Setelah menyelesaikan makan malam kami duduk di depan televisi. Masih ada satu jam lagi untuk bersantai sebelum gue pulang. Biasanya Kak Stefan akan menghubungi gue kalau jam 8 malam belum pulang. Gue jadi kangen sama Kak Stefan.
“Ini.” Max memberikan minuman kaleng. Gue jarang minum soda untuk mengindari gula yang terkandung di dalamnya. Sepertinya Max tahu apa yang gue pikirkan.
“Cuma sekali gak masalah, ‘kan? Atau kamu mau aku ambilkan jus?” Max sudah berdiri tapi gue segera menahannya.
“Gak apa, minum sedikit tidak masalah.” Max kembali duduk di samping gue.
“Tapi aku gak bisa buka minuman kaleng.” Max menoleh lalu mengambil minuman yang gue bawa. Ia membukanya dengan mudah. Gue sudah beberapa kali mencoba buka minuman kaleng tapi selalu nihil. Gagal terus.
“Terima kasih.”
Kami mulai menonton drama luar negeri yang cukup menegangkan. Tiba-tiba Max menggenggam tanganku membuat kami saling berpandangan.
“San, Minggu depan aku akan berangkat ke luar negeri. Aku tidak mau menyesal jika tidak mengatakannya sekarang.”
Suara tv bagaikan musik pengiring bagi kami. Wajah tampan Max yang membuat gue tidak bisa berpaling sedikit pun.
“Kalau suatu hari jika kita bertemu lagi di saat kamu tidak memiliki kekasih aku ingin kamu tidak menolakku. Aku mencintaimu Santi. Ini pertama kalinya aku merasakan cinta yang sebesar ini pada wanita,” ujar Max membuat hati gue sakit.
Setiap kali Max mengucapkan nama Santi sebanyak itu pula hati gue teriris. Kenapa setiap kali gue mencintai seseorang tidak pernah lancar. Max andai lo tahu kalau gue bukan Santi tapi Kanaya apa mungkin lo masih suka sama gue?
Max mengantar gue pulang. Entah kenapa gue ingin bersama dia setiap saat. Mobil berhenti di depan rumah Santi. Belum ada lampu yang menyala itu artinya rumah masih sepi. Orang tua Santi belum pulang dari luar kota sementara Sinta pergi dengan Dodit.
“Terima kasih kamu sudah menemani aku makan malam,” ujar Max.
“Harusnya aku yang berterima kasih bisa merasakan masakan kamu. Enak banget.”
Max mengangguk. Gue segera turun dari mobilnya lalu Max mengeluarkan kepalanya dari jendela.
“Aku pulang. Mimpi yang indah,” ucap Max. Mobil putih itu pun pergi membawa separuh hati gue. Entah kenapa walau mobil itu sudah pergi gue enggan beranjak. Sampai suara orang yang gue kenal memanggil.
“Pacar baru, San?” tanya Radit. Ia berdiri di depan pintu gerbang rumanya sambil menenteng dua plastik kresek hitam.
“Bukan urusan lo.”
“Idih sombong. Nanti minta tolong lagi gue gak mau bantu,” sahutnya.
“jadi cowok kok baper.”
“Siapa yang baper?”
“Ya, lo yang baper.”
“Lama-lama lo mirip si Pinat yang nyebelin itu. Gue bilangin,ya, jangan dekat-dekat si Pinat, dengar-dengar penyakit jomblo itu menular. Awas nanti lo terjangkit, San,” ujar Radit sambil membuka pintu gerbang.
“Jangan menghina sahabat baik gue ya. Dia itu cewek pejuang.” Radit tertawa.
“Iya, pejuang jomblo.” Radit berlari masuk ke dalam rumah. Untung larinya cepat kalau tidak sepatu gue sudah melayang ke wajahnya. Kenapa si Santi bisa betah tetanggaan sama manusia model Radit. Kalau gue lebih milih nginap di rumah teman walau merepotkan teman sendiri gue ikhlas.
Gue langsung masuk ke rumah lalu membersihkan diri. Seharian ini gue belum menghubungi Santi untuk tanya kabar Kak Silvi. Semoga dia baik-baik saja. Baru menyentuh kasur mata gue terasa berat. Tidak butuh waktu lama untuk memasuki alam mimpi. Gue harap besok pagi tidak bertemu Radit lagi. Dia akan merusak hari baik gue.
***
Seperti biasa ponsel gue berdering bukan karena alarm tapi karena pesan dari para mantan Santi yang lagi cari perhatian. Ada yang mengirimkan ucapan selamat pagi, kata-kata bijak sampai ada pria unik yang membuat rasa penasaran gue muncul.
Namanya Bagus, pesannya berisi ancaman yang meminta semua barang yang ia berikan pada Santi dikembalikan. Jujur gue yang baca saja merinding. Bisa-bisanya Santi pacaran sama cowok berjiwa preman. Bagus minta bertemu, tapi gue tidak membalas pesannya. Cukup dibaca dan gue harap dia tidak mengganggu.
Hari gue cukup buruk setelah membaca rentetan pesan dari para mantannya Santi. Baru kemarin gue hapus semua chat dan pagi ini kembali penuh. Sekitar seratus pesan yang masuk dalam semalam. Luar biasa. The power of mantan.
Jadwal gue tidak terlalu padat hari ini. Syuting iklan baru dilaksanakan besok siang itu artinya hari ini gue bebas. Terlebih si nenek sihir bernama Sherly tidak menghubungi gue pagi ini. Rasanya begitu bahagia membayangkan seharian bisa melakukan apapun sesuka hati. Ponsel gue berdering. Sebuah panggilan yang membuat gue teringat pada Santi.
“Iya, San ada apa?”
“Lo di mana?”
“Di rumah. Kenapa?”
“Gue ke sana sekarang.”
Sambungan terputus. Gue bergegas membersihkan diri. Santi akan marah kalau melihat gue belum rapi saat dia datang terlebih kemarin malam gue lupa membersihkan sisa make-up sebelum tidur. Gue bisa kena marah.
Setelah selesai membersihkan diri gue langsung ke dapur membuat sarapan. Di kulkas hanya ada s**u tepung dan telur. Walau jarang masak tapi gue bisa buat pancake sederhana. Gue mulai sibuk membuat adonan dan memanggang pancake di atas pan sampai adonan habis tak tersisa.
Bel pintu berbunyi membuat gue bergegas membukanya. Santi berdiri di depan pintu lengkap dengan wajah kusut. Kalau dilihat-lihat wajah gue asem juga kalau lagi cemberut. Tidak ada manis-manisnya.
“Lo kena–“ Santi menerobos masuk sebelum gue mempersilahkan. Gue tahu ini rumah dia tapi kalau ada orang yang melihatnya akan mengira Kanaya tidak punya sopan santun dan itu membuat harga diri gue tercoreng. Sudahlah itu berlebihan yang terpenting tidak ada yang melihatnya kecuali…
Riak air terdengar di sebelah. Radit sedang menyiram tanaman. Tatapan kami beradu seketika uacapan Radit tentang Kanaya jomblo akut terngiang di telinga. Gue tidak akan memaafkan dia secepat itu.
“Apa lihat-lihat? Gue cantikkan?”
Radit terdiam lalu menggeleng. “Ini pertama kalinya gue jengkel lihat lo, San. Biasanya lo kalem jarang nyapa tapi sekarang lo jadi cerewet sama seperti si Kacang. Cepat sadar San sebelum kejombloan si Kacang menular,” ujar Radit panjang lebar.
Kalau sudah menghina orang, dia nomor satu. Jomblo itu tidak salah. Gue bilang sekali lagi jomblo itu tidak salah yang salah itu calon pasangannya yang masih suka jajan di luar.
“Emang lo punya pacar Dit? Nih, gue kasih tahu sama lo kalau pacaran itu jomblo yang tertunda makanya jangan bangga dulu kalau punya pacar.”
Gue langsung menutup pintu dengan kesal. Bicara dengan Radit hanya membuat emosi gue meningkat. Gue baru ingat sama Santi. Ke mana perginya wanita itu? Apa mungkin ke kamar? Gue langsung pergi ke kamar tapi saat melewati dapur sosok wanita yang gue cari ternyata ada di sana sedang makan pancake yang baru gue buat.
“Jangan di makan semuanya, San. Gue juga belum makan.” Santi tidak menghiraukan. Dia makan dengan lahap sampai tersedak. Gue segera mengambil air untuknya lalu Santi menghabiskan air dan pancake tanpa sisa.
“Gue lagi stress.”
“Iya, gue tahu lo stress tapi gak harus habiskan semua pancake-nya.”
Santi bersandar pada kusi sembari mengusap perutnya. Terpaksa gue buat sarapan yang lain. Untungnya ada roti dan selai. Tidak apa sarapan roti panggang.
“Gue gak kuat lagi, Nat. Jadi guru TK itu tidak asik. Mereka cengeng banget apalagi di suruh diam tidak mau. Kesal, kan?” Gue duduk di depan Santi setelah memanggang dua buah roti. Sembari mengolesi dengan selai gue mencoba menghibur Santi yang stress.
“Itulah bagian dari pekerjaan, San. Gue juga sama kayak lo. Kerja kadang sampai larut malam. Bukan cuma di dalam studio saja tapi juga di luar. Kadang makan saja sulit. Kita sama-sama susah menjalankan profesi yang tidak kita suka dan kuasai.”
Santi menumpukan dagu di atas meja. “Gue pengen balik normal,” gumam Santi.
“Kita hanya perlu bersabar menjalankan cobaan ini, San. Gue juga pengen ketemu sama anak-anak dan mengajar mereka lagi.”
Santi mengetuk meja dengan telunjuknya. “Gue gak percaya diri buat ngajar lagi. Satu kelas nangis karena gue benak.”
“Apa? Lo gila San. Kenapa lo bentak anak orang. Mereka masih kecil, apa lagi tugas itu mengajari mereka budi pekerti. Kalau gurunya tidak punya rasa kasih kayak lo bisa-bisa sekolah dituntut.”
“Jadi lo salahin gue?” Santi berdiri matanya memerah. Gue ikut berdiri tidak terima dia melakukan hal kasar pada anak-anak. Gue bahkan berusaha menghilangkan rasa malu dan grogi saat di depan kamera demi karirnya Santi.
“ini bukan masalah benar atau salah. Lo tahu bagaimana pekerjaan gue sebagai model. Kita sama-sama susah jadi cobalah bertahan untuk karir kita masing-masing. Jangan egois, San. Kalau lo pengen berhenti gue juga bisa berhenti jadi model. Kita impas.”
Ini pertama kalinya kita bertengkar. Gue rasa Santi sudah berada di titik ujung rasa sabarnya. Ia adalah wanita bebas dan suka hal-hal baru setiap hari. Terlalu banyak perbedaan di antara kami yang baru terkuak sekarang.