Past Is to Learn, Not To Haunt

1481 Kata
Azra Current POV Dia menangis. 13 tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Icha menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. Nggak ada suara tangis keluar, hanya isakan yang susul menyusul memecah kesunyian mereka. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya nggak jelas masih sambil tersedu. Mulutnya masih membekap mulutnya erat. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara-gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi s**u! Cordon Bleu, ada kejunya! Azra Pe'a!" Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia buru – buru menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa keju cordon bleu dengan tissue yang diberikan Azra. “Minum. Minum yang banyak!” Dia mengangsurkan botol air yang ada di nakas untuk Icha. “Abisin.” Icha mendelik. Dia lagi bikin Icha glonggong apa gimana?! “Kembung, ih!” Dia memprotes karena Azra benar-benar seperti memaksanya minum. “Udah!” Azra menurut. Dilepasnya pegangannya pada botol minum yang tadi diminum Icha dan diletakkannya kembali di meja. Icha mengelap mulutnya lagi, kali ini karena air yang dipaksakan Azra untuk dia minum, lalu mendelik lagi ke arahnya. "Terus apaan barusan? Kan bilangnya boleh cium kalo udah nikah! Omes!" "Eh, bukan gitu Cha." Azra menyangkal kikuk. "Barusan itu... kebawa perasaan.” Dan aji mumpung juga, tambahnya dalam hati. “Makannya aku pesenin yang baru ya. Yang ini buat aku aja." Ya Ampun, bagaimana bisa dalam waktu yang singkat saja, suasana canggung tadi berubah jadi romantis dan seketika jadi kocak macam sitcom srimulat begini. Azra menghampiri telpon di samping tempat tidur dan menghubungi bagian F&B untuk memesan makanan lainnya melalui room service untuk Icha. Bisa-bisanya dia lupa tentang hal penting itu, Azra merutuki dirinya. Icha sudah lama alergi s**u dan segala produk olahannya. Dia bahkan pernah masuk UGD karena dikerjai anak cheerleader yang mengaku fans Azra garis keras dengan s**u basi. Mereka bilang sama Icha kalo Azra tadi nitip mereka buat kasih dia. Meskipun ragu, Ichaakhirnya menerima juga minuman kemasan yang dia kira jus itu. Dia meminumnya di kelas, dan langsung membuat Icha muntah-muntah parah sampai teler di toilet cewek dan badannya langsung menggigil penuh bercak merah. Dia yang sendiri yang menemukannya disana. Bukan karena Azra hobi nongkrong di toilet cewek. Tapi dia tadi lihat Icha ngobrol sama anak cheers saat istirahat kedua, dan kemudian menghilang dari kelas sampai pelajaran berakhir. Dia sendiri juga yang menghadang taxi di depan sekolah dan mengantarkannya ke rumah sakit Sardjito, Jogja saat itu. Ida, Nisa dan Hafid bahkan tak dikabarinya saking paniknya. Padahal waktu itu mereka sudah tidak saling bicara. Saat ini pun sama, dia panik luar biasa. “Tadi nggak sempet kamu telen, kan?” Tanyanya masih khawatir. Dia baru aja sembuh, sama sekali nggak lucu kalau dia harus masuk rumah sakit lagi. Icha menggeleng. Dia mendesah lega. Icha bisa muntah-muntah, sesak nafas bahkan kejang dan timbul bercak-becak merah di kulit kalau minum atau makan apa saja yang mengandung s**u dan olahannya. Sesaat tadi di tengah kepanikannya, jurang besar yang dia gali sejak sepuluh tahun yang lalu sejenak menghilang. Tapi semuanya kembali seperti semula, bahkan lebih lebar, setelah dia selesai menghubungi F&B dan kepanikannya mereda. Icha masih duduk di sisi lain sofa, dan sekarang dia agak memunggunginya. Postur tubuhnya canggung dan tegang. Sama seperti dirinya. Sekarang, dia bingung harus bersikap seperti apa. "Aku pesenin pad thai tadi, nggak papa kan? Bentar lagi dianter." Dia merasa berkewajiban memecah kecanggungan yang tiba-tiba menebal ini. Icha mengangguk, menoleh sebentar demi kesopanan, lalu memalingkan lagi wajahnya. Ah... Azra seakan tak rela wajah itu menghilang dari pandangannya. Dia merindukannya. Amat sangat. Sepuluh tahun ini, terasa berat juga baginya, walaupun harus dia akui itu semua terjadi karena salahnya. Banyak pengandaian yang dia karang di dalam kepalanya demi agar bisa kembali ke masa sebelum semuanya jadi kacau seperti ini. Dia juga bosan bertengkar dengan Hafid yang dulu hampir tidak pernah bosan menggeretnya ke jalan yang benar dengan meminta maaf pada Icha. Azra tau dirinya pasti dimaafkan, bahkan mungkin tanpa penjelasan. Icha memang sepemurah hati itu. Hanya saja, dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, dan bukannya berhenti untuk memperbaiki keslahan, dia malah terus berlari semakin jauh menghukum dirinya sendiri. Tidak sadar sampai sekian lama bahwa keputusannya itu menyakiti Icha juga. Lebih dalam dan lebih intens dari apa yang dia rasakan. Icha masih menunduk, memainkan keliman kausnya dengan jari-jari gelisah. Sesekali Azra menangkap lirikan gugup yang dilayangkan padanya. Mungkin Icha takut kalau tiba-tiba dia melakukan hal yang aneh. Wajar. Mana ada orang dengan niatan baik mendadak datang setelah menghilang 10 tahun lamanya dan tanpa aba-aba langsung nyosor? Parahnya, Azra paham sejuta persen kalau barusan adalah yang pertama untuk Icha. "Besok acaranya outdoor. Ferry cruise Di Chao Praya River." Akhirnya dia nekad membuka percakapan. Icha menoleh bingung, lalu meraih hapenya dan mulai terlihat seperti mencari sesuatu. "Tya belum ada infoin apa-apa." Gumamnya pelan, sepertinya sengaja ngomong sendiri. "Temenmu itu mungkin belum tau, dia masih harus lanjut sampai makan malam nanti. Ketua tim yang bakal kasih tau mereka abis itu. Aku tau lebih dulu karena Rasyida yang kasi tau." Tambahnya saat melihat mimik Icha mengernyit bingung. "Ujung-ujungnya cewek lagi." Suaranya terdengar kesal saat nama salah satu Kru penyelenggara event dari Singapura yang memang lumayan ganjen itu disebut. Azra mengulum senyum. Senang rasanya mendengar nada posesif itu masih disana. Dia sadar, jalannya masih akan amat panjang untuk menambal kesalahannya selama 10 tahun ini. Dia harus mengakui bahwa menerima tawaran Mamanya yang merupakan salah satu pemegang saham dan juga Co CEO di perusahaan tempatnya bekerja sekarang untuk menjadi Country Sales Manager untuk kantor Indonesia adalah keputusan yang tepat. Tentu saja iming-iming untuk bertemu dengan Icha di yearly meeting kali ini juga adalah termasuk salah satu sogokannya. Biasanya yang baru selesai probation, tidak akan diikutkan dalam yearly meeting di tahun yang sama. Dia yang pertama kali karena gebrakannya dalam marketing tahun ini sukses besar. Dan mungkin juga karena dia anaknya co founder, dan juga sebagai jajaran menejerial. Apapun itu, dia menerima kesempatan ini dengan suka cita. Dia nggak mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Dia capek berlari, dia merasa berhutang besar pada Icha, dan lagi, dia bosan disindir terus sama Mamanya. Dia sudah bergabung dengan perusahaan ini sejak lama, sebetulnya. Hanya dia awalnya menolak bekerja untuk kantor Indonesia. Sebelumnya dia bekerja di kantor Singapura, menjadi sales and business analyst. Banyak yang tidak tahu tentang keberadaannya karena dia banyak bekerja di balik layar untuk meningkatkan penjualan dan meminimalisir resiko refund karena complain dari klien. Dia juga tidak pernah ikut dalam yearly meeting karena pekerjaannya tidak memiliki target pasti. Dia masuk jajaran management di kantor Singapura karena menggantikan seseorang disana, sampai akhirnya Mama menintanya pulang, untuk memegang regional sales kantor Indonesia. Dia bukan orang baru dalam industri penyedia jasa pariwisata dan event organizer, sehingga dia sudah fasih melakukan tugasnya sejak hari pertama bekerja. Setidaknya, ada hal yang bisa dia banggakan dari bertahun-tahun stalking keadaan Icha dari jauh, diam-diam. Dia jadi ikut terjun ke bidang yang disukai Icha. Walaupun dengan latar belakang yang berbeda. "Jangan cemburu gitu, lah.” “Idih! PD.” Azra tersenyum senang. “Emang, kok. Kalo cemburu, buruan dong kita nikah." Azra menyambar kesempatan, mumpung nyalinya masih di atas level rata-rata. "Apaan sih." Nah kan, Seneng Azra kalau liat muka Icha merah-merah berseri gini. Apalagi gara-gara dia. "Aku lebih seneng liat mukamu ada warnanya kaya gini." Gumamnya pelan. "Tapi yang barusan itu gak bercanda." Ding Dong! "Room Service!" *** Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia-nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan-pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk-nepuk punggung Azra pelan. "Makan kok sambil nggerem-nggerem." Icha dengan tekun mengusap dan menepuk-nepuk punggung Azra hingga batuknya reda. "Makasih ya," Azra nyengir keki. Icha melanjutkan makannya. Bisa dirasakan Icha sudah mulai agak santai dengan keadaan ini. Bukan, lebih tepat kalau dibilang Icha sudah mulai pasrah. Dia tau betul karakter Icha yang ini. Saat dia tidak bisa menguasai keadaan dan tidak bisa melawan, maka dia akan pasrah saja menerimanya. Mencoba tidak melawan sambil mencari solusi agar tidak menjadi semakin parah. Itu terjadi juga saat Bu Dewi mencari gara-gara untuk menghukumnya, atau saat anak cheers kumat mengerjainya. "Cha? Yang aku bilang barusan tadi... gak mau kamu jawab?" "Oke."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN