Azra’s Current POV
"Oke." Jawabnya tenang, tapi malah bikin Azra kaget luar biasa
Eh? Beneran?! Ini beneran?!
Kalo diokein sekarang ceritanya selesai dong! "Selera humormu gak berubah. Tetep garing." Lanjutnya tenang.
Kegembiraan dan kekagetannya tadi mengempis seketika bagai ban kemes.
Yah… Dikira dia lagi bercanda?!
"Eh, tapi barusan itu...."
Drrt! Drrrrt! Drrrrt!
Azra mengambil hapenya dari saku celana. Siapa lagi yang merusak momenku, ya Gusti! Hafid!! Awas aja orang ini!
"Halo!"
(Woi, buset! Galak banget, Bro! Abis di tolak ya?) Azra memaki dalam hati, ditolak dan mentah-mentah oleh satu-satunya cewek yang pernah nolak dia bahkan sebelum dia nembak!
"Ada apaan? Sibuk, nih!"
(Santai, elah! Lo jadi ke tempat Icha? Gimana keadaannya?)
Buset, cerewet amat ya orang ini, udah kek Om Joko aja, batin Azra makin jengkel. "Nih ngomong sendiri." Lalu menyerahkan hapenya pada Icha yang masih terbengong mengemut ujung sumpitnya. Duh, Neng, plis. Jangan ngemut apapun di depan gue! Inner Azra mulai berontak. "Hafid mau ngomong." Tambahnya.
Icha meletakkan sumpit dan piring makannya di pangkuannya, lalu menerima hape Azra. "Ya, Fid? Udah baikan, kok. Besok udah bisa mulai aktivitas lagi. Nggak, nggak maksain. Bener udah enakan, makasih ya. Bilangin Ida juga makasih. Ya?"
Icha diam mendengarkan entah apa yang Hafid ocehkan di ujung sana. Sementara itu, Azra mengemasi bekas makan mereka dan berjalan ke nakas mengambil kantong obat Icha. Membuka kemasannya satu per satu dan menaruh obat yang harus dimakan sore itu ke telapak tangannya sebelum mengangsurkan segelas air putih. Nampan berisi sisa makan mereka dibawa dan ditaruh di luar kamar untuk diambil petugas hotel.
"Iya tau! Aduh nggak usah macem-macem ya. Dah, udah, Bye!" Buru-buru Icha memberikan hapenya kembali.
"Ngomong apa barusan lo? Kesel ni anaknya." Sambungnya saat melihat Hafid belum mematikan sambungan teleponnya.
(Yah, biasa. Wise advise, ati-ati Cha, lo lagi sama buaya darat, salah-salah kena brakot lo)
"s****n! Udah ah, ini Icha mau minum obat dulu. Tutup, ya."
Tanpa menunggu balasan, Azra langsung mematikan sambungan mereka dan menoleh ke Icha yang terlihat memilah-milah obatnya.
"Kok Belum diminum?"
"Udah, dua yang paling kecil." Jawab Icha nggak terima.
"Yang lainnya?"
"Yang lainnya gede banget, takut nggak ketelen kalo sama air. Pait!"
"Nggak papa, minum aja, emang biasanya gimana kamu minum obatnya?"
"Pake pisang. Kamu punya pisang nggak?"
***
Icha Current POV
Karena sempat absen 2 hari, Icha jadi agak canggung dengan teman se timnya hari ini. Dia merasa nggak enak dan malu. Tapi sebenarnya itu alasan aja, meskipun dia kemarin-kemarin masuk pun, akan tetap canggung dengan temannya. Dia lupa caranya berbaur dengan sekitarnya. Karena terlalu sering menarik diri dan murung, dia jadi ditinggalkan oleh 'teman-teman'nya.
Untung saja, kelompok Tya tidak jauh darinya, jadi dia masih ada teman ngobrol. Meskipun dia aslinya nggak terlalu akrab dengan Tya, tapi saat di tempat asing seperti ini, tentu saja mereka merasakan bond lebih dari biasanya. Dan tentu saja, dia masih satu tim dengan Azra. Tapi seperti biasanya, Azra sibuk dengan 'teman-teman' yang lain yang hampir kesemuanya adalah cewek.
Nggak sih, Icha nggak cemburu. Serius. Beneran. Cuma ganggu pandangan, kan jadinya. Sepet gitu loh di mata.
"Yang bener?" Sebuah suara mengagetkannya dari sebelah kanannya.
Hah? Icha menoleh ke sebelah kanannya. Lho, sejak kapan Azra di sana? Bukannya tadi masih ketawa ketiwi bareng anak-anak Malaysia dan Singapore di deck luar?! "Apa?"
"Cuma ganggu pandangan?" Ulang Azra.
Icha kelabakan, lalu salting sendiri saat sadar kalau mungkin saja dia tadi sempat menggumamkan kata itu keras-keras. Azra masih disana menuntut jawab, membuatnya makin salting dan berakhir dengan membuang muka. Untung pake sun glasses, nggak keliatan kan kalo matanya udah plirak plirik kemana-mana untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba ada yang memegang dahinya agak lama. Sebelum sempat menepis atau bertanya, Azra sudah mendahului bertanya.
"Masih agak panas, lho. Bener hari ini gak apa ikut kegiatan?"
"Nggak apa. Lagian kan aku diem aja dari tadi di atas kapal." Icha menjawab sambil menggeser duduknya sedikit menjauh dr Azra.
"Bawa obat kan?" Tapi Azra malah ikut menggeser duduknya sehingga jarak yang diniatkan Icha ada kini terhapus lagi.
Ini kenapa Azra jadi bawel ya? Dulu dia bawel sih, tapi kan dulu. Icha sudah biasa nggak ada yang bawelin kecuali Ibu dan Ida, yah, Nisya kadang-kadang aja sih. Secara Ida kan jauh di Jakarta.
"Cha?" kejar Azra.
"Iya, bawa." Icha susah menahan keketusan dalam suaranya.
Tapi Azra sepertinya mental saja. "Mumpung lagi coffee break, yang sebelum makan obatnya diminum sekarang aja."
"Ntar ah."
"Sekarang, Cha. Ini udah pas, 2 jam sebelum makan."
"Nggak ada pisang, Azra!" Icha berseru kecil. Lalu mendadak diam dan salting lagi. Azra pun begitu. Bodohnya Icha, tidak belajar dari kesalahan.
Semalam, Azra menanggapi pertanyaannya dengan awkward. Membuat dia mengingat-ingat bagian mana pertanyaannya yang membuat suasana mendadak creepy dan crispy. Setelah sadar, mukanya langsung memerah dah terbatuk heboh karena tersedak. Yah, mirip-mirip dengan keadaannya sekarang, walaupun sekarang nggak ada acara tersedak. Akhirnya Azra pamit setelah memaksa Icha menghabiskan sisa obatnya. Dengan air, bukan pisang. Azra membantunya membagi pil-pil raksasa tersebut menjadi beberapa bagian kecil agar Icha nggak susah menelannya.
"Aku mintain air putih, jangan minum obat pakai teh." Lagi-lagi Azra yang tersadar lebih dulu dari lilitan atmosfir awkward yang melilit mereka.
"Icha b**o!" Runtuknya sambil memukul pelan kepalanya saat Azra sudah menjauh. Harus berapa kali lagi kejadian memalukan kayak gini terulang agar dia mau belajar? Lagian Azra juga aneh. Udah bagus kemarin-kemarin dia pura-pura nggak kenal Icha, kenapa sekarang jadi sok care gitu sih? Kenapa nggak jadi cuek jutek jijik kaya yang dulu-dulu? Dan sialnya, Icha tau dirinya bukan orang pendendam. Dia sepemurah hati itu memang, kalau nggak mau dibilang super bodoh. Mendendam saja tidak bisa, dan dia berharap untuk nggak lagi-lagi disakiti? Siapa yang sakit jiwa disini?
Dia terlahir sebagai anak tengah. Satu-satunya anak perempuan Bapak dan Ibu. Cucu perempuan pertama di keluarganya baik dari pihak Bapak maupun Ibu. Dari kecil dia diajarkan untuk mengalah, menjadi penengah, menjadi lembut tetapi kuat. Karena posisi di tengah itu sulit. Tergencet tapi tidak boleh menggencet, meraih ke atas tapi tidak boleh lupa yang bawah. Susah, serba salah. Dan inilah hasilnya setelah 25 tahun berlatih. Dia meredam semua rasa sakit dan pahitnya sendiri. Harus. Karena jika tidak, banyak yang akan terluka, banyak yang akan tersakiti. Dia tidak ingin itu terjadi. Yang lain belum tentu sekuat dirinya, belum tentu seterbiasa dirinya. Karena itu, dia berpikir, tidak apa kalau dia yang sakit. Ya, bodoh!
Icha memperhatikan Azra yang berdiri bersandar di meja bar, meminta segelas air putih pada waitress disana - acara kantor, jika dilaksanakan di siang hari, alcohol hanya sebatas bir saja, tidak perlu bartender. Icha bertanya-tanya lagi, kenapa Azra tiba-tiba berubah pikiran dan seolah-olah kembali jadi Jaja? Jurang itu masih ada, tapi tidak sedalam dan selebar dulu. Cepat sekali? Sehari semalam, aja. Dia dulu menginginkannya, mati-matian membuat keadaan 'normal' kembali. Sepuluh tahun dia mencoba. Tapi ini... ah, entah!
"Ehem!"