9. Momen Indah Bersamamu

1678 Kata
Seminggu ini Aditya disibukkan dengan renovasi ruangan untuk kantor baru Kev Architecture. Kini dua lantai di gedung Diamond yang disewanya sudah terlihat seperti kantor yang layak. Lantai 16 dia jadikan sebagai tempat meeting, resepsionis dan ruang tunggu khusus bagi tamu. Juga ada ruang kecil untuk pantry dan toilet. Sedangkan lantai 17 diisi dengan beberapa sekat berbentuk kubik untuk para staf dan satu ruangan khusus bagi Aditya, yang dilengkapi kamar mandi di dalam ruangan. Sederhana tapi tetap terlihat seperti kantor yang elegan. Semua lantai dipasangi pendingin udara. Kecuali pantry memang didesain khusus untuk para manusia knalpot alias smooking area. Jika tidak ada halangan, minggu depan Aditya akan melakukan peresmian untuk kantor barunya. Jam tangan di pergelangan tangan kiri Aditya sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja kerjanya. Menelepon Ranis yang sudah hampir seminggu ini tidak dilihatnya. Namun tidak ada jawaban, hingga nada sambung terakhir. "Hallo?" Ranis menerima panggilan telepon Aditya ketus. "Masih di kantor, Ra?" "Iya masih. Ada trouble sama serverku." "Ada yang bisa aku bantu?" "No, thanks. Sudah ada teknisi di sini." "Pulang bareng ya?" "Kalau bareng kamu trus mobilku diderek gitu?" jawab Ranis malas. "Aih Mora, nggak gitu juga kali. Nggak ngerti kode banget, sih, ini perempuan?" ucap hati kecil Aditya. Tidak ada jawaban dari Ranis. Sambungan telepon justru terputus begitu saja. Aditya tidak peduli Ranis mau marah atau ngamuk karena dia nekat menghampiri gadis itu di lantainya. Aditya terlalu risau membiarkan Ranis hanya tinggal dengan seorang teknisi di ruang kerjanya yang diyakininya sudah pasti sepi. Terlebih teknisi itu adalah laki-laki. Pintu lift terbuka di lantai 15. Aditya langsung saja berjalan ke arah ruangan Ranis. Dugaan Aditya benar. Kantor Ranis sudah sepi dan lampu sudah banyak yang mati. Hanya tinggal satu ruangan yang masih menyala terang lampunya. Pintu kacanya juga terbuka lebar, dan vertical blind dibiarkan terbuka. Saat Aditya masuk ke dalam ruangan itu, dia bisa langsung menangkap posisi Ranis yang saat ini sedang duduk di sofa berwarna merah menyala. Tubuh sintalnya hanya dibalut kemeja polos berbahan sifon. Bra berwarna biru laut tercetak samar di balik kemeja itu, apalagi kemejanya warna putih. Bagian bawah tubuh Ranis hanya dibalut rok span ketat sepanjang lutut, dan rambut panjangnya sudah diikat asal membentuk cepol. Aditya berjalan cepat mendekat i Ranis lalu melemparkan begitu saja jas yang sejak tadi disampirkan di pundaknya. Jas itu jatuh tepat menutupi tubuh bagian atas Ranis. Gadis itu sontak kaget saat menerima jas milik Aditya. Mata Ranis membelalak dan menggigit bibir bawahnya sendiri tanda geram. Bola mata Ranis menatap tajam kepada Aditya seolah sedang berkata 'What the hell yeah?'. Aditya tidak peduli respon tidak bersahabat dari Ranis. Dia mengempaskan tubuh duduk di samping Ranis. Gadis itu hanya membuang muka lalu mengembalikan jas tadi pada pemiliknya. "Blazer kamu mana?" tanya Aditya geram. Ranis hanya memberi isyarat dengan dagunya menunjuk sandaran kursi kerja yang saat ini sedang diduduki oleh teknisi sedang membenahi laptop dan PC-nya. Ranis beranjak dari duduknya, tapi berhasil ditahan oleh Aditya supaya tetap duduk. "Eh..., mau ke mana kamu?" tanya Aditya, melihat Ranis beranjak dari duduknya. "Ambil blazer," jawab Ranis santai. Aditya berdecak. "Biar aku saja yang ambil," tukasnya lalu berdiri lagi. Demi Tuhan! Aditya sungguh tidak mau tubuh Ranis terekspose untuk laki-laki lain. "Kamu kenapa belum pulang?" tanya Ranis menerima blazer dari Aditya. Kali ini suaranya tidak lagi terdengar jutek, tapi air wajahnya datar saja. Aditya tersenyum karena Ranis peduli padanya. "Lagi finishing kantor. Biar Senin bisa peresmian," jawabnya. "Ooh...," jawab Ranis singkat. "Itu laptop atau komputernya yang eror?" tanya Aditya lagi seolah enggan untuk berhenti mengobrol dengan Ranis. "Embuh. Kata masnya tadi server-nya. Tapi barusan aku telepon IT pusat nggak ada masalah di sana. Mana dikejar deadline lagi. Capek!" Ranis akhirnya mau berbicara dengan kalimat sedikit panjang dan tidak ada lagi nada jutek. "Harus selesai hari ini ya?" "Iya gitu deh. Besok kan kudu naik cetak. Minggu beredar majalahnya. Dari tadi bagian penerbitan udah teriak-teriak minta cepet dikirim bahan-bahan yang masih kurang. Nggak mau tau banget kalau di sini lagi ada trouble." "Ya sabar. Coba aku liat dulu ya mas teknisinya." Ranis mengangguk lemah. Kepalanya disandarkan ke sofa. Tak lama matanya sudah terpejam dengan mudahnya. Aditya tidak lagi mengganggu Ranis, memilih mengobrol dengan teknisi yang sedang mengutak-atik laptop Ranis. Aditya menghubungi Jonas yang sedikit banyak tahu masalah komputerisasi. Syukurnya dia berada tidak jauh dari lokasi gedung Diamond. Sehingga bisa menyempatkan diri untuk mampir. Saat Aditya kembali ke sofa dilihatnya posisi tidur Ranis dengan tangan dilipat di atas d**a dan napasnya terdengar sangat teratur. Tak berselang lama Jonas datang dan mulai membantu mengutak-atik laptop dan komputer Ranis. Kira-kira setengah jam kemudian semua telah beroperasi dengan baik. Terlihat dari layar komputer dan laptop mulai masuk beberapa email. Aditya lalu mendekati Ranis yang masih tertidur pulas. Dia menepuk pipi Ranis yang sedikit cubby itu dengan pelan. Ranis mulai menggeliat di tepukan ketiga. "Aku ketiduran ya?" tanya Ranis dengan suara parau. "Iya. Itu diperiksa dulu laptopnya." Ranis melangkah lesu ke arah mejanya dan mendaratkan b****g di kursi kerjanya dengan malas-malasan. Wajahnya mulai terlihat serius memandangi laptop, kemudian beralih ke komputer di sampingnya. Aditya menunggu dengan sabar di sofa yang tadi dijadikan Ranis sebagai tempat tidur hingga terlelap. Satu jam kemudian... "Dit... Adit... bangun!" Ranis mengusap pipi Aditya untuk membangunkan laki-laki itu. Aditya berhasil menangkap tangan yang mengusap pipinya, meremas pelan jari-jari itu lalu membuka perlahan kedua bola matanya. Saat matanya telah terbuka sempurna dia melihat Ranis tengah menatapnya dengan wajah datar, kemudian tersenyum tipis karena Aditya tersenyum padanya. Ranis segera menarik tangannya, membuat Aditya tersadar lalu menegakkan tubuhnya. "Udah kelar?" tanya Aditya sambil melemaskan otot-ototnya. "Udah. Ayo pulang!" "Naik mobil kamu ya, Ra. Mobilku udah dibawa Hendrick tadi." Ranis hanya mengangguk lalu menyuruh Aditya keluar dari ruangannya terlebih dulu. Setelah mematikan lampu ruangannya dan mengunci pintu, mereka berjalan beriringan menuju lift. Selama di lift Ranis lebih banyak diam. Aditya sendiri memberi kesempatan pada Ranis agar tidak merasa dipaksa untuk bisa menerima kehadirannya kembali. Di antara banyak hal indah yang terjadi dalam hidup Ranis, yang menyangkut Adityalah menjadi hal tak terlupakan. Terlebih saat mereka terjebak momen berduaan seperti sekarang ini. Salah satu momen indah itu adalah saat tahun ke empat hubungan mereka. Kuliah Ranis agak sibuk dan Aditya juga sedang disibukkan dengan kegiatan praktek KKN dari kampusnya, membuat intensitas pertemuan mereka berkurang waktu itu. Sore itu, Ranis baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir hari ini. Kebetulan juga Aditya sedang ada waktu luang jadi dia menyempatkan untuk menjemput Ranis di kampus. Ranis duduk di bangku yang tersedia di sepanjang koridor kampus. Dia mulai tidak sabaran menunggu jemputan Aditya. Jika disuruh memilih daripada dijemput tapi harus menunggu sampai satu jam, mending dia naik ojek saja, pasti sudah sampai sejak tadi. Namun kalau tidak dituruti pasti Aditya merajuk. Ranis malas jika harus merayu Aditya yang sedang ngambek. Beberapa menit setelah Ranis menggerutu soal sifat Aditya, sebuah motor cowok yang Ranis kenali adalah motor Aditya berhenti di tempat parkir. Setelah motornya terparkir dengan baik ia berjalan santai ke arah Ranis. "Mora... maaf ya telat!" ucap Aditya sambil menunjukkan puppy eye-nya. Sejak kuliah lagi-lagi Aditya mengganti panggilan Ranis, dari Maura menjadi Mora. Kependekan dari Amora. Suka-suka Aditya sajalah, pikir Ranis. Ranis cemberut. "Kamu kenapa lama, sih, Dit? Aku sudah hampir satu jam nunggu kamu." Aditya duduk di samping Ranis. "Aku masih main basket, Mora. Tadi kan udah SMS kamu." "Ya, tapi kan kamu tau aku hari ini sampai jam berapa kuliahnya? Kalau kamu sibuk aku bisa minta dijemput mas Rey aja tadi." "Iya... iya... maaf.  Ayo pulang sekarang, tar keburu sore!" Akhirnya Ranis mengangguk lalu menerima helm yang diberikan oleh Aditya. Memang Aditya tidak suka meributkan hal-hal kecil. Seperti sekarang ini. Lihat saja, sebentar lagi Aditya pasti mengganggap seolah dia tidak membuat kesalahan apa pun. Prinsip Aditya, kalau dia sudah minta maaf, ya sudah dimaafkan saja. Jangan ribut untuk hal tidak penting, ribut itu tidak menyelesaikan masalah, mending kangen-kangenan. Begitulah sikap santai seorang Aditya dalam menghadapi Ranis yang orangnya agak serius. "Nanti malam aku mau nonton sama temen-temen. Mora mau ikut?" "Nggak dulu, Dit. Aku besok ada ujian mid test, tugas paperku juga belum selesai. Kamu tuh nggak bikin laporan KKN emang?" "Besok kan Sabtu Mora...." "Ya tapi bukan Minggu, Dit. Kamu besok bukannya ada mid test juga? Kamu udah belajar?" "Mora..., berhenti bersikap kayak Mami. Itu ujian buat yang remedial aja. Aku enggak ikut remedi kok." Setelah itu hening, tidak ada lagi pembicaraan di antara keduanya. Aditya selalu seperti itu, kalau sudah mulai diatur dia akan memilih diam seribu bahasa. Katanya gini, 'Nanti kalau dijawab takut ucapanku nyakitin kamu, ujung-ujungnya kamu nangis, dan itu semua pasti karena aku. Aku nggak suka ya disalah-salahin kayak gitu'. Motor Aditya sudah memasuki kompleks perumahan tempat tinggal orang tua Ranis. Lalu berhenti di depan rumah bertingkat dua dan berdesain minimalis. "Makasih," ucap Ranis datar, seraya mengembalikan helm pada Aditya. Aditya mengulum senyum. "Aku nggak dipersilakan masuk dulu nih?" Ranis tidak merespon senyum Aditya. "Kamu pulang aja! Keburu magrib. Kan masih mau keluar lagi sama temen-temen kamu nanti malam." Aditya menahan lengan Ranis, membuatnya menghentikan langkah dan membalikkan tubuh menghadap ke Aditya lagi. Ranis menghela napas pendek lalu bertanya, "apa lagi Dit?" "Kamu marah?" tanya Aditya penuh selidik. "Enggak," jawab Ranis singkat. "Iya kamu marah 'kan? Ngomong aja nggak apa-apa Mora!" Ranis mendengus kesal kali ini. "Terus kalau aku marah apa kamu akan ngebatalin janji kamu sama temen-temen kamu dan milih belajar sama aku? Enggak kan?" Tiba-tiba Ranis sedikit menaikkan nada bicaranya. Aditya meremas-remas pelan punggung tangan Ranis yang cukup dingin karena terkena terpaan angin sore. "Ntar malam aku ke sini ya!" katanya. "Mau ngapain?" Ranis menatap Aditya penuh tanya. "Bantuin kamu belajar buat ujian mid test. Sekalian bantu nyelesein paper kamu." Aditya tersenyum di akhir ucapannya. "Nggak usah. Aku bisa sendiri kok." "Tapi aku kangen kamu, Ra." Bibir Ranis terpaksa melengkung ke atas, meskipun dia berusaha untuk tidak terpancing. Hingga tanpa dirasa seutas senyum akhirnya terukir di bibirnya. Membuat jemari Aditya semakin meremas jemari  Ranis. Lalu tangannya yang lain beralih mengusap lembut pipi Ranis. "Aku pulang dulu ya. Nanti jam tujuh aku ke sini lagi. Kamu masuk gih!" Aditya melepas genggaman tangannya dengan enggan. Setelah masuk rumah, terdengar suara deru motor Aditya bergerak perlahan meninggalkan rumah Ranis. Sudah menjadi kebiasaan Aditya, tidak akan pergi sebelum memastikan Ranis masuk ke dalam rumah. Seperti halnya yang terjadi saat ini. Setelah mobil Aditya berhenti di depan pintu pagar rumah Reynaldy, dia tidak lantas pergi meski Ranis sudah keluar dari mobil lima menit yang lalu. Dia menunggu dengan sabar untuk memastikan Ranis sudah benar-benar masuk rumah. ~~~Tbc... ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN