Xavera terus tersenyum menatap lekat Tezza dengan ekspresi wajah manja membuat pria muda itu menahan diri untuk tidak muntah. Demi Tuhan, Tezza rasanya ingin segera angkat kaki dari sana tidak tahan dengan kelakuan wanita aneh bin ajaib itu, tetapi entah kenapa wanita di hadapannya ini seperti memiliki magnet dan juga ribuan cara agar dia tetap diam di sana menuruti setiap kemauan wanita itu.
Pria itu memalingkan wajah karena cukup gerah karena terus ditatap tanpa henti. Ia menatap ke sekelilingnya dan mendapati beberapa pria di sana menatap ke arah Xavera dengan tatapan buas dan liar, seakan ingin menelanjangi wanita yang duduk di hadapannya ini. Tezza melirik pakaian wanita di depannya, sebenarnya penampilannya cukup sopan. Wanita itu mengenakan dress hijau formal di atas lutut, hanya saja ketika duduk, cukup memperlihatkan sebagian pahanya. Tezza sengaja melempar serbet yang ada di atas meja ke pangkuan Xavera membuat wanita itu terkejut dan ingin mengumpat kasar pada pria itu, tapi tertahan akibat ucapan singkat Tezza.
"Tutupi paha algojo milikmu itu," perintah Tezza singkat.
Xavera yang mendengarnya lantas membelalakkan mata pada Tezza sembari mengambil serbet di pahanya. Wanita itu menatap lekat serbet yang kini dalam genggamannya dan mencoba mencerna ucapan pria itu. Seolah bisa dengan mudah membaca isyarat mata yang diberikan Tezza, Xavera segera melebarkan serbet itu dan menutupi sebagian pahanya yang terbuka lebar dengan mengulum senyum malu-malu.
Tezza menyadari jika wanita yang duduk di depannya itu cukup menarik perhatian para pria hidung zebra yang ada di sana. Pria itu juga menelisik Xavera dari ujung rambut sampai separuh tubuhnya yang sebagian tertutup oleh meja. Xavera mengangkat sebelah alis dan menggigit bibirnya dengan gerakan menggoda pada Tezza.
"Kenapa kamu ngeliatin aku gitu amat? Mulai jatuh cinta ya? Kalo iya, aku bersyukur banget. Jadi, aku gak susah payah buat ngeluluh lantahin hati kamu," ucap wanita itu penuh percaya diri dan tanpa rasa malu.
Tezza memutar bola mata lantas menggeleng tidak habis pikir dengan ucapan Xavera. Tingkat kepercayadirian wanita di depannya begitu tinggi bahkan tidak tertandingi sepertinya dengan makhluk Tuhan lain. Tezza harus meningkatkan kesabarannya untuk menghadapi wanita aneh dan mungkin sedikit terkena gangguan jiwa di hadapannya itu.
"Jangan terlalu percaya diri, Tante. Saya sama sekali tidak memiliki minat padamu.” Jawaban sangat pedas keluar dari mulut Tezza membuat Xavera harus menelan saliva karena terkena mental saat itu juga.
***
Xavera menarik napas lalu mengembuskan sambil mengepalkan telapak tangannya menahan emosi yang siap muncrat kapan saja. Mulut berondong dingin-dingin empuk di depannya itu tajam bak pisau pemotong leher sapi.
Baru saja Xavera merasa senang hampir melayang karena perhatian yang diberikan Tezza padanya karena menyuruh menutupi pahanya dengan serbet, meskipun dengan embel-embel paha algojo, tetapi setelah itu ia didorong ke dasar jurang dengan begitu tega.
'S3tan! Baru juga gue ngerasa terbang melayang ke angkasa, tau-tau gue dihempas lagi ke dasar jurang. Mulutnya pedes banget kayak cabe s3tan!' umpat Xavera dalam batinnya.
"Jadi, kenapa kamu ngeliatin aku segitunya kalo gak jatuh cinta?" tanya wanita itu penasaran.
"Usiamu berapa sekarang?" tanya Tezza menaikkan sebelah alisnya.
Xavera mendadak merasa insecure mendengar pertanyaan menohok Tezza padanya. Ia takut pria itu akan lari terbirit-b***t saat mendengar jawabannya atau bahkan akan menghinanya.
"Usia kamu sendiri berapa sekarang?" Xavera bertanya balik pada Tezza.
"Nineteen," jawab Tezza singkat dan cepat.
Xavera sukses tersedak salivanya sendiri mendengar jawaban Tezza.
'Anjim! Beneran kayak gue tantenya kalo kayak gini. Sialan! Beda 11 tahun, kampret!' umpat Xavera dalam batinnya.
"I'm-thirthy," lirih Xavera sambil menunduk.
Wanita itu ingin menutup kedua telinganya, takut dengan jawaban yang akan diberikan Tezza setelah tahu usianya. Xavera perlahan mengangkat wajah dan melirik Tezza yang hanya duduk diam sambil melipat kedua lengan ke depan d**a memperhatikan Xavera kembali.
"Gak ada yang mau kamu ucapin lagi gitu-sama aku? Setelah kamu tau usiaku?" pancing Xavera.
Tezza mengedikkan bahunya seolah tidak peduli.
"Kamu bukan asli orang Indonesia?" Xavera mulai mengorek-orek informasi tentang Tezza.
"Hm!" Tezza hanya menjawab dengan gumaman.
Xavera mengangguk dan membatin, ‘bener-bener manusia irit suara. Buat jawab iya aja kayaknya susah banget. Nih orang selain angkuh, dia juga kayak kanebo kering—kaku banget.’
"Kamu datang ke sini buat liburan? Atau kuliah?" selidik Xavera.
"Something! Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan pada orang asing."
Jawaban singkat Tezza itu kini sama sekali tidak membuat Xavera tersinggung. Ia menghargai pria itu untuk tidak menjelaskan secara rinci. Ia cukup tahu diri dan kembali mencoba mencairkan suasana di antara mereka berdua.
"Baiklah, it’s okay. Soon, aku juga bakal tau apa yang kamu kerjain, ‘kan kita jodoh," ucap Xavera sambil menaik turun alisnya mencoba menggoda Tezza.
Tezza hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan dan ekspresi Xavera padanya.
Makanan pesanan mereka dihidangkan satu per satu, Xavera menatap lekat dengan memasang ekspresi sangar kepada wajah pelayan wanita itu agar tidak mencuri lirik pada jodohnya.
"Kenapa Tante bisa ada di sini?" tanya Tezza santai sambil memotong steaknya.
Xavera spontan terbatuk-batuk karena tersedak salivanya sendiri. Panggilan j*****m itu meluncur bebas dari mulut Tezza untuknya. Pria itu dengan baik hati menyodorkan segelas air putih ke hadapan Xavera.
"Makan tidak perlu terburu-buru. Tidak ada yang akan mengambilnya," ujar Tezza.
'Mulut cabe s3tan! Semua ini karena mulut j*****m elo itu manggil gue tante. Si4lan banget! Kenapa sih manggil gue tante mulu.' Caci maki Xavera dalam batinnya.
"Panggil aku Xave aja, gak usah pake embel-embel tante. Kamu bukan keponakanku, tapi kamu itu jodoh aku. Atau aku lebih suka kalo kamu manggil aku, 'Sayang'," kata Xavera penuh penekanan.
“Sangat tidak sopan menyapa orang yang lebih tua dengan memanggil nama. Bukankah begitu jika di sini?” Xavera mengembuskan napas beratnya mendengar jawaban Tezza.
"Tapi aku rela gak disopanin sama kamu. Dua rius deh!" kata wanita itu terus mencoba sabar.
"Lalu jawabannya? Kenapa kau bisa ada di sini? Sangat sulit mempercayai jika ini sebuah kebetulan,” tuding Tezza.
Xavera berdecak. "Tadinya aku ada jadwal temu klien, tapi tiba-tiba jadwalnya di-cancel. Dia ada jadwal syuting mendadak. Jadi, ya gitu deh. Aku sudah terlanjur di sini dan ngeliat kamu, si jodoh aku, mangkanya aku samperin." Cerita Xavera dan Tezza hanya mengangguk.
Keduanya kembali melanjutkan menyantap makanannya dengan damai dan tentram. Tezza seolah menyadari, jika orang-orang di dalam restoran itu menatap mereka berdua. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya, Tezza merasa diperhatikan oleh orang-orang selama berada di Indonesia dan kini ia memiliki kesempatan untuk bertanya pada orang yang sudah terbiasa hidup di Indonesia, mengingat wajah Xavera bukan asli orang pribumi.
"Apa semua orang di sini kalau melihat yang good looking akan menatapnya terus menerus?" Xavera yang begitu peka langsung menatap sekitarnya.
Wanita cantik nan seksi itu menaruh garpu dan pisaunya lalu menyangga dagu dengan kedua telapak tangannya memandang lekat Tezza.
"Tentu saja. Jika mereka manusia normal pasti akan melakukan hal seperti itu, bahkan makhluk Tuhan yang melenceng pun akan seperti itu," jawab Xavera dengan senyum menggoda Tezza.
Tezza berdecak. "Saya tidak suka diperhatikan sedemikian rupa. Itu adalah hal yang sangat menyebalkan!" gerutu Tezza.
Xavera terkekeh. “Orang gak akan peduli. Mereka ah—tidak, termasuk aku, akan sangat senang memperhatikan pria tampan, apalagi pria itu, kamu.” Xavera mengedipkan sebelah matanya dan Tezza sama sekali tidak terpengaruh.
Tezza berdiri dan berjalan menuju kasir, sedangkan Xavera mengamati pria muda itu dengan saksama. Ia memperhatikan punggung lebar, postur tubuh Tezza sangat proposional dan masuk dalam kriteria pria yang ia cari selama ini. Akan tetapi, pikiran Xavera tiba-tiba tersadar dengan apa yang dilakukan Tezza saat itu, wanita itu tidak berharap pesanannya akan dibayar oleh Tezza karena seharusnya ia yang membayar semuanya karena ia yang mengajak Tezza makan.
"Saya mau pulang. Kau bisa lanjutkan sendiri makannya," pamit Tezza sambil mengambil gitar yang diletakkan di kursi.
Lengannya dicekal Xavera. "Kamu bayarin makanan aku?" tanya Xavera bingung.
"Iya," jawab Tezza singkat.
"Kenapa dibayari? Seharusnya aku yang bayari, ‘kan aku yang ngajak kamu makan," protes Xavera.
Wanita itu cukup tahu diri. Tezza bisa jadi hanya mahasiswa yang memiliki uang jajan pas-pasan karena dulu juga ia sewaktu seusia Tezza seperti itu. Jadi, ia akan sangat memaklumi jika dirinya yang membayar makanan mereka.
"Apa hal sepele seperti ini harus diributkan? Kekanakan sekali," keluh Tezza melangkah meninggalkan Xavera.
Wanita itu menganga mendengar ucapan Tezza yang begitu dewasa sama sekali tidak seperti pikiran kebanyakan pria seusianya. Lagi pula, bahasa yang dipakai Tezza sama sekali tidak berlebihan dan benar-benar elegan. Xavera semakin bertekad tidak akan melepaskan jodohnya. Ia akan mengejarnya sampai benar-benar ia dapatkan.
"Tunggu!" jerit Xavera pada Tezza yang berjalan dengan langkah lebar di depannya.
Sepatu tinggi terkutuk yang dipakai Xavera membuatnya tertatih-tatih untuk mengejar ketertinggalan langkah Tezza yang lebih dulu.
"Anjir! Sakit banget lagi kaki gue. Bener-bener si4lan ini sepatu!" gerutu Xavera sambil tertatih berjalan menahan rasa perih di bagian tumit kakinya.
Ia terus berjalan menunduk melihat bagian belakang tumit kakinya dan tanpa ia sadari menabrak tubuh seseorang. Bak di drama Korea atau Cina, b****g seksi Xavera terselamatkan, tidak jadi terhempas di lantai karena lengannya ditahan oleh orang itu. Adegan sangat romantis membuat wajah Xavera memanas.
"Apa kau punya kebiasaan menabrak orang? Sepertinya kau suka sekali melakukan itu," tanya Tezza ketus dengan sebelah alis terangkat.
Xavera hanya mengulum senyum menahan malu dan juga meringis menahan sakit di kakinya.
Tezza melirik ke arah tumit Xavera dan menarik wanita itu untuk duduk di kursi kosong yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Pria muda itu berjongkok di depan Xavera dan melepas sepatu yang dikenakan Xavera.
"Eh—mau apa?" tanya Xavera terkejut.
"Kasih plester. Tumit kakimu lecet dan sedikit berdarah," jawab Tezza membuat Xavera speechless.
Jantung Xavera berdetak begitu kencang. Pipinya memanas dan sudah pasti memerah. Perlakuan manis dan gentlemen yang dilakukan Tezza persis seperti harapan Xavera selama ini dari mantan-mantan kekasihnya. Tezza terlihat angkuh, sangat irit bicara dan cenderung dingin, tapi ia selalu melakukan tindakan yang bisa melelehkan hati kaum hawa.
'Jantung gue kayaknya mau lepas!' batin Xavera sambil bersorak girang.