Pagi itu Tara memulai babak baru dalam hidupnya, mencoba tegar, dan pura-pura membunuh cinta yang begitu indah menghiasi hati. Walau kini, cinta itu telah ternoda, namun perasaan Tara masih sama seperti dulu. Kata orang, satu kesalahan kecil akan membuat semuanya hancur, namun tidak dengan cintanya, walau kesalahan itu cukup besar dan telah menghancurkan hidup dan juga hatinya. Tara tak bisa membunuh rasa.
Tara sadar, cinta tak mungkin bisa kembali. Apalagi saat dirinya menatap ke dalam netra Abimanyu, menegaskan memang tak ada harapan bagi mereka. Tara sungguh tak tahu apa yang harus diperbuatnya untuk berhadapan dengan Dania dan juga Abimanyu. Ia harus menghadapi keduanya secara bersamaan. Sungguh Tara tak tahu, apa dirinya bisa sekuat itu? Apa ia akan sanggup berhadapan dengan mereka dan berlagak semuanya baik-baik saja?
“Tara,” panggilan Abimanyu membuat wanita itu menoleh ke sumber suara, Tara berusaha tersenyum walau hatinya cukup kacau, lelaki itu berjalan mendekat dan segera duduk di kursi.
“Kenapa tadi malam kamu mandinya lama banget?”
Tara tak menjawab. Ia sibuk mengisi piring Abimanyu dengan nasi dan juga lauk pauk yang telah ia masak semenjak subuh tadi. Tara tahu, lelaki itu penasaran akan sikapnya yang selalu menghindar atau lelaki itu sudah bisa menebak jika dirinya sudah mengetahui perselingkuhan yang lelaki itu lakukan di belakangnya. Entahlah, Tara tak ingin mencari tahu.
“Aku berendam air hangat dan ketiduran, Mas.”
Tara segera duduk di hadapan Abimanyu, mata lelaki itu mengikuti gerak-geriknya, mengamati semua sikapnya yang terlalu pendiam, membuat rasa penasaran Abimanyu muncul. Biasanya, Tara akan menanyakan banyak hal tentang kegiatannya, berusaha mencairkan suasana hening yang ia ciptakan, namun tidak dengan pagi ini. Wanita itu masih melayaninya dengan baik, akan tetapi seakan menjaga jarak darinya.
“Apa kamu nggak kerja lagi? Dari kemarin kamu nggak masuk kantor. Apa kamu memutuskan resign atau memang sedang nggak enak badan?”
Abimanyu sungguh tak mengerti akan perubahan sikap Tara yang begitu tiba-tiba. Dirinya yang tadinya ingin mengajak Tara berbicara serius tentang pernikahan mereka pun menjadi lupa sejenak akan niatnya karna sikap tak acuh wanita itu. Abimanyu menduga, jika Tara mengetahui sesuatu tentang perselingkuhannya, maka ia tak ingin menunda pembicaraan serius dengan Tara.
“Aku cuti, Mas. Ada hal yang harus kulakukan,” Tara tersenyum polos walau, hatinya tak pernah merasa baik saat mereka bersama. Selalu ada rasa pedih saat ia melihat wajah polos Abimanyu yang penuh kepura-puraan, seakan akting adalah keahlian lelaki itu.
“Ada urusan apa? Kenapa akhir-akhir ini, kamu terlihat sibuk?”
Tara memberanikan diri menantang mata Abimanyu, ia tersenyum semanis mungkin. “Aku sedang belajar, Mas. Aku memerlukan keahlian lain untuk mencapai tujuanku.”
Aku perlu belajar untuk membiasakan diri tanpamu, Mas. Bathin Tara.
“Belajar apa maksudmu? Apa harus libur seminggu begitu?”
Tara mengangguk. “Oh ya, aku juga akan keluar kota selama masa cutiku. Mas pasti akan baik-baik aja tanpaku, bukan?” tatapan mata dingin Tara, membuat Abimanyu heran.
“Kamu belum menjawabku, Ra. Belajar apa?”
“Belajar menikmati hidup,” ucap Tara seraya melanjutkan kegiatan makannya dan mengalihkan pandangan pada piring di hadapannya. Tara tak sanggup lagi menatap mata teduh yang dulu kerap menatapnya penuh cinta. Hal yang tak lagi ditemukannya pada netra lelaki itu.
Abimanyu menggeram kesal. Ia tak suka dengan sikap Tara yang mendadak misterius. Wanita itu biasanya selalu monoton, tak berani melakukan hal baru, dan selalu menjalani setiap rencana yang sudah disusunnya matang-matang. Tara selalu cemas, jika rencananya kacau dan kerap marah pada Abimanyu yang tak bisa diajak bekerjasama. Tara itu perfeksionis, hal yang tak diketahui Abimanyu sebelum mereka menikah. Sikap Tara itu secara tak langsung membuat Abimanyu merasa tertekan, terutama dengan rencana Tara untuk dirinya. Harus begini dan begitu. Abimanyu merasa lelah dan juga bosan mengikut hal yang direncanakan Tara.
“Apa sekarang, kamu nggak sedang menikmati hidup?”
Tara menggeleng seraya tersenyum tipis. Bagaimana ia bisa menikmati hidup, bila lelaki itu berselingkuh darinya? Bagaimana bisa ia merasakan nikmatnya hidup, bila setiap hari rasa pedih menjalar ke penjuru hati ketika menatap wajah lelaki itu yang pura-pura tak melakukan apa pun di belakangnya. Lelaki yang diam-diam telah meremukkan jantungnya.
“Apa kamu sudah merencanakan ini jauh-jauh hari?” Abimanyu tak kuasa menahan keterkejutannya, “dan kamu baru memberitahuku sekarang! Kenapa nggak mengajakku kalau mau berlibur, seperti yang sering kamu lakukan?” ada amarah dalam nada suara Abimanyu.
Tara tersenyum tipis.“Bila ku ajak, apa kamu mau ikut?” Tara tersenyum melihat diamnya Abimanyu, “kali ini aku nggak merencanakan apa pun. Aku hanya butuh waktu sendiri.”
“Walaupun aku nggak ikut, bukankah harusnya kamu menanyakannya dulu?” Abimanyu tampak marah. Ia merasa sikap Tara yang tak menghargainya sangat kelewatan.
Tara mengendikkan kedua bahu tak acuh. Dulu, itulah yang dilakukannya. Bertanya, namun tak dijawab. Mengajak, tetapi diabaikan. Ia pikir, tak harusnya lelaki itu memintanya bertanya lagi, bila semua jawaban yang diterimanya akan semakin menambah pedih di hati.
“Aku pikir, kita telah setuju untuk menjadi sepasang orang asing, Mas? Walau nggak diungkapkan. Aku pikir itu apa yang kamu inginkan, Mas. Menjaga jarak dariku.”
Abimanyu mengebrak meja, tak tahan lagi mendengarkan semua tuduhan yang diberikan Tara padanya. Tara terperanjat, namun dengan cepat mengubah mimik wajahnya. “Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu, Tara? Kamu lupa, kalau aku adalah suamimu?”
Tara tertawa kecil. “Aku pikir, Mas yang lupa kalau Mas adalah suami seseorang?” Tara menaikkan sebelah alis, berusaha bersikap masa bodoh—sebagaimana sikap lelaki itu padanya—berpura-pura tidak saling mengenal. Mengabaikan kehadirannya dan menganggapnya tak ada.
“Kamu pasti udah kehilangan akal sehatmu!” Abimanyu segera berdiri, “lakukan apa pun yang kamu mau!” lelaki itu segera berjalan meninggalkan Tara di meja makan.
Tara menatap sendu punggung lelaki yang kian menjauh. Mengapa kini lelaki itu berlagak tak ada masalah di antara mereka. Padahal sudah jelas semuanya, lelaki itu ingin berbicara serius dan ingin meninggalkannya, lalu mengapa sekarang peduli dengan apa yang akan ia lakukan? Bukankah lelaki itu yang mengajarkannya cara mengabaikan, dirinya hanya mengikuti permainannya saja. Berusaha tegar, walau hatinya tak lagi utuh.
Kaki Tara terasa lemah, tak lagi memiliki tenaga. Tara meraba punggung kursi dan mencengkramnya kuat-kuat, mencoba menemukan keseimbangannya, lalu ia duduk di sana. Hati Tara seakan diriis, begitu pedih, menyesakkan dadanya. Rasa itu telah menyiksanya tanpa ampun. Ia pikir, dirinya akan kuat menghadapi Abimanyu, akan tetapi rasanya tak semudah itu.
Hari ini, ia bisa berlagak tak peduli, lalu esok-esok dirinya akan bertemu dengan Dania di kantor. Pulang ke rumah akan bertemu kembali dengan Abimanyu. Ia tak akan lagi bisa menemukan kedamaian dalam hidupnya. Sekuat apa pun ia berlari dan berlagak tak peduli, kedua orang yang mempermainkan hatinya akan selalu harus ia hadapi.
Tak adakah sedikit rasa iba yang mereka rasakan untuknya? Bagaimana bisa keduanya tega melakukan ini padanya? Tara sungguh tak menyangka semua sikap manis dan peduli Dania hanyalah kepura-puraan semata. Kini, Tara dapat melihat tanda-tandanya. Dania yang kerap menanyakan kehidupan rumah tangganya. Dania yang diam-diam mencuri kebahagiaannya dan juga Abimanyu yang menghancurkan semuanya. Tidak, Tara tak boleh lemah. Ia harus menunjukkan pada keduanya, jika dirinya adalah wanita kuat yang tak bisa dijatuhkan. Ia harus terbiasa hidup tanpa Abimanyu, belajar menghapus rasa, dan membangun kembali hidupnya.