Hati Berjuanglah!

1238 Kata
Lengan yang ditarik paksa dan dirinya yang tiba-tiba digendong seseorang membuat Tara membuka mata dan berteriak minta tolong, namun tentu saja tak ada yang mendengarkan teriakannya karna tempatnya berada kini cukup sepi, tak ada seorang pun berlalu lalang di sana. Lelaki yang tadi membopongnya bak karung beras menghempaskan tubuhnya di atas pasir pantai. Tara menatap lelaki itu tajam, air mata yang mengaburkan pandangan dan tempat yang begitu gelap membuat Tara tak mampu melihat jelas, ia mengusap air matanya kasar. “Kalau mau bunuh diri jangan di sini, Bodoh!” lelaki itu segera beranjak pergi meninggalkan Tara yang masih mengusap-usap matanya yang memanas karna terlalu banyak menangis. Cahaya bulan adalah satu-satunya penerangan yang membuatnya mmapu melihat punggung yang terus menjauh darinya. Tara tak dapat mengenali sosok tersebut. “Kamu yang bodoh!” teriak Tara. Lelaki itu menghentikan langkah sejenak, namun tak berniat membalik tubuhnya untuk kembali pada Tara. Lelaki itu melanjutkan langkahnya dan kembali meninggalkan Tara dalam kesendirian. Tara tersenyum tipis, meratapi nasibnya. Tara memeluk kedua lututnya. Lelaki itu tak tahu apa yang telah dilaluinya hingga dirinya seputus asa sekarang, makanya lelaki itu mengatainya bodoh. Jika lelaki itu berada di posisinya yang telah kehilangan cinta dan juga dunianya, apakah lelaki itu mampu bertahan? Tara tersenyum miris. Mungkin memang dirinya yang terlalu lemah. Hati Tara kembali mampu merasakan semua kesakitan yang menderanya. Ia menangis terisak, berteriak pilu, namun tak ada seorangpun yang datang menolong. Dirinya benar-benar hancur, akan tetapi tak ada seorang pun yang mau mengulurkan tangannya. Bagaimana Tara bisa melanjutkan hidupnya? Menghadapi dua orang yang mengukir luka di hatinya tidaklah mudah. Membayangkan setiap hari bertemu dengan orang yang menoreh luka pada hatinya saja sudah membuat hatinya semakin sakit. Bagaimana bisa dirinya menguatkan hati, bila terus-terusan disiksa oleh dua orang yang penuh kepura-puraaan? Dirinya sungguh tak tahu, apakah dia bisa ikut bersandiwara di antara mereka, menutupi semua pedih yang menyayat hatinya? *** Entah jam berapa tadi malam Tara kembali ke penginapan. Tahu-tahu, ia langsung tertidur pulas di kasurnya. Terlalu lelah menangis dan juga meratapi nasib. Pagi ini, ia berniat untuk menjadi sosok yang lebih kuat, walau semua itu hanya sekadar omongan belaka karna melakukan pasti tak semudah kata-kata yang keluar dari mulut seseorang. Kepala Tara terasa begitu sakit, efek tidur malam dalam keadaan hati yang begitu kacau. Tara meraih ponsel di nakas dan tersenyum tipis kala tak menemukan notif apa pun di sana, selain beberapa pesan singkat dari Eve yang menanyakan kabar dan juga kegiatannya. Tara menggerakkan jemarinya, membalas pesan-pesan Eve yang sudah dari kemarin dikirimkan wanita itu padanya, namun diabaikan oleh Tara. Tara tak mau lari berlari. Tara menutup aplikasi pesan, lalu layar ponselnya menunjukkan foto pernikahannya bersama dengan Abimanyu. Tangan Tara terasa bergetar menatap senyum kebahagiaan yang diabadikan oleh kamera pada saat itu. Mengapa cinta mereka pun tak bisa diabadikan dengan cara yang sama. Mengapa kini, semuanya tak lagi sama? “Tahu cara paling mudah move on dari mantan?” ucap Eve suatu hari saat melihat Tara patah hari karna kekasihnya baru saja meminta putus darinya. Alasan klasik—kamu terlalu baik buatku—alasan yang membuat Eve mual mendengarnya. Padahal jelas, playboy cak kapak itu mendapatkan sasaran lain yang jauh lebih bodoh dari Tara. Eve bukan ingin mengatai sahabatnya itu bodoh, namun memang terlalu polos, hingga mudah diperdaya atas nama cinta. “Emangnya cara apa yang ampuh, Eve?” sahabatnya itu mampu mengulik rasa penasaran Tara. Kini, gadis itu menatap Eve lekat, menanti jawaban yang akan menyembuhkan hatinya. Eve menyengir kuda melihat ketetarikan sahabatnya. “Bakar semua foto dan barang pemberiannya, lalu anggap aja tuh orang sudah menjadi abu. Tinggal ditiup dan dia akan menghilang dalam sekejap mata,” ucap Eve penuh percaya diri. Tara melongo mendengarkan jawaban ajaib dari sahabatnya itu. Apa Eve tak tahu, jika menghapus seseorang dari benak dan hati kita adalah hal yang sulit. Tak semudah meniup abu. “Jatuh cinta jauh lebih mudah daripada melupakannya dan itu yang nggak kamu mengerti, Eve,” Tara berdecak sebal, “jika melupakan seseorang semudah itu, maka nggak ada satu manusia pun di dunia ini yang patah hati,” lanjut Tara putus asa. Eve terkekeh sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tara kembali meratapi kisah cintanya yang telah usai dengan Sang idola sekolah. Ia pikir, mendapatkan cinta yang sulit itu bagai mimpi yang menjadi nyata. Siapa sangka, cinta masa muda itu hanyalah kesemuan semata. Rasa mendebarkan yang tercipta karna rasa bangga mendapatkan Sang idola. Getaran ponsel, kembali membawa Tara kembali ke alam nyata. Pesan Eve yang mengatakan jika hari ini dirinya kembali melihat Abimanyu di rumah Dania seakan mengiris relung hati Tara. Tara mengigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat, ia telah berjanji untuk menguatkan hati dan tak lagi meneteskan air mata untuk lelaki yang membuangnya. Dengan sigap, Tara memilih ‘pilih semua’ pada galeri yang menyimpan semua foto kebersamaan mereka, termasuk foto pernikahan. Entah gila atau memang terlalu putus asa, ia mau mencoba cara yang Eve sampaikan saat mereka muda dulu. Mungkin saja, dengan menghapus semua kenangan yang ada, Tara bisa mendapatkan awal yang baru. Dari menghapus kenangan, perlahan dirinya pun bisa menjauh dari cinta yang menyakitkan. Ya ... Tara tak boleh kalah. Ia akan menunjukkan pada Abimanyu, jika dirinya pun bisa melupakan cinta. Tara tersenyum tipis menatap tak ada satupun lagi foto-foto yang tersisa di ponselnya. Tara menekuk kaki dan memeluknya erat. Ia merasa begitu sendiri dan hancur. Sedahsyat itu mengaruh cinta. Bukan hanya mengubah hidup seseorang menjadi indah, namun mampu pula menghancurkan dunia seseorang? Seharusnya, Tara lebih hati-hati dalam menitipkan hatinya pada seseorang. Tak seharusnya ia terjebak dalam permainan cinta, seperti masa mudanya dulu. Tampaknya, Tara memang tak pernah berubah. Terlalu naif dalam hal mencintai. Tulisan ‘suamiku’ terpampang pada layar ponsel Tara, membuat Tara terperanjat. Ia menatap kosong benda pipih yang berada di dalam genggamannya. Tak menyangka lelaki itu menghubunginya. Terlalu mustahil untuk menjadi nyata. Apa lelaki itu mulai merasakan kehilangan seperti yang ia rasakan saat ini? Apakah lelaki itu akan meminta maaf dan memintanya kembali? Tiba-tiba saja ada sedikit harap yang mampir ke dalam hati Tara. Tara tersenyum dan dengan cepat jemarinya menggeser tombol pada ponsel, lalu meletakkan ponsel pada telinganya. Hatinya bergemuruh, tak sabar mendengarkan apa yang ingin lelaki itu sampaikan padanya. Tak mengapa menjadi orang bodoh. Tara akan memaafkan, jika lelaki itu memintanya. Tara akan kembali, jika lelaki itu memohon. Tara akan mencoba melupakan semua luka dan merajut kembali kisah mereka. Ya, Tara akan kembali menitipkan hati pada lelaki yang telah menghancurkan dunianya. Memang sebodoh itu cinta membentuknya. “Tara ... dimana kamu meletakkan buku nikah kita?” Pertanyaan lelaki itu membuat Tara terpaku. Tara bahkan tak diberi kesempatan mengatakan satu kata ‘halo’. Tara memang bodoh saat berpikir, lelaki itu akan memintanya kembali dan mau merajut kembali jalinan kasih di antara mereka. Tara tersenyum, lalu tawanya pecah tanpa bisa ia hentikan. Ia bagai orang gila dan mengabaikan Abimanyu yang bertanya apa yang ia tertawakan. Tara tak mungkin mengatakan pada lelaki itu jika dirinya tengah menertawai kebodohannya, bukan? “Tara ... aku serius!” teriak lelaki itu yang mulai tak sabar menanggapi kegilaan Tara. “Untuk apa mencari buku nikah? Mau mengurus sesuatu?” Ada jeda sebelum lelaki itu kembali bertanya, “Kamu taruh di mana? Aku memerlukannya untuk mengurus sesuatu. Nggak bisakah kamu memberitahukannya padaku?” suara lelaki itu terdengar tak sabar, sedang Tara malah tersenyum miris. Ya, inilah akhirnya. Kapal mereka telah karam dan tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Mustahil lelaki itu kembali padanya karna hati Abimanyu tak lagi menjadi miliknya. Kini ada orang lain yang mengisi hati lelaki itu. Tak ada yang bisa Tara lakukan selain berusaha menerima kenyataan di depan matanya. Inilah saatnya menyerah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN