“Ada apa? Apa yang salah?” Naya menggelengkan kepala, terlihat jelas bahwa dirinya bingun dan marah pada dirinya sendiri. “Tidak apa apa,” katanya. “Tidak apa apa, serius. Ya, Tuhan, terkadang aku terlalu banyak mengeluh. Maafkan aku, lupakan…” “Naya…” Gadis itu mengambil mantelnya, berpaling menjauh dari Flak. “Naya,” ulang Flak. Dia menarik lengan gadis yang mau pergi itu. “Apabila ayahmu tidak bangga padamu…” “Dia pasti sudah sangat keliru.” Naya memandang mata Flak dan segera melihat kalau laki-laki itu bersungguh sungguh. Dia sedikit ragu namun kemudian merapatkan dirinya, agak bersandar pada laki laki itu dan mencium bibirnya dengan lembut. Sejenak lalu, dia melepaskan diri, bibirnya yang lembut begitu dekat dengan bibir Flak seolah menjanjikan sesuatu yang lebih dari itu. Kemudia