PART 4 - SUARA DI KEGELAPAN

1707 Kata
Kak Andi, itu kak Andi. Wajah sepupuku itu tampak lelah namun hal itu  tidak dapat menutupi betapa rupawannya dia. Banyak yang bilang kalau dia mirip salah satu artis Indonesia. Aku lupa nama artis itu, tapi aku ingat artis itu banyak membintangi sinetron di TV. “Mala… Ya ampun, sudah sampai kamu.” Segera ku berlari mendekati kakak sepupuku itu. Wajah lelah yang kulihat tadi sudah berubah dipenuhi senyuman dengan wajah tampak senang. “Sudah kak, tadi siang. Kak Andi apa kabarnya?” tanyaku padanya dengan tak kalah gembira. “Baik, tapi ya beginilah, sibuk sekarang. Mala bagaimana?” “Baik juga kok kak..” Ditengah perbincangan kami, Dewi menghampiriku dan kak Andi. “Mandi sana. Bau tau…” ujarnya tanpa basa-basi pada kakak semata wayangnya itu. “Iya bawel. Mau kemana?” kak Andi menatap penampilan Dewi yang terlihat sudah sangat cantik dengan pakaian yang tampak trendi kekinian. “Mau jalan-jalan sama Mala.” Ujar Dewi masih tak acuh. “Oh, hati-hati ya, jangan pulang kemalaman. Sudah kasi tau bapak sama ibu?” “Sudahlah… Mana berani aku keluar tanpa ijin. Memangnya seperti kakak yang doyan keluar diam-diam.” “Ih, mana ada aku keluar diam-diam! Kamu tuh yang suka keluar diam-diam ketemuin para penggarmu itu.” Aku hanya tersenyum mendengar percakapan Dewi dan Kak Andi. Bahkan setelah beberapa tahun tak bertemu mereka, hubungan mereka masih tampak seperti kucing dan tikus. Masih penuh perdebatan, tapi kutahu mereka sangat menyanyangi satu sama lain, walau tak disampaikan secara langsung. Banyak yang bilang bentuk kasih sayang  itu bermacam-macam, mungkin ini bentuk rasa sayang mereka berdua. *** “Ini jalan kita sudah benar, Wi?” aku mulai ragu dengan jalan yang sedang kami berdua lewati kini. Malam ini kami berencana untuk melihat pasar malam  yang berada di Sanur. Karena percaya pada Dewi yang kuyakin sudah cukup hafal jalan-jalan di Bali, jadi tak ada sedikipun raguku  padanya. “Harusnya sih benar ya. “ Dewi terlihat mulai ragu menjawab pertanyaanku tak seperti awal tadi saat kutanya mengenai jalan pintas yang menurutya akan membawa kami menuju tujuan dengan lebih cepat. Perasaanku mulai tak enak mengenai jalan yang kami lewati ini. Hanya sawah-sawah yang kami lihat dengan pencahayaan yang minim. Aku tiba-tiba teringat tentang vision yang kulihat tadi siang. Ya Tuhan… apakah ini waktunya. Kuperhatikan sepanjang jalan, memastikan apakah ada bangunan-bangunan tempat kami akan berlari saat dikejar pria-pria tak dikenal. Aku tak menemukannya, yang terlihat hanya sawah dikiri kanan jalan. Kalau menoleh kebelakang dari kejauhan akan tampak lampu-lampu dari rumah-rumah penduduk sekitar, dan didepan aku tak dapat melihat dengan jelas ada apa. “Kita balik saja ya Wi. Lewat jalan biasa aja.” Kupikir itulah hal terbaik yang harus kamu berdua lakukakuan untuk saat itu. “Ehm.. iya, kita lewat jalan biasa aja.” Dewi sepertinya menyerah dengan pilihan awalnya. Mungkin di menyadari apa yang dia rencanakan tidak berjalan baik. Aku tak tahu pasti jam berapa saat ini karena tidak memiliki jam tangan, namun kurasa kita hampir sejam berkeliling namun belum sampai juga ke Pasar Sidhu, tujuan kami. Tampak sampai 5 menit kami berjalan, Dewi menghentikan motornya disebuah persimpangan jalan. “Ada apa Wi?” tanyaku yang mulai khawatir akan keadaan kami. “Aku lupa, tadi kita lewat kiri atau kanan ya?” Aku menatap kedua jalan dihadapan kami. Kedua jalan tampak sama, yang membedakan hanya sebuah warung kecil yang berada di jalan sebelah kiri dan disebalah kanan hanya tampak rumah-rumah warga. “Tadi kayanya kita lewat jalan yang itu deh.” Tunjukku kejalan yang terdapat warungnya. “Iya-ya? Aku tadi gak perhatiin warungnya.” Dewi tampak ragu dengan jawabanku. “Kita tanya orang aja kalau gitu, daripada kita tersesat.” Dewi menyetujui saranku, kami berduapun memutuskan untuk menghampiri warung kecil yang tampak berjualan makanan dan minuman ringan serta bensin dengan botolan kaca. “Permisi Pak, numpang tanya. Kami tadi dari Kuta, ma uke Sanur. Kira-kira kita lewat jalan ini atau jalan yang disebelah ya , Pak?” Dewi bertanya seramah mungkin pada seoarang pria paruh baya yang sedang duduk minum kopi didepan warung tersebut. “Deknya lewat sini saja, nanti lurus terus, pas ada pertigaan belok kanan terus lurus saja sampai ketemu pohon besar nanti kekiri ya. Nanti ketemu jalan besar, adek tinggal ikuti saja petunjuk arah diajalan ya.” logat Bali yang begiti kental terdengar jelas dari ucapan si Bapak. Syukurnya Dewi tidak berbicara dalam Bahasa Bali, kalau begitu mungkin aku tidak akna paham sama sekali ucapan si Bapak. “Terima kasih ya Pak.” Ucapku dan Dewi serentak. Lalu pergi mengikuti instruksi Bapak yang tadi menolong kami. Jalan yang kami lewati terasa semakin gelap karena kurangnya lampu-lampu jalan dan sangat sedikit rumah warga yang kami lewati. “Jalan ini seperti beda sama jalan yang tadi awal kita lewati, Wi. Tadi kita gak ada lewat jalan seperti ini kan?’ tanyaku yang mulai penasaran dengan jalan yang kami lewati. “Iya, tapi masa bapakknya bohng sih. Mungkin dia kasi tau jalan yang lebih mudah untuk dilewati.” Balas Dewi. Kucoba meyakinkan diri dengan ucapan Dewi. Mungkin benar ucapannya, si bapak membantu kami melewati jalan yang lebih mudah kami lewati. Tiba-tiba Dewi melambatkan laju motor bebek milik ayahnya yang sedang kami naiki. “Dengar suara orang gak, Mal?” Dewi menoleh sebentar kepadaku lalu fokus kembali ke jalan. “Dengar apa?” tanyaku yang memang tak mendengar suara siapapun. “Tadi ada suara cewek.” Dewi mencoba meyakinkanku. “Seriusan? Aku gak dengar apa-apa.” “Beneran, Mal.” Kami berdua akhirnya memutuskan menghentikan motor kami tepat dibawah lampu jalanan tak jauh dari sumber suara yang Dewi dengar. “Tuh, kamu dengar gak?” Dewi menatapku dengan serius lalu menayakan hal yang sama padaku. Kucoba diam sejenak dan mencoba mencari suara  yang Dewi katakana padaku. “IiiiIhh, horor banget ini, sudah jalanan sepi, aku malah dengar yang seperti ini. Apa kita pergi aja ya Mal? Mungkin itu mba Kunti… Iiiih amit-amit ketemu yang begituan.” “Tunggu Wi…” aku bisa mendengar suara seperti yang Dewi katakana sebelumnya. Memang benar terdengar suara wanita dari kejauhan yang berteriak minta tolong. “Benar kata kamu, ada yang minta tolong.” “Tapi kita gak tahu itu manusia atau bukan Mal. Kalau senadainya itu beneran hantu bagaimana?” Dewi kini terlihat ketakutan, membuatku merasa ikut takut juga. “Mau kita cek dulu gak, Wi? Siapa tahu beneran ada yang butuh pertolongan.” “Cek kesana?” Dewi menunjuk jalan bebatuan belum diaspal yang masih berhubungan dengan jalan yang kami lewati.  Jalan itu benar-benar sepi dengan kiri-kanannya dipenuhi pepohonan rimbun, tak ada lampu disana, yang terlihat hanya kegelapan yang menyeramhkan sangat berbeda dengan jalan yang kami lewati saat ini. “Aku takut Mal.” Sambung Dewi. Aku dan Dewi mendengar suara teriakan minta tolong itu kembali dan kini terdengar lebih kerasa. Aku tak tahu pasti apakah ini suara manusia atau bukan, namun yang pasti aku harus mencoba menolongnya. “Ya sudah, kamu tunggu disini ya. Aku akan memeriksa sebentar.” “Kamu yakin, Mal?” Dewi menatapku ragu. Aku tahu pasti, sepupuku itu pasti merasa khawatir padaku. “Iya, aku gak akan jalan terlalu jauh kok Mal. Kalau ada apa-apa kamu segera minta bantuan ya.” Kuyakinkan sepupuku itu. Bohong kalau aku tidak takut, namun aku lebih takut kalau ada sesuatu yang buruk akan menimpa seseorang saat ini. Kumenyebrang jalanan sepi ini dan terus melangkah hingga sampai didepan awal jalan bebatuan tempat aku mendengar suara tadi. TIba-tiba kudengar lagi suara minta tolong yang terasa semakin dekat ditelingaku. “Ada orang disini?” kukeraskan suaraku. Aku bingung harus mengatakan apa saat ini. “Tolong… Disini…” suara rintihan kudengar lagi. Dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki kucoba berjalan mencari sumber suara itu. Aku benar-benar berharap bukan sesuatu yang menakutkan yang akan tiba-tiba muncul dihadapanku ditengah kegelapan ini. Bersyukur awan mulai bergerak dan membiarkan sinar rembulan menerangi jalanan yang sedari tadi gelap ini. Dari jarak sekitar 20 meter aku dapat melihat seoarang gadis sedang duduk lemas dibawah sebuah pohon. Baju kuning yang ia gunakan membuatku dapat melihat keberadaannya dengan jelas. “Oke, bajunya warna kuning. Bukan putih. Dia dibawah pohon bukan diatas pohon. Dia mungkin manusia.” aku mencoba berpikir positif dan menyemangati diri sendiri. Aku masih terus berjalan penuh kehati-hatian memastikan gadis itu tidak berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Tuhan, seharusnya aku tidak terlalu sering menoton film  horror. Ini benar-benar memberi dampak yang tidak baik buat pikirannya.  “Tolong aku…” gadis itu sepertinya melihatku. Ia mengencangkan suaranya lebih keras dari sebelumnya. Ia pasti kesakitan, suaranya menggambarkan semuanya. Segera kuberlari secepat mungkin menghampirinya. Wajah gadis itu terlihat lemas seperti telah melakukan hal fisik yang keras.  “Iya-iya… Ayo bangun…” kubantu menopang tubuh gadis berambut hitam sebahu ini. Wajahnya sangat cantik walau terlihat kotor dan pucat. Kuperkirakan usianya masih dibawahku. “Aaaaa…” gadis itu merintih saat kucoba bantu berdiri. Lututnya ternyata terluka cukup parah dan mengeluarkan cukup banyak darah hingga mengotori rok hitam miliknya. “Kau tidak apa-apa? Apa mau diam disini saja? Aku akan carikan bantuan dulu, oke?” itulah hal terbaik yang mungkin bisa kulakukan karena sangat tidak mungkin untuk gadis itu berjalan dengan luka dikakinya. “Kumohon, jangan tinggalkan aku. Tolong….” Tangan gadis itu menahan pergelangan tanganku. Wajahnya memerah seakan ingin menangis. “O..ok, baiklah. Tapi, lukamu harus segera dibersihkan dan diobati. Kau sendirian disini?” tanyaku padanya sambil memeriksa sekeliling kami. “Iya, tolong bantu aku untuk pergi dari sini. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku.” genggaman tangannya terasa semakin kuat mengerat tanganku. Ia benar-benar terlihat ketakutan kini. “Baiklah. Aku tidak cukup kuat untuk menggendongmu, kau harus berusaha berdiri dan berjalan. Aku akan membantumu.” Kucoba sekali lagi mengangkat tubuh gadis yang berukuran tak jauh berbeda dari tubuhku ini. Wajahnya jelas menunjukan rasa sakit yang tertahan. Ia menggigit bibir bawahnya, mungkin untuk menahan rasa sakitnya. Berlahan kami berjalan mencoba berdiri dan berusaha berjalan untuk keluar dari jalan bebatu ini. “Kamu bagaimana bisa disini seorang diri?” tanyaku penasaran karena mengingat tidak mungkin gadis sepertinya tiba-tiba berada ditempat ini tanpa sebuah alasan. “Aku mau dijual.” suaranya bergetar mengucapkan hal yang sontak membuatku tak percaya dengan ucapannya. Tangingannya yang seakan sedari tadi tertahan, pecah sudah, gadis ini tidak mungkin berbohong, pikirku. “DIjual siapa?” tanyaku. Ini benar-benar hal yang sangat mengejutkan untukku aku bahkan nyaris tidak percaya dengan ucapan gadis yang baru kutemui ini. “Ada orang jahat yang menipu kami. Katanya kami akan dijadikan penari di Jepang, tapi tadi aku tidak sengaja mendengar mereka berbicara kalau aku dan gadis-gadis lainnya bukan akan dijadikan penari tapi akan dijual.” “Ya Tuhan… Ada yang lain juga? Keterkejutanku seakan tak ada habisnya saat ini. Ini benar-benar bukan hal yang pernah aku bayangkan. Bagaimana mungkin ada orang-orang sejahat itu didunia ini. “Ada 6 orang termasuk aku…” “Aku akan berusaha menolongmu dan gadis-gadis yang lain.” tekadku, entah bagaimana caranya, yang pasti aku harus menyelamatkan gadis ini dan yang lainnya.  Langkah kami terhenti saat berada hampir diakhir jalan bebatu ini. Gadis yang bersamaku kini merintih kesakitan. Luka dilututnya cukup besar dengan darah yang masih mengalir, itu jelas pasti menyakitkankan untukknya. Aku bahkan baru memerhatikan ada luka juga dikedua siku gadis ini.  "Mau berhenti disini dulu?" tanyaku padanya.  "Tak apa-apa, kita terus jalan aja." ujarnya.  Kami terus berjalan dengan berlahan menuju tempat sepupuku Dewi sedang menunggu kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN