Max

1906 Kata
Menjalani hidup sebagai orang lain membuat gue tersiksa. Apa yang selama ini gue lihat ternyata tidak sebaik keadaannya. Hidup Santi yang penuh kerja keras dan persaingan ketat membuat gue kurang nyaman. Sejujurnya gue tipe orang yang tidak suka bekerja dalam tekanan mungkin itu sebabnya hidup gue monoton karena tidak ada tantangan sama sekali. “Santi cepat ganti baju. Hari ini kita full pemotretan jadi jangan malas-malas.” Baru saja gue duduk di kursi, si manager yang belum gue tahu namanya itu sudah meminta gue bekerja lagi. Dia enak duduk terus ngomel-ngomel, nah gue pegal, lelah dan harus menahan malu di depan kamera. Tidak jarang teman sesama model mengatakan gue payah. Tidak seperti dulu, mereka bilang gue berubah. “Gak ada pakaian yang lain, ya?” Gaun hitam tanpa lengan itu masih tergantung bersama puluhan pakaian yang lain. Kali ini gue harus memakai pakaian mini. Seumur hidup, gue paling tidak suka pakaian yang hanya menutupi setengah paha dan mengekspose leher dan bahu. Gue yang suka dengan pakaian tertutup dan kebesaran kini harus memakai pakaian yang kurang bahan. “Sudah jangan banyak protes. Bayarannya mahal dan kamu tidak bisa membatalkan kontrak. Biasanya kamu paling semangat kalau pakaiannya kayak gini.” Gue hanya bisa pasrah. Kalau Santi yang asli mungkin suka, tapi sayang gue bukan Santi. Gue Santi KW—palsu. Kanaya tetaplah Kanaya yang dikenal sebagai cewek pemalu dan kurang pergaulan. Gue jarang bicara sama teman yang baru kenal jadi terlihat tertutup dan gue juga bukan wanita cerewet. “Sudah.” Gue teriak tepat saat si manager membuka pintu ruang ganti. Si manager bertepuk tangan seakan suka melihat penampilan gue. “Nanti lo foto sama cowok. Namanya Max, model tampan, sexy dan aduhai,” kata wanita itu membuat gue teringat dengan pria yang kemarin bertemu. Mana mungkin pria bernama Max itu adalah model? Dan parahnya gue lupa tanya tentang Max pada Santi. Pria di dalam hidup Santi sangat banyak jadi gue harus berhati-hati. Jangan sampai terjebak dalam rayuan maut mereka karena sebagian dari mereka suka memanfaatkan kepopuleran Santi di dunia model. “San, kenapa bengong?” Si manager melambaikan tangan di depan wajah gue. Satu anggukan kepala membuat bibirnya melengkung naik. Gue harus professional walau tidak punya pengalaman sama sekali dengan dunia model dan cowok. Pemotretan kembali dimulai. Pria bernama Max yang dikatakan si manager itu ternyata benar pria yang menyapa kemarin. Ia terlihat senang saat melihat gue menjadi pasangannya. “Senang bertemu dengan Anda Nona cantik. Sepertinya kita memang berjodoh.” Gue hanya bisa tersenyum dan itu membuat Max melebarkan senyum di bibirnya. Apa dia benar-benar suka sama Santi? Kenapa Max terlihat bahagia? Wajahnya sangat tampan mungkin karena blesteran. Kali ini bukan blesteran antar RT, tapi benar-benar blesteran antar negara. Hidung mancung yang jarang dimiliki orang Indonesia ditambah tubuh tinggi tegap yang membuat gue yakin dia campuran bule Eropa atau USA. “Aku minta kamu tepati janji makan malam bersama hari ini,” bisiknya tepat di telinga gue. Sekujur tubuh gue menegang. Suaranya benar-benar menghanyutkan. Kalau gue yang dirayu oleh Max dengan senang hati gue menerimanya dan bila perlu langsung gue bawa pulang buat dikenalin jadi calon suami. Setelah berjam-jam melakukan pemotretan dengan berbagai macam pakaian akhirnya gue bisa istirahat. Si manager sibuk membacakan jadwal gue besok yang tidak kalah padatnya dengan hari ini dan itu membuat gue mual. Tidak ada libur, bahkan hari Minggu pun kerja. Benar saja Santi jadi kaya, ternyata kerjanya tidak mengenal waktu. “Maaf mengganggu Nona Sherly apa aku bisa berbicara dengan Santi?” Max. Pria itu ada di ambang pintu dan sedang menatap gue. Si manager yang ternyata bernama Sherly itu mengangguk lalu pergi. Max masuk setelah Sherly keluar. “Apa malam ini kamu bisa makan malam bersamaku?” Gue berpikir sejenak. Tidak ada alasan untuk menolak Max dan tidak ada salahnya juga kalau gue menerimanya. Siapa tahu bisa gue jodohin sama Kanaya. “Boleh.” Max meraih tangan gue. Namun, sebisa mungkin gue menolak. Kalau ada yang melihat kita bergandengan tangan bisa jadi gossip. Apalagi Santi sudah memiliki pacar yang bernama Bram. “Takut ada gossip miring. Gak apa-apa, ‘kan kalau tidak gandengan?” Max mengangguk memaklumi situasi yang terjadi. Gue harap dia bisa menjaga jarak sehingga gue tidak perlu terbawa perasaan. Siapa yang tidak terpesona dengan pria tampan seperti Max. Dari pada menjadikan dia mantan gue lebih suka jadiin Max suami. Max benar-benar mengerti keadaan. Ia tidak lagi memegang tangan atau merangkul pundak gue. Kami bahkan bicara santai tentang berbagai hal. Dia pria yang menyenangkan. Kami akhirnya sampai di sebuah restaurant hotel. Tempat yang nyaman untuk makan malam. Max menarik kursi untuk gue duduki. Pria ini benar-benar romantis dan bisa membuat gue langsung nyaman. Ya, Tuhan andai pria ini menyukai Kanaya bukan Santi mungkin gue orang paling bahagia di dunia mendapatkan pria seperti Max. Nasib jadi jomblo akut tidak ada satu pun cinta yang nyangkut. Pelayan menghampiri meja kami dan memberikan daftar menu. Setelah memesan kami kembali bicara tentang karir. Max ternyata pria blesteran Indonesia dan Jerman. Ia memulai karirnya sebagai model di Indonesia. Ibunya orang Bali sedangkan ayahnya bule Jerman. Awal pertemuan orang tuanya saat ayahnya berlibur ke Bali akhirnya jatuh cinta dan akhirnya menikah. Itu cerita singkat yang Max ceritakan ke gue. “Aku ingin sekali mendapatkan kesempatan berkarir di luar negeri. Mungkin jika saat itu tiba aku akan menetap di luar,” ujarnya. “Itu bagus. Karir lo akan semakin memuncak saat itu tiba” “Apa kamu tidak ingin pergi bersamaku saat kesempatan itu ada?’ Max seolah sedang melamar. Perasaan ini berubah menjadi kacau. Mimpi yang selama ini gue mimpikan seolah terwujud hari ini, dan hati ini juga merasa kecewa. Seolah takdir mempermainkan hati gue. “Gue akan tetap di Indonesia. Masih banyak hal yang perlu gue pelajari tentang tanah kelahiran. Karena gue punya keinginan untuk mengenal tanah kelahiran gue lebih jauh. Bagi gue keliling Indonesia sama dengan keliling dunia.” Max mengernyitkan dahinya, mungkin dia tidak paham dengan apa yang gue sampaikan atau mungkin dia tidak menyangka bahwa Santi yang ia kenal bisa bicara seperti itu. Pintu restaurant terbuka, seorang pria masuk sendirian. Gue merasa pernah melihat wajah pria itu, tapi di mana? Kembali gue periksa pesan dari Santi yang sudah mengirimkan beberapa foto pria yang dekat dengannya. Memori ponsel gue sampai penuh menyimpan foto pria-pria itu. Semuanya tampan dan tajir lagi. Mata gue langsung membola melihat nama yang tertulis di bawah foto. Pria itu Bram. Tidak salah lagi dia adalah pacar Santi. Gue tidak boleh ketahuan pergi bersama Max. Bisa hancur hubungan Bram dan Santi. Gue harus segera pergi “Hmm… Max, maaf adik gue minta dijemput.” Max menegakkan tubuhnya. “Bukankah kamu tidak membawa mobil?” tanya Max seolah menyadarkan gue bahwa alasan itu tidak akan berhasil. Bram terlihat bercakap-cakap dengan salah satu pelayan. Firasat gue bilang gue harus segera pergi sebelum perang dunia pertama meletus. “Ini mendadak gue bisa naik taksi. Sinta minta dijemput, mungkin ada sesuatu.” Max terlihat murung dan itu membuat gue tidak enak hati. Makanan yang kita pesan sudah sampai dan tiba-tiba Max meminta makanan itu dibungkus. Gue merasa bersalah telah membuat malamnya menjadi buruk. Kami berpisah saat keluar dari restaurant. Beruntung ada masker di dalam tas gue sehingga wajah gue tidak dilihat oleh Bram. Taksi melaju meninggalkan Max yang masih berdiri di depan restaurant. Pria itu baik dan gue berjanji akan menebus rasa kecewanya nanti. Ponsel gue bergetar, ada pesan dari Santi yang minta bertemu di rumahnya. Gue segera pulang untuk bertemu Santi. Sinta yang ada di rumah menyambut gue. Tidak seperti biasanya, Sinta lebih ramah. “Kak Kanaya ada di kamar kakak,” ucapnya. “Oh, iya tadi dia sudah sms. Dik, bisa bawakan minum ke kamar, gak?” Sinta hanya diam dengan mulut terbuka. Gue coba menyadarkan dia dan Sinta langsung menepuk pipinya. “Tadi kakak bilang apa?” “Tolong bawain minuman ke kamar.” “Bukan yang itu tapi sebelumnya. Panggilan buat aku.” “Dik?” Lagi. Sinta terdiam. “Kenapa Kak Santi sering panggil , Dik? Aku kira Kak Santi tidak suka punya adik kayak aku.” Tangan gue terulur mengusap kepalanya membuat kepala Sinta yang tertunduk kembali menegak. “Siapa bilang tidak suka? Kakak senang punya adik seperti kamu. Oh, iya ini ada makanan buat kamu saja.” “Kakak gak minta? Kita makan bareng, ya.” Matanya berbinar dan gue hanya bisa mengangguk. Ada untungnya juga makanan dibungkus. Gue langsung berlari ke kamar menemui Santi. Ia pasti marah-marah karena menunggu lama. Santi sedang tiduran di atas tempat tidur. Kakinya menjuntai ke bawah sambil mengayun-ayun. “Maaf, San. Gue baru pulang. Tumben lo mau ketemuan di rumah.” Santi menoleh, tapi dia tidak menjawab. Setelah meletakkan tas dan berganti pakaian gue langsung duduk di kursi sambil memeluk bantal. “Gue mau ngomong sesuatu.” Santi duduk bersila di atas kasur. Ia terlihat suntuk dan tidak bersemangat. Tiba-tiba pintu kamar gue diketuk. Sinta masuk membawa dua gelas jus beserta cemilannya. “Di minum dulu, Kak,” ujar Sinta lalu keluar dari kamar. “Lo apain adik gue? Kok bisa nurut gitu?” tanya Santi setelah Sinta keluar dari kamar. “Gak gue ngapa-ngapain. Lagian lo harusnya bersyukur punya adik penurut seperti Sinta jadi ada teman curhat, nah gue boro-boro curhat yang ada malah dikatain sama Kak Stefan.” Santi beranjak dari tempat tidur lalu meminum jus yang disuguhkan di atas meja. Santi tidak canggung sama sekali karena ini adalah rumahnya yang asli. Santi menghabiskan minumannya tanpa gue suruh sebelumnya. “Gue gak mau ngajar anak TK lagi. Bisa-bisanya lo punya kerjaan ngurus anak orang. Mereka itu bandel banget disuruh diam malah ribut ujung-ujungnya nangis karena lupa bawa alat tulis. Mau pulang segala lagi,” keluh Santi. Gue tahu siapa anak yang dimaksud Santi. Wajar saja kalau dia mengeluh karena Santi bukan orang yang mau repot mengurus anak-anak. “Kayak lo gak pernah TK saja.” “Tapi gue gak rewel kayak mereka. Gue kalem, gak banyak omong dan gak bikin onar.” “Iya pas kecil gak bikin onar tapi kalau sudah gede ke mana-mana jadi biang onar.” Santi melempari bantal yang ada di atas kasur. Gue dengan sigap menangkapnya. Kalau sudah kesal dan tidak bisa membalas Santi akan melempar sesuatu yang dekat dengannya. Kebiasaan buruk Santi kalau lagi marah. “Lo kira gue gak ada masalah? Lo tahu bagaimana tersiksanya gue harus tersenyum seharian di depan kamera. Belum lagi pakaian dan make-up tebal yang membuat gue merasa seperti badut. Semua pekerjaan ada kelebihan dan kekurangannya jadi nikmati saja. Jangan sering mengeluh karena itu bukan jalan keluarnya. Orang-orang beranggapan kalau gue adalah Santi dan lo adalah Kanaya. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain berperan sebagai orang lain.” Gue mendekati Santi lalu duduk di sampingnya. Santi merebahkan tubuhnya di atas kasur dan gue melakukan hal yang sama. Kita berdua tidur bersisian sambil menatap langit kamar. “Kita harus cari nenek itu. Gue gak tahan hidup seperti ini,” ucap Santi. “Iya gue juga berpikiran seperti itu.” Malam itu Santi memutuskan menginap di rumah. Setelah menghubungi Kak Stefan dan orang tua gue akhirnya malam ini kita berdua bisa bicara banyak hal. Termasuk tentang Max. “Max? Sepertinya gue kenal,” kata Santi mencoba mengingat sosok tampan itu. “Jadi Max itu siapa?” Santi masih berpikir lalu dia menatap gue. “Gak inget gue. Sudah ah, gue mau tidur. Ngantuk. Mumpung besok akhir pekan jadi gue mau tidur seharian.” Santi menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Pada akhirnya gue tidak tahu siapa itu Max. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN