Menjadi seorang Santi ternyata tidak mudah. Gue harus bisa berpose di depan kamera yang mana belum pernah gue lakukan sama sekali. Jangankan depan kamera DSLR atau jenis lainnya, depan kamera ponsel saja gue grogi minta ampun. Semua hasil foto tidak ada yang bagus. Itu kenapa teman-teman jarang punya foto gue bahkan ponsel gue penuh dengan foto teman-teman.
“Santi tolong tatapannya lebih tajam!” teriak pria yang membawa kamera. Dia fotografer menjengkelkan. Senyum salah tidak senyum pun salah. Bagaimana Santi bisa hidup diatur seperti ini.
“Seperti ini?” Gue langsung buka mulut dan bengong lihat ke atas. Sekalian saja ekspresi jelek gue keluarin. Suara tawa terdengar setelahnya dan gue kembali dapat omelan.
“Santi kita sudah capek tolong serius. Pose seperti biasa. Kamu sudah professional,” ujar pria itu. Ingin gue berteriak di dekat telinganya bahwa gue bukan Santi. Dan gue sadar kalau setelahnya akan dianggap gila sama semua orang. Jadilah gue hanya bersabar dan berpasrah diri diatur seharian.
“Kita cukupkan dulu, kalian bisa istirahat.”
Seorang wanita menghampiri gue. Dia adalah manager Santi. Cantik, seksi, rambut pendek, tapi mata duitan. Apa pun yang ia lakukan harus berdasarkan uang.Tipe-tipe manusia yang tidak gue suka. Jelas saja Santi lebih memilih gue untuk diajak curhat daripada managernya.
“Kamu kenapa Santi? Ada masalah? Tolong kalau masalah sama mantan jangan dibawa-bawa. Kamu harus professional. Ingat kalau kamu diganti kita akan rugi bayar pinalti.”
Sudah tiga kali gue dengar si manager bicara seperti itu. Telinga ini sampai panas mendengar suaranya. Kaki pegal pakai heels yang tinggi belum lagi gaun berat yang buat gue susah bergerak. Gue duduk lalu melepas heels agar bisa berjalan. Kaki gue rasanya sakit sepertinya lecet.
Si manager menghampiri lalu memberikan kursi dan juga minuman. Ada bagusnya juga punya manager cekatan, tapi sayang cerewet. Kalau bisa gue mau ganti, tapi kasihan nanti dia nganggur.
“Pokoknya kamu harus fokus. Kamu gak mau pulang malam, ‘kan?” Gue menggeleng. Seharian penuh berada di studio membuat gue muak, pusing, mual-mual, sakit kaki, sakit telinga dan sakit hati.
“Boleh minta foto gue yang sudah jadi?” Manager Santi mengerutkan keningnya. Namun. ia tidak banyak bicara langsung pergi mengambil tasnya. Ia memberikan ponselnya berisi penuh foto-foto Santi yang bergaya dengan berbagai pose. Pintar banget si Santi foto semuanya terlihat bagus dan tidak kaku. Natural.
“Gue harus pose yang mana?” Si manager memperlihatkan sebuah foto di mana Santi tidak tersenyum. Namun, tatapannya sangat tajam. Gue mulai paham bagaimana harus berekspresi di depan kamera.
“Jangan bilang lo lupa bagaimana caranya pose yang bagus di depan kamera?” Gue langsung menggeleng. Bagaiman pun gue tidak mau memperburuk reputasi Santi. Gue harus bisa bersikap seperti Santi yang asli.
“Tenang, masih ingat kok. Oh, iya nama lo siapa? Gue lupa.”
Si manager langsung cemberut lalu pergi begitu saja ninggalin gue sendirian. Harusnya gue tanya namanya ke Santi langsung dari pada tanya ke orangnya. Gue yakin managernya pasti kesal karena gue melupakan namanya.
Pemotretan kembali dilanjutkan. Kali ini berjalan lancar dari sebelumnya. Sang fotografer terus memuji. Setelah dia mengatakan selesai rasanya ada ribuan ton masalah menguap di pundak gue. Akhirnya bisa pulang dan tidur nyenyak. Tidak. Gue belum bisa tidur sebelum bertemu dengan Santi. Ada beberapa hal yang harus gue sampaikan ke dia.
Gue bergegas mengganti pakaian dan menghapus make-up tebal yang membuat muka gue seperti badut, tapi lebih mending badut sih, make-up tebal banyak yang suka. Gue lebih nyaman kalau tanpa make-up. Gue bergegas pergi dari studio. Si manager bahkan tidak terlihat setelah gue tanya namanya.
“Santi.” Teriakan itu seketika membuat langkah gue berhenti. Di mana Santi, jadi dia ada di sini? Kepala gue celingak-celinguk mencari batang hidungnya. Gue nggak lihat ada Santi di sini.
“San, senang bertemu sama kamu.” Seorang pria menghampiri gue dan itu membuat gue sadar bahwa Santi yang dia maksud adalah gue. Kanaya kamu harus ingat sekarang kamu ada di tubuh Santi.
“Hai, kamu siapa ya?” Pria itu menghilangkan senyumnya.
“Kamu gak ingat sama aku? Kita baru bertemu seminggu yang lalu,” ujarnya.
“Seminggu yang lalu? Oh gue ingat, tapi gue lupa nama lo.” Gue berusaha tersenyum manis agar pria itu tidak tersinggung. Benar saja ia membalas senyum gue.
“Aku Max, kita sudah janji mau makan malam bersama kalau bertemu. Apa malam ini kamu ada acara?”
Jadi seperti ini rasanya jadi Santi. Tidak perlu repot-repot cari pria yang mau sama dia. Semua pria bahkan langsung suka sama Santi sejak pertemuan pertama. Beda banget sama gue yang mencari cowok, tapi malah kabur. Terakhir perjodohan konyol dengan Satria si jeruk yang suka jeruk.
“Benarkah? Hm… hari ini gue ada acara sama teman mungkin kita bisa atur waktu lain kali di pertemuan selanjutnya. Bagaimana.”
Max diam tidak menjawab.
“ Bye, gue pergi dulu, ya.”
Max mencekal tangan gue membuat langkah terhenti. Buru-buru gue lepas tangannya karena tidak nyaman. Max pria tampan, tapi gue tidak suka cara dia memperlakukan wanita. Kalau sudah bilang tidak bisa ya jangan paksa.
“Apa malam ini tidak bisa? Aku berharap di hari ulang tahunku kamu mau menemani. Aku akan merasa sangat senang,” ucap Max.
Gue sebenarnya mau-mau saja tapi malam ini gue mau bertemu Santi. Makan malam dengan Max tidak lebih penting dari urusan gue sama Santi.
“Gue benar-benar gak bisa. Lain kali saja, ya. Oh, iya, selamat ulang tahun.”
Gue berjalan cepat menghindari Max. Pria itu terus mengejar membuat gue ketakutan, Beruntung ada taksi yang lewat sehingga gue bisa langsung masuk. Kenapa Santi bisa tahan dengan rasa takutnya pada pria yang selalu mengganggu.
Semakin lama gue berada di tubuh Santi semakin gue tahu apa yang sahabat gue rasakan. Rasa tidak nyaman dan terus diteror oleh para pria. Bukan sepuluh tapi puluhan. Gue rasa menjadi seorang Santi tidaklah mudah.
Taksi berhenti di depan rumah gue. Dari dalam rumah Santi keluar menghampiri taksi. Dia masuk lalu menutup pintunya. Santi menatap gue dengan mata melotot.
“Lo gak pakai make-up?” Santi menaikkan suaranya. Gue menggeleng membuat ia mendesah panjang. Taksi mulai bergerak dan Santi merebut tas gue.
“Ingat, ya, Nat, kalau lo mau keluar harus pakai make-up jangan polos gini. Bisa jatuh karir gue,” omelnya. Santi mengambil alat make-up di tas gue lalu mulai memolesnya. Jujur saja gue tidak tahu bagaimana cara memakai make-up ini. Santi memoles wajah gue dengan bedak dan kawan-kawannya. Gue harus pakai wajah topeng lagi.
“Kita mau ke mana San?”
“Mau ke klinik kecantikan dulu untuk perawatan. Wajah lo sudah mirip perkebunan banyak kacangnya. Gue gak tahan setiap lihat kaca. Gue mau panen kacang lo. Heran deh kenapa lo bisa pelihara kacang sampai sesubur ini.”
“Itu artinya wajah gue masih alami belum terkontaminasi sama bahan kimia.” Santi menatap sebentar lalu kembali memoles lipstick ke bibir gue. Baiklah, gue akan ikuti apa yang Santi katakan supaya dia tidak marah-marah lagi. Hanya untuk hari ini saja.
Sesampainya di klinik gue hanya menunggu di luar sementara Santi masuk ke dalam ruang dokter. Cukup lama gue menunggu sampai akhirnya ada seorang gadis cantik menyampa. Seterkenal itukah sahabat gue?
“Lo Santi, kan?” tanya gadis itu. “Mantan pacarnya Satria?”
Gue tertegun mendengar nama Satria. Terlalu banyak nama Satria di muka bumi ini dan gue seketika teringat dengan Satria jeruk.
“Satria yang mana, ya?”
Gadis itu memperlihatkan sebuah foto dari ponselnya. Wajah pria itu tidak asing lagi. Gue tersentak karena pria itu adalah si Satria jeruk yang mau dijodohkan mama sama gue. Kenapa dia bisa pacaran sama Santi, bukannya dia suka sama cowok atau jangan-jangan Satria berbohong untuk membuat gue menyerah dan membatalkan perjodohan.
“Oh, Satria jeruk? Jadi lo pacaranya? Lebih baik lo hati-hati sama dia. Lo gak mau ditikung sama cowok, kan? Gue saranin ke lo buat siap patah hati karena Satria suka makan jeruk. Itu sebabnya gue putus sama dia.”
Wajah gadis itu memerah. Tangannya mengepal erat.
“Lo bohong, ‘kan?” Wajah gadis itu terlihat syok.
“Dia sendiri yang bilang. Lo bisa cek dompetnya, ada foto polaroid 2R milik Satria ada foto masa kuliahnya dulu bersama seorang pria. Nah, dia bilang kalau itu mantan pacarnya yang masih dia sayang. Foto seorang cowok. Lo bisa cek kebenarannya.”
Wanita itu pergi begitu saja dengan langkah terhentak. Gue pengen lihat bagaimana si Satria jeruk jelasin ke pacarnya. Siapa suruh berbohong. Kalau tidak suka bilang tidak suka jangan beralasan suka sesama. Gue lebih senang kalau pria itu jujur. Kalau sudah seperti ini yang rugi ceweknya. Bagaimana kalau Satria jeruk benar-benar suka sesama? Pacaran dengan perempuan hanya untuk tamengnya saja. Itu bukan pria sejati.
Setelah berjam-jam menunggu akhirnya Santi keluar. Wajahnya memang jadi lebih bersih, kinclong, bening dan bercahaya. Santi merawat tubuh gue dengan baik.
“Nat, bayarin. Gaji lo gak cukup buat perawatan,” ujarnya. Gue merasa tersentil. Harga perawatan tubuh bisa mencapai satu bulan gaji gue mengajar di taman kana-kanak. Dengan senang hati gue memberikan kartu debit milik Santi. Dia menerimanya lalu berjalan ke kasir. Setelah selesai kami memutuskan untuk makan malam.
“Nih, kartu lo. Kita tukaran kartu.” Santi memberikan kartu milik gue. Untuk masalah uang kita tanggung sendiri-sendiri. Gue tidak mungkin memakai uang milik Santi.
“Lo kenal sama Satria, San? Katanya dia mantan lo.” Santi berhenti mengaduk minumannya. Ia terlihat berpikir sebelum menjawabnya.
“Satria? Maksud lo Satria Dwi Erlangga? Gue gak pernah anggap dia mantan. Kita pacaran hanya satu hari jadi dia tidak termasuk mantan gue. Anggap saja teman tapi mesra.”
“Satria adalah pria yang dijodohkan mama ke gue.”
“APA?”
“Jangan teriak-teriak, malu tahu.” Santi segera menutup mulutnya. Ia tersenyum saat melihat orang-orang memperhatikan meja kami.
“Terus bagaimana? Kalian pacaran?” Gue menggeleng.
“Satria bilang dia suka sama teman prianya. Gue rasa dia bohong, buktinya dia punya pacar.” Santi menepuk pundak gue. Masih beruntung gue tidak jadi pacaran sama Satria. Bisa-bisa Satria menggoda Santi lagi.
Santi mengeluarkan buku catatan dari tasnya. Gue segera mengambilnya lalu membaca tulis tangan Santi. Aturan yang harus gue lakukan selama berada di tubuh Santi. Bukan hanya lima atau sepuluh tapi tiga puluh aturan. Dan gue harus melakukannya.
“Sebanyak ini?” Santi menggeleng,
“Sebenarnya masih ada lagi, tapi gue capek nulisnya.” Santi memang suka menyiksa teman. Dia tahu kalau gue tidak suka make-up dan pakai heels dan dia mencantumkan itu dalam aturan.
“Gue cuma minta dua hal untuk lo lakukan.”
“Benar dua hal? Gak menyesal?” Gue menggeleng. Dua hal saja sudah cukup. Gue tidak punya banyak harta benda jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Harta berharga yang gue punya dalam hidup ini hanya nyawa gue sendiri dan orang-orang yang gue sayang.
“Pertama jangan goda Kak Stefan, pokoknya jangan dekat-dekat. Kedua jaga anak-anak di sekolah. Mereka mungkin bandel dan susah diatur tapi mereka berharga buat gue. Hanya mereka yang bisa buat hati gue penuh akan kasih sayang. Lo paham, kan?”
Santi terdiam lalu mengangguk. “Oke, Deal.”