Tawaran

1145 Kata
Ponsel gue berdering. Ada nomor tidak di kenal lagi. Gue angkat panggilannya yang ternyata suara wanita. Santi pindah ke samping gue lalu menempelkan telinganya pada ponsel yang gue pegang. Gue langsung menjauhkan ponsel dari telinga kemudian menekan gambar speaker pada layar. Suara perempuan itu terdengar lagi. “Iya, benar saya Santi. Ini dengan siapa kalau boleh saya tahu?” “Saya Jenifer dari SMF Boutique, apakah hari ini Mbak Santi sibuk? Ada yang ingin saya sampaikan terkait pertunjukan busana di Festival of the year bulan depan.” Santi mengguncang tangan gue agar mau menerima tawarannya. Ingin sekali gue tolak tapi melihat Santi mencakup tangannya membuat gue tidak tega, Ini adalah salah satu mimpi Santi sejak dulu. Ia ingin berjalan memamerkan busana saat pameran busana. “Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?” “Saya akan mengirim alamatnya segera. Terima kasih atas waktunya, sampai jumpa nanti.” Sambungan terputus. Santi berjingkrak senang, berbeda sekali dengan ekspresinya beberapa saat lalu. Gue kembali duduk untuk menyantap sarapan. Ponsel gue berdenting sebuah pesan masuk berisikan alamat yang harus gue datangi. “Ini benar-benar mimpi yang jadi kenyataan. Untuk pertama kalinya gue bisa tampil di peragaan busana,” ucap Santi membuat gue terdiam. Kemungkinan yang melakukan itu bukan Santi melainkan gue. Siapa yang suka bekerja 24 jam penuh. “Gue bisa saja menolaknya.” Santi berhenti meloncat girang. Ia menarik kursi untuk duduk di samping gue. “Lo gak boleh tolak. Ini mimpi gue, Nat. Kesempatan ini tidak datang dua kali dalam hidup gue,” ujar Santi. “Begitu juga gue, San. Jadi guru adalah mimpi gue, kalau lo berhenti itu sama saja menghentikan mimpi gue.” Santi terdiam dengan kepala tertunduk. Ini memang sulit bukan hanya bagi Santi tapi jug ague sendiri. “Maafin gue Nat sudah egois. Gue hanya mementingkan diri sendiri.” Melihat Santi yang menunduk membuat gue merasa bersalah. Kami saling bertatapan lalu tersenyum. “Maaf,” ujar kami bersamaan. Santi memeluk gue erat membuat suasana kembali tenang. Setidaknya untuk saat ini kita bisa bekerjasama untuk kepentingan berdua. “Gue berjanji akan menjadi guru yang baik untuk anak didik lo,” ujar Santi setelah pelukan terlepas. “Gue juga janji tidak akan mengeluh di depan kamera.” Kami saling mengaitkan jari kelingking sebagai pengikat janji. Gue berharap secepatnya kita bisa hidup normal lagi. Menjadi orang lain itu tidak menyenangkan terkadang apa yang gue lihat mudah dan menyenangkan ternyata tidak sepert kenyataannya. Semua butuh perjuangan, kadang gue hanya melihat hasil, tapi lupa akan prosesnya. *** Sesuai janji yang telah dibuat siang ini gue akan bertemu dengan Ms. Jenifer. Santi merengek ingin ikut sehingga kami pergi bersama. Santi mengendarai mobil seperti biasa ia tidak suka naik motor apalagi angkutan umum. Setiap pagi ia akan merepotkan Kak Stefan, untungnya kakak gue sudah jinak jadi Santi aman tidak dimarah. Kami sampai di sebuah gedung bertingkat dua. Seluruh bangunan dicat putih, bagian depan kaca tembus pandang sehingga kita bisa melihat apa yang dilakukan orang di dalam. Ada beberapa tanaman hias berjejer di depan. Sangat cantik dipandang. “Bagus rumahnya. Sepertinya ini butik,” ujar Santi saat kami berada di depan bangunan itu. Kami masuk melihat banyak barang antik berjejer di setiap sudut. Rumah ini lebih luas dari yang gue kira. Banyak pakaian serta manikin yang berjejer rapi di tempat yang pas. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang wanita menghampiri kami. Rambutnya yang disisir rapi membuatnya terlihat dewasa. “Kami mau bertemu Ms. Jenifer. Saya Santi, eh, maksudnya dia Santi,” ucap Santi sambil menarik tangan gue. “Mbak Santi sudah ditunggu di ruang Ibu Jenifer. Mari ikut saya.” Kami mengikuti wanita itu naik ke lantai dua. Tidak jauh berbeda dengan lantai dasar, di lantai dua juga banyak terdapat pakaian dan pernak-pernik. Wanita itu mengetuk satu-satunya ruangan yang ada di lantai dua. Pintu terbuka dan kami dipersilakan untuk masuk. Seorang wanita cantik bertubuh langsing menyambut kedatangan kami. Gue jadi iri dengan kulitnya yang bersih dan bersinar. Pakaian yang ia kenakan juga sangat pas dan tidak terlalu glamor. “Silakan duduk.” Kami berdua duduk di sofa panjang sementara Ibu Jenifer duduk di sofa single. Cara duduknya juga sangat elegan, seperti wanita bangsawan. “Kamu yang bernama Santi?” ucapnya memulai pembicaraan. Santi menyenggol tangan gue. “Iya, saya Santi.” Wanita itu tersenyum. “Saya ingin menawarkan kamu menjadi model di acara Fashion Week Festival bulan depan. Acaranya selama empat belas hari tapi kamu hanya mendapatkan sepuluh kali pentas.” Perempuan itu berdiri lalu mengambil sebuah kertas di atas mejanya. Ia memberikan kertas itu ke gue. “Ini jadwalnya. Saya harap kita bisa bekerjasama,” ucapnya. Santi merebut jadwal itu dari tangan gue. Ia langsung menatap gue dengan mata berkaca-kaca. Gue tidak bisa menolak sesuai janji tadi pagi. “Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Anda, ibu Jenifer.” “Jangan panggil ibu, saya belum menikah. Panggil saya Jenifer,” ucapnya. “Baik, Jenifer.” Kami saling berjabat tangan. Santi memeluk lengan gue erat. Wajahnya terlihat berseri yang menandakan dia bahagia. Sekarang giliran gue yang minta Santi menepati janjinya. *** “Kita harus kembali normal dalam waktu sebulan. Bagaimana pun caranya kita harus bisa kembali ke tubuh masing-masing,” ujar Santi sembari mondar-mandir di depan gue. Saat ini kami berada di kamar gue. Rasanya sudah lama tidak menempati kamar ini lagi. Gue kangen semua boneka dan pernak-pernik kamar gue terlebih ada poster idola yang terpasang di dinding. “Bagaimana caranya?” “Nah, itu dia yang gue tidak tahu,” ucap Santi lalu duduk di tempat tidur. Ia gelisah sama seperti gue. Kita duduk bersisian sambil merenung. “Gue punya ide.” Santi menghadap gue kedua kakinya bersila di atas tempat tidur. “Ide apa?” “Kita mulai semedi. Sini tangan lo.” Santi menarik tangan gue lalu memejamkan matanya. Gue hanya mengikuti apa yang Santi lakukan. Siap tahu berhasil. Santi mulai memberi aba-aba untuk mengatur napas. Gue mulai konsentrasi menggenggam tangan Santi erat. “Tarik napas. Hembuskan,” ucap Santi. Kami melakukannya berkali-kali sampai sebuah suara yang tidak diinginkan muncul membuat udara kamar tercemar. Gue segera menjauh dari Santi lalu menutup hidung dengan bantal. “Kalau mau kentut bilang-bilang dong, San. Jangan main ‘bom’ saja. Gue belum siap lahir batin.” Santi tertawa tidak lama kemudian ia memegangi perutnya. “Bentar gue mau ke kamar mandi dulu.” Santi beranjak turun dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Untuk gue sudah terbiasa mencium bau busuk itu jadinya tidak terlalu kaget saat Santi mengeluarkannya. Gue jadi menyesal bilang pada Max kalau kentut itu hal positif. Santi keluar dari kamar mandi dengan penuh kelegaan. Kami kembali duduk bersisian kemudian Santi membaringkan tubuhnya di tempat tidur. “Gue mau tidur siapa tahu nanti pas bangun gue kembali ke tubuh yang asli,” ujar Santi lalu memejamkan matanya. Melihat Santi yang tertidur pulas membuat gue melakukan hal yang sama berharap saat bangun nanti semua kembali normal. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN