10. Waktu yang Salah

1794 Kata
Hari Sabtu adalah waktunya Ranis kunjungan ke rumah bapak. Rencananya mau sekalian ingin mengajak Ayla jalan-jalan. Ranis merindukan gadis kecil itu. Sudah ĺama dia tidak menghabiskan waktu untuk liburan bersama Ayla. Dan seharusnya tadi malam pulang dari kantor dia bisa langsung berangkat ke Bogor. Namun gara-gara server trouble akhirnya lembur dan agak was-was bila memaksakan diri mengemudikan mobil sendirian ke Bogor. Apalagi pulangnya juga bersama Aditya, tidak mungkin sekali kalau Ranis memintanya mengantar ke Bogor, meskipun Ranis yakin Aditya tidak akan menolaknya. Ranis mulai memanaskan mobilnya. Harus berangkat lebih pagi, karena mumpung Daren juga sedang tidur, ditambah lagi jalanan pasti padat merayap mengingat hari ini adalah long weekend. Jadi pagi ini Ranis harus berdamai dengan rasa lelahnya demi bisa bertemu dengan Ayla. Pukul lima pagi Ranis melajukan mobil perlahan keluar dari area kompleks perumahan. Selama perjalanan dia sengaja tidak memutar audio mobil pada mode USB. Dia membiarkan saja berputar pada mode Radio.Saluran radio yang dipilih Ranis sedang menyiarkan acara berita pagi diiringi lagu-lagu Indonesia yang cukup terkenal pada jaman putih abu-abunya. Terdengar suara penyiar radio perempuan dengan suaranya yang serak basah. Setelah penyiar menyampaikan kondisi jalanan pagi ini, mengalun sebuah lagu lama dari Ada Band berjudul Manusia Bodoh. Kalau saja penyiar radio itu ada di depan Ranis saat ini, pengin Ranis jambak saja rambutnya. Karena sudah memutar lagu 'baper' seperti itu pagi-pagi. Ranis tertawa sinis, berusaha tenang, tidak terlalu terbawa suasana dan memilih mendengarkan lagu tersebut, bahkan ikut menyanyi bersama Donnie sang vokalis. Tak ayal tingkah lakumu Buatku putus asa Kadang akal sehat ini Tak cukup membendungnya Hanya kepedihan Yang s'lalu datang menertawakanku Engkau belahan jiwa Tega menari indah di atas tangisanku Lagi-lagi Ranis tertawa miris saat lagu sudah selesai berputar. Lagu yang menggambarkan dengan baik kondisinya selama menjalin hubungan dengan Aditya. Bahkan meski semuanya telah berakhir, Ranis masih saja menjadi manusia bodoh. Karena jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Ranis memang masih selalu mengharapkan Aditya kembali padanya. Itulah mengapa dia menyebut dirinya sebagai manusia bodoh. Setelah keluar dari tol, Ranis merasa ada yang tidak beres dengan mobilnya. Tiba-tiba kecepatan mobilnya berkurang dengan sendirinya. Segera Ranis menepikan mobil dan mesin mobil mendadak berhenti begitu saja. Ranis mencoba menghidupkan kembali mesin mobil, tetapi tidak berhasil. "s**t!" Ranis mengumpat kesal karena mobilnya mogok di saat yang tidak tepat. Dia keluar dari mobil. Melihat ke kanan dan ke kiri, sepi. Dia hampir frustrasi karena tidak tahu harus berbuat apa menghadapi mobil ini. Sebuah sedan hitam mengkilap menepi tepat di depan mobil Ranis. Seorang pria keluar dari mobil itu, tubuhnya tegap, rambut agak berombak, kulit sawo matang dan ada jambang tipis di sekitar rahang hingga dagunya. Pria yang tampan, itu yang di jeritkan oleh dewi batin Ranis saat pria itu menghampiri Ranis yang sedang resah. "Mobilnya kenapa?" tanya pria tampan itu dengan suaranya yang berat dan terkesan sangat maskulin. Ranis menggeleng. "Tau-tau mesin mobil mati," jawabnya lesu. "Oh... Coba saya lihat mesinnya. Bisa tolong buka kap mobilnya," ujar pria tersebut dengan sopan. "Oke...," jawab Ranis, lalu melesat ke balik pintu kemudi untuk membuka kap mobilnya. Pria tadi melangkah menuju bagian depan mobil Ranis. "Mbak keburu nggak? Soalnya ngabisin waktu sekitar 15 sampai 30 menitan," ujarnya memberi penjelasan. "Nggak keburu kok," jawab Ranis sambil melihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya, yang ternyata masih menunjukkan pukul enam pagi. Pria yang belum Ranis tahu namanya itu kemudian kembali ke mobilnya dan tidak sampai lima menit kembali lagi ke mobil Ranis dengan sebuah kotak berisi peralatan kendaraan. "Oya..., nama saya Abimanyu. Panggil saja Bima. Mbak siapa namanya?" tanya pria tersebut seraya menyodorkan tangan kanannya. Ranis menyambut dengan tersenyum manis. "Rengganis, tapi cukup panggil Ranis aja, tanpa embel-embel mbak lebih baik." Abimanyu tersenyum lalu mengangguk. Dia memulai mengangkat kap mobil Ranis hingga terbuka penuh. Sedangkan Ranis hanya berdiri di samping mobil sambil sesekali memerhatikan aktivitas Abimanyu. Wait, bukan aktivitas pria itu semata, tapi lebih ke menilai wajah dan postur tubuh pria yang sedang konsentrasi menghadap mesin mobil Ranis. Ranis menebak mungkin usia Abimanyu sepantaran dengan Rey. Pembawaannya tenang dan dewasa. Sesekali dia bertanya pada Ranis dari mana dan hendak ke mana di sela aktivitasnya. Ranis merasa nyaman mengobrol dengannya, padahal dia adalah orang asing bagi Ranis, tapi rasanya Ranis seperti sudah mengenal cukup lama. Tiga puluh menit kemudian, kegiatan Abimanyu mengutak-atik mesin mobil Ranis selesai. Ranis kemudian membantunya mencuci tangan. Kebetulan di dalam mobil Ranis ada sebotol penuh air mineral ukuran 1,5 liter, cukup untuk membersihkan tangan Abimanyu yang kotor. "Saya kok merasa nggak asing ya sama Ranis?" tanya Bima agak ragu-ragu. "Oya? Have we met?" Ranis malah bertanya balik pada Bima. Bima kelihatan sedang berpikir, sebelum berkata, "sepertinya pernah. Tapi tepatnya di mana saya lupa." Diiringi dengan senyum bingung. Jangan-jangan pria ini lagi modusin aku. Tiba-tiba saja satu sisi protektif dalam diri Ranis mulai bereaksi. Dia mulai agak menjaga jarak dan tidak terlalu mengambil pusing tentang benar atau tidaknya soal pertemuan mereka sebelum ini. Bima berdeham lalu berkata, "ya sudah, kalau nggak ada masalah lagi, Ranis bisa melanjutkan perjalanannya. Saya juga mau lanjut," sebelum melangkah kembali ke mobilnya. Ranis tersenyum kikuk, tidak enak karena dia tidak ingat apa pun tentang Bima. "Ada biayanya nggak nih?" tanya Ranis sebelum benar-benar mengakhiri pertolongan Bima. "Bayarnya doakan saja saya selamat sampai tujuan." Ranis tertawa renyah. "Owh..., tentu. Kalau gitu aku duluan ya. Makasih banyak, mas Bima." "Sama-sama. Hati-hati nyetirnya, Ranis." Ranis mengangguk lalu masuk ke mobilmya. Bima juga berjalan menuju mobilnya yang berada di depan mobil Ranis. Setelah berada di dalam mobilnya Ranis mulai menghidupkan mesin mobil. Ranis melihat Bima belum melajukan mobilnya, pria itu memilih menunggu dan mempersilakan Ranis untuk terlebih dahulu melajukan mobil ke tengah jalan raya. Saat tengah berkendara ponsel yang berada di car holder phone mobil Ranis berkedip-kedip, sebuah panggilan masuk. Ranis melirik sebentar untuk melihat siapa penelepon yang sedang berusaha menghubunginya. Aditya is calling... Ranis mengenakan handsfree lalu menerima panggilan dari Aditya yang mulai tidak sabaran, karena ini adalah panggilannya yang kelima. "Hallo?" "Kamu di mana, Ra?" tanyanya dengan nada yang terkesan possesif seperti biasa jika dia merasa khawatir. "Lagi on the way," jawab Ranis santai. "Mau ke mana pagi gini? Bukannya libur ya?" "Arrggh Adit kepo banget deh. Terserah aku lah ya mau ke mana kek, kapan kek." Bukannya menjawab pertanyaan Aditya tadi, Ranis malah ngedumel dalam hatinya. "Ke rumah bapak di Bogor," jawab Ranis kesal. "Loh... sendirian aja ke Bogor? Kok nggak bilang? Kamu itu jadi bikin aku khawatir loh ,Ra." "Adit, udah deh! Aku udah bertahun-tahun kali ya bolak balik Jakarta-Bogor. Kok kamu khawatirnya baru sekarang, sih? Ke mana aja kamu selama ini?" Ranis sudah mulai jengah dengan perhatian Aditya yang menyerempet ke arah posesif dan sok mengatur seperti itu.Namun berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Aditya. Dia merasa senang saat Ranis menyerukan nama kecilnya seperti itu. "Iya maaf. Kan aku sekarang udah ada di sisi kamu. Kalau kamu bilang kan bisa aku anter, Ra." Nada bicara Aditya mulai turun dan sepertinya sadar sudah membuat Ranis tidak nyaman padanya. Dan di sinilah letak kelemahan Ranis, laki-laki itu selalu bisa dan tahu tempatnya kapan harus tinggi dan kapan harus rendah saat menghadapi emosi Ranis. "Enggak perlu. Aku nggak mau ngerepotin siapa-siapa." "Aku nggak ngerasa direpotin kok, Ra. Pulang jam berapa ke Jakarta? Aku jemput, ya," ucap Aditya dengan penuh kelembutan. Ranis masih sedikit kesal. "Nggak perlu. Lagian aku nginep kok di rumah bapak." "Ya udah aku jemput besok. Salam sama bapak. Take care ya, Ra." Klik. Dan sambungan telepon terputus begitu saja. Hampir bersamaan dengan mobil Ranis berhenti di depan rumah Bapak. Ranis menghela napas dan berpikir keras bagaimana jika Aditya benar-benar datang menjemputnya, lalu bertemu dengan Ayla. Dia belum mempersiapkan jawaban apa pun untuk menghadapi pertanyaan Aditya nantinya. Ranis keluar dari mobil setelah dia menenangkan perasaannya yang bergejolak akibat perhatian Aditya yang tidak pada tempatnya dan bergegas menuju kamar Ayla untuk memeluk dan melepas kerinduan pada putri kecilnya itu. Selesai sarapan bersama, Ayla minta diajak bermain ke waterpark. Kali ini Ranis akan menurutinya, dia benar-benar butuh refreshing. Kepalanya sudah hampir pecah rasanya, seminggu ini terasa penat. Untungnya otak Ranis ini buatan Tuhan, coba kalau buatan Cina pasti sudah hang sejak lama. Ranis menawarkan Waterpark di daerah Cileungsi, Bogor pada Ayla, rekomendasi dari temen kantornya. Tempatnya seru, terutama untuk anak seumuran Ayla. Bapak memilih diam di rumah saja, dari pada saat sedang enak-enaknya main tiba-tiba Bapak minta pulang, bisa ngamuk si Ayla. *** Setengah jam sudah dilewatkan oleh Ranis dan Ayla di waterpark. Ayla sepertinya lupa dengan keinginannya untuk bisa memiliki kulit seperti Ranis. Lihat saja sekarang kulitnya sudah seperti terbakar begitu. Namun anak itu terlihat senang dan tidak ada capek-capeknya. Malah Ranis yang sudah mulai gempor menuruti mau anaknya itu. "Ila..., istirahat dulu ya! Bunda capek nih!" ujar Ranis membenarkan celana renang Ayla yang terselip di antara p****t kecilnya. "Yaaa... tapi Ila masih pengen main itu, Nda," tunjuknya pada sebuah papan seluncur yang bentuknya seperti ular anaconda berwarna oranye. Ranis menepuk keningnya. "Sekali aja ya, trus kita makan siang!" ucap Ranis tegas. Ayla mengangkat kedua jempolnya. "Oke deal," jawabnya excited. Ranis mengacak rambut keriting Ayla yang sudah basah sejak tadi. Keduanya mulai mengantre untuk naik ke wahana itu. Setelah nyaman di posisi ban seluncur, dalam hitungan ketiga mereka meluncur. Ranis berteriak untuk melepas beban yang ada di kepalanya. Sedangkan Ayla meracau tidak jelas dan hanya kalimat, "Ila pengen punya ayah, Ndaaa... ," yang bisa Ranis dengar dengan baik. Lalu kedunya terjun ke dalam air. Ayla tertawa lepas, sedangkan Ranis masih shock dengan ucapan yang terlontar dari bibir mungil Ayla. Setelah keluar dari kolam renang, keduanya memasuki stand kuliner yang berada di dalam arena bermain. "Tadi Ila ngomong apa sih pas meluncur? Bunda cuma dengernya teriakan Ndaaa... gitu," tanya Ranis penasaran. "Ila pengen punya ayah, Nda," jawab Ayla dengan nada santai sambil matanya berbinar-binar melihat makanan pesanannya telah tersaji diatas meja. Ranis menghela napas dan hanya bisa memberi jawaban berupa senyuman lalu mengacak puncak kepala Ayla dengan sayang. Menjelang sore, keduanya pulang ke rumah Bapak. Ayla tertidur sepanjang perjalanan pulang, karena kelihatan sekali gadis kecil itu sangat kelelahan. Mendengar bunyi klakson mobil, mbok Rumi berlari kecil untuk membukakan pintu gerbang. Setelah mobil berhenti di carport, Ayla menggeliat dan melompat keluar dari mobil. "Eyang kakung. Ila pulang nih..." teriak Ayla penuh semangat. Pasti dia sudah tidak sabaran ingin bercerita pada Bapak akan keseruannya bermain di waterpark tadi. Ranis keluar dari mobil dan mengikuti jejak Ayla masuk ke rumah. Namun langkahnya berhenti seketika saat melihat sosok yang tidak asing lagi sedang duduk di sofa depan ruang televisi, berseberangan dengan tempat bapak yang saat ini sedang digelayuti manja oleh Ayla. "Masa Bunda cuma meluncur sekali doang udah capek kung. Ila dong enggak." Celotehan Ayla membuat Ranis semakin kesusahan menelan saliva. Aditya menatapnya dengan tajam dan penuh tanya. Ranis masih diam di tempatnya berdiri sampai suara Ayla sekali lagi mengejutkannya dan mengembalikan kesadaran Ranis sepenuhnya. "Bunda... ich... dipanggilin daritadi nggak nyahut, malah ngelamun." Ayla menarik Ranis untuk bergabung dengan Bapak dan Aditya. Ranis menatap iba dan memohon bantuan pada bapaknya. Namun Bapak hanya menggeleng pelan dan mengerjap beberapa kali. Ranis bisa merasa tatapan tajam Aditya saat ini masih tertuju padanya dan sudah tidak sabar ingin mendapat penjelasan darinya soal Ayla dan panggilan Ayla untuk Ranis yang tidak biasa. ~~~ Tbc... Happy reading. ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN