Pov Rasya Aku langsung menoleh saat mendengar suara tak asing tengah memesan. Sungguh tak habis pikir Bocah itu ketemuan dengan temannya membawa Adnan. Bocah itu pasti tengah tidak waras. “Iya,” sahutku pelan, terus menyimak ucapan lelaki di hadapanku. Ini pertemuan kelima tapi belum ada perubahan berarti. Beberapa desain yang kubawa untuk 50 outlet yang dipesannya dariku sama sekali tak membuatnya tertarik. Terlalu monoton dan biasa saja, katanya. Padahal sebenarnya, dia yang sulit. Kalau bukan demi 50 outlet dengan nomimal 55 juta per satu outletnya, pasti sudah kutinggalkan lelaki banyak komplain ini. “Kita pulang, yuk, Adnan.” “Adnan lagi makan nih, Bun.” Aku menatap ke arah Puspita yang terlihat tak nyaman. Ia mengangguk sopan pada lelaki di hadapanku yang mempersilakannya duduk.