celana dalam Arsa yang tampak menyembul. Namun, sebelum itu terjadi Arsa melarangnya dan memintanya menyudahi acara mandinya. “Biar aku sendiri. Ambilkan aku handuk.” Mendengar perintah Arsa membuat Aria bernafas lega. Ia segera mengambilkan Arsa handuk dan membalikkan badan saat Arsa melilitkan sendiri handuk ke tubuhnya. Ia pun mendengar suara gemericik air dan tak lama Arsa memberitahunya bahwa ia selesai. “Aku selesai.” Aria berbalik kemudian membantu Arsa berjalan keluar kamar mandi kembali ke kamar. Ia mendudukkan Arsa di tepi ranjang kemudian mengambilkan Arsa pakaian dari dalam tas yang dibawanya. “Sepertinya Arsa memang bermaksud tinggal. Dia bahkan sudah menyiapkan pakaiannya,” batin Aria saat mengambil pakaian untuk suaminya itu. Setelah kembali berdiri di depan Arsa, Aria tampak berpikir. Apa ia harus membantu Arsa memakai baju? “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Arsa tiba-tiba. Aria terkejut tapi sedikit bernafas lega. Ia pun memberikan baju Arsa di kedua tangannya. “Ka- kalau begitu, aku akan mandi,” ucap Aria kemudian pergi ke kamar mandi meninggalkan Arsa. Saat memasuki kamar mandi perhatian Aria jatuh pada celana dalam Arsa yang teronggok di lantai. Seketika wajahnya memerah teringat saat memandikan suaminya itu. Tak ingin berpikir aneh, ia segera mencuci baju Arsa termasuk celana dalamnya kemudian membersihkan diri. Beberapa saat setelahnya, Aria keluar dari kamar mandi dengan wajah sedikit lebih segar meski matanya masih tampak sembab. Ia pun melihat Arsa telah memakai pakaiannya. Namun, pria itu memakai kaosnya terbalik. Ia pun berjalan menghampiri Arsa sebelum mengambil pakaiannya di lemari. “Kaosmu terbalik,” ucap Aria. “Aku akan membantumu memakainya lagi.” Arsa hanya diam dan menurut saat Aria membuka kaosnya dan kembali memakaikannya. Setelah selesai, Aria kembali ke kamar mandi setelah mengambil baju dari lemari. Meski suaminya tak dapat melihat, tetap saja ia merasa malu jika memakai baju di depan suaminya yang buta. Brak! Pintu kamar Aria terbuka lebar setelah mendapat tendangan kaki Marisa. Ia berjalan memasuki kamar Aria dan berteriak, “Aria! Kau tak lihat jam?! Sudah saatnya membuat makan malam!” Tepat di saat itu Aria keluar dari kamar mandi setelah memakai baju. “I- iya, Kak!” ucap Aria dan bergegas pergi ke dapur. “Hhss! Dasar, mentang-mentang baru menikah kau pikir akan bebas dari tugas?” gerutu Marisa tapi masih dapat Arsa dengar dengan jelas. Perhatian Marisa kini jatuh pada Arsa. Ia berdiri di depan Arsa dengan tangan bersedekap d**a dan menatap Arsa dengan tatapan menghina. “Bagaimana perasaanmu? Kau pasti senang karena sekarang ada yang mengurusmu. Kau tenang saja, adikku itu penurut, dia pasti melakukan apapun yang kau suruh. Yah, soalnya dia itu bodoh. Hahaha,” kelakar tawa Marisa memenuhi kamar. Namun, Arsa hanya diam. “Hah … lucu sekali. Sangat lucu melihat adik bodohku itu menikah dengan pria bodoh dan buta sepertimu. Oops, sorry,” ucap Marisa dengan menutup mulut. Namun, ia kembali membuka suara bahkan lebih kejam dari ucapan sebelumnya. “But, jangan tersinggung, yah, habisnya kau memang bodoh, sih. Kau kira aku tidak tahu tujuanmu? Kau pasti ingin balas dendam padaku dengan meminta aku menikahimu. Kau mau menyiksaku dengan mengurusmu yang tak bisa melakukan apapun. Kau kira aku begitu bodoh? Tidak, tentu saja tidak pria buta. Mana sudi aku menikah denganmu? Mengancam melaporkanku ke polisi? Meh, aku sama sekali tidak takut. Kau tahu kenapa aku menyuruh adikku? Itu karena aku ingin menyiksanya, aku ingin dia menderita dengan menikahi pria buta. Aku tahu kau akan menerimanya karena apa? Karena pengacaramu itu sudah memberitahuku bahwa kau sudah tidak punya uang sepeserpun. Kau tak punya apapun, keluarga, saudara, harta benda, kau hanya lelaki miskin bodoh sebatang kara. Kau sadar tanpa uang kau tak akan bisa memenjarakanku, maka kau menerima saja saat aku menawarkan adikku. Semua yang kukatakan ini benar, kan?” Marisa menyeringai lebar merasa begitu puas telah membongkar apa yang Arsa sembunyikan. Arsa hanya diam karena semua yang Marisa katakan memang benar. Hanya saja ia tak mengira kenapa pengacaranya memberitahu Marisa. Padahal selama ini hanya pengacaranya itu lah yang peduli. “Tidak bisa bicara, eh? Apa kau juga bisu sekarang? Setelah aku membongkar apa yang kau sembunyikan? Ck, ck, kasihan sekali.” Marisa menepuk ringan pipi Arsa kemudian memberinya tamparan keras. Sontak apa yang dilakukannya membuat Arsa marah. “Kau!” geram Arsa. Ia bangkit dari duduknya berniat membalas Marisa. Namun, karena keadaannya yang tak bisa melihat, tangannya hanya memukul udara. Marisa tertawa terbahak, ia merasa puas mempermainkan Arsa. Saat Arsa berjalan ke arahnya karena mendengar tawanya, ia segera menyingkir kemudian dengan sengaja menjegal kaki Arsa membuat pria itu jatuh tersungkur. “Hahaha … hahaha … ya ampun, ya ampun, kau benar-benar lucu, hahaha.” Marisa tertawa terpingkal hingga memegangi perutnya. Sementara Arsa hanya bisa mengepalkan tangannya dan memukul lantai meluapkan kemarahan. Duagh! Marisa menendang punggung Arsa saat ia berusaha bangun berdiri. Ia kemudian menekan kepala Arsa ke lantai menggunakan kaki. “Sadarlah pria cacat tak berguna, kau tak akan bisa menyentuhku. Semakin kau berniat membalasku, semakin aku akan menginjak-injak dirimu. Bersyukurlah hari ini kau masih bisa berteduh di sini. Besok, kau akan tidur di jalanan bersama istri bodohmu itu.” Setelah mengatakan itu, Maris mengangkat kakinya melepaskan injakannya pada kepala Arsa. Ia kemudian melenggang pergi dari kamar meninggalkan Arsa yang menggeram marah hingga gemeretak giginya terdengar. “Kau akan membayarnya. Tak akan lama lagi, kau akan membayarnya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN