Suatu kenangan di musim hujan tahun 1989
“Bu, bibi tukang sayur yang tadi tidak apa-apa?” seorang gadis kecil mengangkat mangkuk plastik berisikan bubur ketan hitam kesukaannya dan menaruhnya diatas meja kayu didekat dapur tempat ibunya tampak sibuk dengan kegiatannya.
“Maksud Mala siapa?”
“Itu, bibi yang tadi datang bawa sayur-sayuran. Tempat ibu biasa belanja.”
“Oh, dia kenapa memangnya?”
“Aku lihat bibi itu kena serempet motor didepan gang. Kasihan bu, kakinya luka-luka. Sayurannya jatuh semua.”
“Kapan kamu lihat?” sang ibu tampak terkejut dengan ucapan sang anak yang baru menginjak 5 tahun itu. Dia pernah mendengar saat anak masih kecil, mereka memiliki dunia khayalan mereka sendiri, namun gadis kecilnya ini jelas berbeda dengan anak kebanyakan. Bukan dunia khayalannya yang dimilikinya, namun suatu anugerah yang akan sulit diterima nalar saat didengar. Hal ini pertama kali disadarinya saat putri sulungnya berusia 4 tahun, ketika rangkaian kalimat yang keluar dari putrinya itu sudah cukup rapi dan mudah dipahami.
“Tadi pagi saat baru pulang beli bubur sama ayah.”
“Kamu ada-ada saja, kalau bibi kena serempet kan dia tidak bisa jualan hari ini. Tadi dia kelihatan baik-baik saja kok.”
Gadis kecil itu terdiam, terlihat bingung dengan perkataan ibu dan ingatannya sendiri. Dia jelas melihat bibi itu kena serempet saat ia berjalan-jalan pagi ini bersama ayahnya.
“Sudah, kamu habiskan bubur kamu ya. Ibu keluar sebentar.”
Sang ibu melepaskan sayur-sayuran yang tengah dipotongnya. Ia berlari keluar rumah mungil yang berada didepan gang sempit yang hanya dapat dilalui paling banyak 2 motor.
Ia mencoba mencari bibi tukang sayur yang hampir setiap hari berjualan dilingkungannya, menjajakan sayur-sayuran untuk bertahan hidup selama bertahun-tahun.
Pandangannya terhenti. Ia melihatnya, wanita berusia hampir 40 tahun itu segera berjalan dengan cepat mencoba menghampiri wanita yang tengah menjunjung bakul berisi sayuran diatas kepalanya.
“Bi Mar!” teriaknya dari kejauhan. Berulang kali ia memanggil namun bibi penjual sayur itu tidak mendengar panggilannya. Jarak mereka yang cukup jauh membuat sang ibu mencoba berlari sambil terus memanggil.
Namun, takdir tidak semudah itu untuk dihentikan. Jalan Tuhan tidak semudah itu diubah. Sang ibu tidak bisa menghentikan kejadian itu sesuai inginnya begitu saja. Apa yang dikatakan putrinya menjadi nyata, bibi penjual sayur itu terjatuh dijalanan yang dipenuhi genangan air sisa hujan semalam, karena pengendara motor yang terlihat kurang memperhatikan jalanan. Ia berlari sekuat mungkin, mencoba membantu wanita malang itu. Itulah satu-satunya yang bisa ia lakukan.
Sejak hari itu, sang ibu selalu waspada dengan setiap cerita yang keluar dari bibir putri kecilnya. Ia mempersiapakn diri untuk hal yang akan sulit dipahaminya. Jujur, hal itu bagai tanggung jawab besar untuknya, namun yang terpenting adalah menanamkan pesan bahwa gadis kecilnya itu terlahir begitu istimewa dengan berkah yang tak terkira. Tak henti-hentinya juga ia selalu mengingatkannya bahwa hal ini harus menjadi rahasia antara mereka berdua.
***
“Are you okay, Mal? Kamu baik-baik saja kan?” tanya sepupuku.
Ia terlihat cukup khawatir dengan perubahan ekspresi wajahku.
Kucoba menipunya dan diriku sendiri. Mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi dan aku baik-baik saja.
“Oh okay, yuk kekamar.” Dewi tak menarik tanganku lagi seperti tadi. Kami berjalan melewati ruang tamu yang hanya berisikan sofa, meja kayu dan lukisan besar bergambarkan pemandangan gunung yang menenangkan. Dari ruang tamu, Dewi membawaku menuju ruang keluarga dirumah ini. Berukuran sangat besar dengan banyak foto-foto yang bergantung menunjukan siapa pemilik rumah ini.
“Ini kamar kamu juga mulai sekarang.” langkahku terhenti didepan kamar tidur yang terlihat sangat bersih dan wangi. Terdapat ranjang berukuran besar ditengah kamar dan sebuah lemari kayu dengan ukiran dipermukaannya, tanpak kuat dan klasik. Warna ungu cat tembok kamar ini berpadu serasi dengan seprai kasur dengan motif bunga tulip berwarba putih dan kuning. Kamar ini benar-benar menggambarkan sosok Dewi.
Dewi membuka salah satu pintu dari lemari besar tiga pintu yang masih kuperhatikan ukiran-ukirannya.
“Mala bisa taruh pakaian dibagian sini ya. Nanti tidurnya disini.” Dewi mendekati ranjangnya dan menunjuk sisi kanan ranjang yang berdekatan dengan satu-satunya jendela dikamar ini.
“Nah, kalau aku lagi gak pakai, kamu bisa pakai meja ini ya. “ aku tersenyum mendengar ucapan Dewi. Meja belajar yang berada didekat jendela kamar tampak dihiasi oleh buku-buku Ekonomi milik Dewi namun tampak sedikit berdebu disisi-sisinya. Dewi sepertinya jarang menggunakan meja itu. Aku juga mungkin akan jarang menggunakannya. Toh untuk apa, aku tidak berkuliah sepertinya.
“Makasi ya.” Tak ada lagi ucapan terbaik yang bisa kukatakan pada gadis cantik yang kini bersamaku. Ia masih sangat baik dan perhatian seperti dulu.
***
Jam menunjukan pukul 1.30 siang saat aku selesai menikmati makan siang pertamaku di Bali hari ini. Awalnya kukira akan menikmati makan siang ini bertiga, bersama Dewi dan paman Bayu. Ternyata, bibi Ayu dapat pulang lebih awal hari ini. Bibiku ini bekerja sebagai guru disalah satu sekolah dasar negeri yang berada di Jimbaran. Biasanya setiap hari senin dan rabu, ia memberikan pelajaran tambahan bagi murid-murid kelas enam hingga jam 2. Namun tampaknya, tak ia lakukan hari ini.
Kata ayah, sudah sejak muda bibiku ini mencintai dunia Pendidikan. Awal menjadi guru, ketika ia lulus PNS, ia dikirim ke Bima selama beberapa tahun dan semua itu dilakukannya dengan penuh sukacita. Hingga akhirnya ia ditransfer ke Bali dan saat itulah bibiku bertemu pamanku, suaminya saat ini. Kudengar cerita cinta mereka berdua penuh lika-liku, nyaris tak bisa bersama. Namun, namanya jodoh, siapa yang bisa atur, kalau Tuhan sudah memutuskan.
Usai membantu mencuci piring dan membereskan meja makan, aku menikmati waktuku dengan bersantai diatas gazebo yang sejak tiba dirumah ini menarik perhatianku. Angin bertiup sepoi-sepoi. Rindangnya pohon mangga membuat nyaman siapapun yang berada di gazebo ini, termasuk diriku. Sebenarnya ini waktu yang tepat untuk beristirahat atau tidur siang seperti yang dilakukan Dewi saat ini. Bibipun menyuruhku beristirahat juga, namun kutolak. Aku tidak terbiasa tidur siang, jadi kuputuskan untuk menemani menemaninya menilai tugas-tugas muridnya.
Dengan teliti, bibiku menilai satu persatu tugas Matematika diatas lembaran-lembaran kertas yang katanya adalah ulangan harian siswanya.
“Aku bisa bantu bi.” tawarku ingin memperingan pekerjaan bibiku.
“Tidak usah, ini Cuma sedikit. Sebentar lagi juga selesai.” tolak bibiku ramah.
Benar kata bibiku, tak sampai 10 menit ia menyelesaikan pekerjaannya. Ia melepaskan kaca matanya diatas tumpukan kertas ulangan para siswanya dan mulai tersenyum kearahku.
“Kamu jadi mau kuliahkan tahun ini?” tanyanya padaku tanpa kuduga.
Jujur, aku bingung harus menjawab apa. Rasa sungkan begitu menyelimuti hatiku. Mataku bahkan tak berani menatap wajah bibiku itu karena rasa tak nyaman bercampur malu. Tak pernah sedikitpun kuingin menjadi beban untuk siapapun. Biar kukubur dalam-dalam inginku. Dapat membahagiakan keluarga sudah lebih dari cukup untukku.
“Kok diam, Nir? Ibumu bilang, kamu mau kuliahkan?” bibiku mengulangi topik yang sama, kutahu ia sedang mencoba menatap kedua mataku yang menghindar darinya.
“Nir…” tangan hangat bibiku menggenggam jemariku saat itu. Tak banyak yang memanggilku “Nir”, hanya ibu dan bibiku ini.
Entah mengapa inginku menangis saat itu. Rasa rapuh yang kusimpan erat didalam hati seakan terkuak tak mampu dibendung lagi. Wanita dihadapanku kini seakan bisa membaca isi hatiku. Tangan kanannya mengeluslenganku dan tangan kirinya tetap menggenggam jemariku.
“Bibi ini juga keluarga kamu. Jangan sungkan begini sama bibi ya.”
“Iya bi, tapi nanti aku cuma jadi beban saja untuk bibi.” Inilah yang kurasakan saat ini, numpang tinggal disini saja sudah membuatku merasa menjadi beban untukku.
“Jangan begitu. Bibi sudah ngomong sama ibumu, tahun ini kamu coba tes masuk universitas Udayana ya. Kamu anak yang pintar, sayang kalau kemampuanmu itu digunakan sebaik-baiknya. Kamu tidak usah pikirkan soal biaya atau apapun itu. Cukup belajar dengan tekun dan giat ya.”
“Saudara bibi ya cuma ayahmu saja, Nir. Waktu kecil, tiap hari ayahmu antar bibi kesekolah dengan sepedah ontel milik kakekmu. Saat bibi tamat SMA, bibi mau langsung bekerja saja, karena Nirmala pasti tahukan, kakek dan nenek penghasilannya tidak seberapa, dapat hasil cuma dari berladang talas dan ubi. Tapi ayahmu, ia bekerja demi bisa membayarkan kuliah bibi padahal ia saja tidak kualiah. Bibi bisa seperti sekarang berkat ayahmu.”
Dapat kulihat dengan jelas mata bibi berkaca-kaca menceritakan masa lalunya. Ayah tak pernah menceritakan kalau dialah yang membiayai kuliah bibi. Ayah hanya selalu bercerita tentang betapa bangganya ia pada bibiku ini.
“Jadi, kamu harus kuliah ya. Jadi orang hebat. Buat bangga ibu dan almarhum ayahmu.” Senyuman hangat bibi dam ucapan tulusnya tersampaikan padaku. Benar,aku harus menjadi sukses dan membanggakan keluarga.
Kubalas senyuman bibiku dan menjawab inginnya. “Aku akan berkuliah bi. Terima kasih banyak.”
Oh Tuhan, terima kasih. Aku akan berkuliah. Inginku segera menceritakan ini semua pada ibu. Membagikan rasa bahagiaku.
***
“Makasi ya Wi…” kuserahkan Handphone yang dipinjamkan Dewi padaku untuk menghubungi Ibuku di Lombok.
“Sama-sama. Kamu kalau mau hubungi keluarga di Lombok bilang ya. Pakai handphoneku aja.” Dewi memandangku melalui pantulan cermin meja riasnya. Ia tampak sibuk merias wajahnya.
“Kamu mau pakai ini?” ia menunjukan lipstik miliknya padaku.
“Ahh, gak Wi, aku gak biasa pakai lipstik.” Jawabku jujur. Mana kenal aku peralatan makeup. Bedak tabur saja sudah cukup untukku.
“Ih, kamu itu harus belajar dandan, Mal. Untung aja kamu cantik, jadi tanpa make up pun gak terlalu malu-maluin.”
“Cantik apanya. Kamu itu lo yang cantik, Wi.”
“ Iya aku memang cantik. Bisa lebih cantik kalau pake make up. Sini coba pakai.” Dewi membalikkan tubuhnya menatapku yang tengah memandanginya dari atas ranjang.
“Gak usah, Wi. Aku mana cocok pakai begituan.” Jujur aku memang belum pernah menggunakan make up, mungkin akan terlihat aneh untukku.
“Sini, coba dulu.” Dewi menarik tanganku dan mendudukanku diatas kursi didepan meja riasnya. Kuperhatikan ada berbagai macam jenis peralatan make up di atas meja, entah apa nama-namanya. Aku hanya tau bedak dan lipstik saja.
“Kamu sudah pakai pelembab wajah?” Dewi memperhatikan wajahku dengan seksama.
“Pelembab wajah? “ aku benar-benar tak tahu itu apa.
“Ini. Kamu harus pakai ini supaya wajah tetap lembab, supaya gak cepat keriput.” Dewi mengoleskan cream wajah berwarna putih kekulit wajahku. Terasa dingin dan sedikit lengkat terasa, aromanya sangat enak tercium,lembut seperti aroma mawar.
“Naah, baru pakai bedak. Gak usah pakai foundation ya kita juga cuma mau jalan-jalan aja.”
“Fondasi?” aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Dewi.
“Bukan Fondasi Mal, tapi foun-da-tion. Ini lo alas bedak. Kamu lucu banget sih.” Dewi tertawa menjelaskan ucapannya. Ia juga menunjukan sebuah botol kecil yang katanya berisikan alas bedak.
“Oh… begitu… iya-iya…” aku memperhatikan botol alas bedak yang baru pertama kali kulihat itu.
“ Aku pikir alas bedak itu ini, Wi?” aku menunjuk sponge bedak yang digunakan Dewi untuk mangaplikasin bedak kewajahku. Namanya kan alas bedak, jadi kupikir untuk alasnya bedak.
“Bukan Mala sayang… hahahah” Dewi tertawa dengan keras mendengar ucapanku.
“Mal, Wajah kita bisa keliatan mulus, noda-nodanya bisa tertutupi, bisa kinclong seperti panci yang baru digosok kalau pakai alas bedak ini. Nanti kalau ada waktu aku make up in kamu ya. Full make up. “ Dewi terlihat begitu semangat dengan janjinya.
“Alis kamu sudah bagus, rapi tebal. Jadi sekaramg tinggal pakai lisptik aja. “ Dewi memandangi kotak biru yang berisikan banyak lipstik didalamnya.
“Kulit kamu putih, jadi kamu sih sebenarnya cocok pakai warna apa aja Mal. Tapi lebih bagus pakai yang ini aja ya, supaya keliatannya natural dan tetap muda.” kupandangi Dewi begitu serius dengan apa yang sedang ia lakukan kini. Ia mengaplikasikan lipstik merah muda kebibirku.
“Oh my God! Kamu cantik banget Mal. Padahal Cuma makeup sederhana gini aja lo.”
Kupanadangi wajahku didepan cermin. Terlihat sedikit berbeda. Lebih cantik, lebih segar. Aku merasa seperti mendapatkan energi baru yang membuatku merasa lebih percaya diri. Luar biasa memang bagaimana hal-hal ini bisa me
“Makasi ya Wi..”
“Sama-sama. Yuk sekarang kita siap-siap pergi.” Dewi merapaikan peralatan make-upnya diatas meja. Lalu menyisir rambut hitamnya. Aku menunggunya didepan pintu kamar sambil memandang langit diluar rumah.
Langit diluar sudah tampak memerah. Lampu-lampu dihalaman sudah dinyalahkan sebagai penerang. Dari arah ujung gang masuk rumah ini, aku melihat seorang pria berjalan menuju rumah. Entah siapa iti, hanya siluit tubuhnya yang tampak.