Diculik

2575 Kata
    Dante berusaha untuk menenangkan Yuli—ibu asuh di panti asuhan yang dulu menjadi tempat tinggal Lea. Yuli terlihat begitu kacau dengan tangis yang tak reda-reda. Karena tangisannya itu, kedua matanya terlihat membengkak dan terlihat merah. Dante duduk di sampingnya dan merangkul Yuli, mencoba menenangkan Yuli yang telah anggap seperti ibunya sendiri.     Keduanya kini tengah berada di kantor polisi untuk mengetahui perkembangan kasus menghilangnya Lea. Pihak kepolisian mengungkapkan jika kasus menghilangnya Lea diduga sebagai kasus penculikan. Terhitung sudah tiga hari Lea menghilang, dan sampai saat ini belum ada kemajuan dari kasus ini.     “Seharusnya aku tidak pernah mengizinkan Lea ke luar dari panti. Karena jika aku tidak mengizinkannya dan tetap menahan Lea tetap tinggal di panti, hal buruk ini pasti tidak akan pernah terjadi. Lea pasti akan tetap berada di sini, bersama kita dalam keadaan aman tanpa kurang suatu apa pun.” Yuli terisak, wajahnya tampak pucat dengan bagian mata yang sembap, karena menangis terlalu lama.     Yuli memang merasa sangat menyesal. Jika saja, dulu dirinya bisa bersikap lebih bijak dan tidak menuruti keinginan Lea untuk ke luar dari panti dan hidup mandiri di luar sana, Lea tidak akan pernah mengalami hal ini. Lea pasti akan tetap berada dalam kondisi yang aman dan berada di tengah-tengah orang yang ia kasihi dan mengasihinya.     “Aku yang salah Bunda, seharusnya kemarin aku menyempatkan diri untuk mengantar Lea dengan aman. Aku yang salah, aku lalai,” ucap Dante dengan nada yang sarat akan penyesalan. Ya, Dante juga tengah menyalahkan dirinya sendiri.     Padahal Dante bisa mencegah insiden penculikan Lea. Harusnya malam itu, Dante tetap memaksa untuk mengantar Lea. Harusnya Dante melawan rasa lelah dan kantuknya untuk tetap mengantar Lea pulang. harusnya malam itu, Dante memastika Lea pulang dengan aman ke rumah susunya. Ya, ini memang salah Dante.     Yuli yang mendengar penuturan Dante mematung. Yuli menyeka air matanya dan menggeleng sembari menatap pria muda yang duduk di sampingnya. Penampilan Dante yang biasanya terlihat rapi serta bersahaja, kini tak terlihat lagi. Penampilannya itu sudah terbnag entah ke mana. Wajahnya yang tampan terlihat lesu, lingkaran hitam tampak jelas di bawah matanya, pertanda jika beberapa hari ini dirinya tak memiliki waktu tidur yang cukup. Yuli mendesah, ia tahu Dante pasti merasa tertekan dan sedih karena hilangnya Lea ini.     Kesedihan itu bukan hanya dirasakan oleh Dante. Jelas Yuli juga merasakan rasa sedih yang sama. Tiga hari yang lalu, Yuli dikabari oleh tetangga rumah susun Lea, bahwa Lea tidak pulang. Dante juga mengatakan jika Lea tak bisa dihubungi. Begitu ditelusuri, ternyata Lea tak bisa ditemukan di mana pun. Ponselnya kemudian ditemukan tergeletak di gang yan terletak di belakang gedung rumah susun. Melihat begitu banyak kejanggalan, Dante segera mengurus laporan kehilangan Lea ke kantor polisi. Dan kini, mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa menemukan Lea secepatnya.     Sayangnya, hingga saat ini penyelidikan polisi belum menemukan titik terang. Hal ini terjadi karena jalan yang dilalui oleh Lea sama sekali tidak dipasangi kamera pengawas. Begitupula area kerja dan area rumah susun tempat di mana Lea kerja, juga tak lagi memiliki kamera pengawas yang bisa mempermudah penyelidikan. Tidak adanya saksi juga terasa semakin menyulitkan penyelidikan polisi. Jadi, hingga kini pun motiv punculikan hingga terduga tersangka sama sekali tidak bisa ditentukan. Polisi seakan-akan menemui jalan buntu.     Tentu saja kini Yuli merasa begitu khawatir. Lea entah berada di mana selama tiga hari ini. apakah Lea bisa makan dan tidur dengan baik? Semua pertanyaan itu sukses membuat Yuli semakin khwatir. Tapi Yuli harus bertindak sebagai orang dewasa yang baik dan bisa menyontohkan sikap tenang yang bisa ditiru oleh Dante. “Dante, ini salah kita semua karena tidak bisa menjaga Lea dengan baik,” ucap Yuli dengan tenang. Di hadapan Dante yang jelas terlihat sangat kalut, Yali harus bersikap lebih hati-hati. Jelas Yuli tahu mengenai perasaan Dante pada Lea, dan ia bisa memahami perasaannya sekarang.     Dante mengangguk. “Lebih baik kita kembali ke rumah. Bunda harus istirahat, dan aku juga harus mengurus beberapa pekerjaan yang telah lama menunggu.”     “Iya, itu keputusan yang terbaik.” Yuli meraih tangan Dante dan menepuknya dengan lembut.     “Mari serahkan semuanya kepada pihak kepolisian, aku yakin mereka pasti akan menemukan Lea secepatnya,” ucap Yuli sembari menatap manik biru milik Dante yang tampak kelelahan.     Dante tersenyum dan menunduk untuk menatap tangannya yang tengah ditepuk-tepuk oleh Yuli. Lalu pemuda bermanik biru itu berbisik, “Semoga saja.”       ***         Sedangkan dilain tempat, kini Lea bersandar dengan tubuh yang terasa begitu lemas. Mulutnya ditutupi oleh sebuah kain, lalu tangan serta kakinya masing-masing disatukan lalu diikat dengan kuat. Pergerakannya benar-benar dibatasi saat ini. Lea meringis saat merasakan sakit di setiap tempat terikatnya. Entah sudah berapa lama Lea diikat dan disekap di tempat ini. Lea juga tidak tahu, siapakah yang menculiknya, dan atas dasar apa?     Padahal, Lea adalah seorang anak yatim piatu. Sangat tidak mungkin jika motiv penculikan ini, adalah perihal tebusan. Lalu apa yang mendasari penculikan ini? Apa mungkin Lea akan dijual? Atau ada alasan yang lain? Tapi apa?     Lea melirik kesekelilingnya. Di ruangan berupa persegi panjang yang tak seberapa luas ini, setidaknya hampir ada seratus gadis seumurannya yang kondisinya serupa dengan Lea. Secara tepat, Lea bisa menebak jika semua gadis—termasuk dirinya—adalah korban dari penculikan yang santer dikabarkan dan sempat dibicarakan oleh Dante. Ah Dante, padahal Lea sempat mengabaikan peringatan dokter tampan itu. Lea mengira jika dirinya tidak akan mungkin menjadi korban penculikan seperti ini.     Dalam hati, Lea tertawa getir. Lea yang sudah percaya diri tidak akan menjadi korban penculikan, malah berakhir di sini dengan korban penculikan lainnya. Lea masih tak menyangka bahwa dirinya kini menjadi korban penculikan ini. Lea hanya bisa berdoa agar tak ada hal buruk yang akan terjadi ke depannya. Baru saja Lea akan kembali berdoa, serangan rasa sakit dari dua titik yang berbeda membuatnya meringis.     Tepatnya di kaki kiri serta perutnya. Untuk kaki, Lea memang sudah cukup terbiasa dengan rasa sakitnya. Tiga tahun yang panjang membuatnya terbiasa dengan rasa sakit dari efek cederanya. Tapi rasa sakit di perutnya, sama sekali tak bisa diabaikan oleh Lea. Rasa sakit ini berasal dari asam lambung yang naik. Entah sudah berapa lama dirinya tidak makan, dan hanya bisa tergeletak tak berdaya sembari berdempetan dengan korban penculikan lainnya.   Brak! Kriett!       Lea melirik ke sumber suara dan melihat seorang pria memasuki ruangan, tapi karena wajahnya yang ditutupi masker menyebabkan Lea tak bisa melihat wajahnya secara sempurna. Yang Lea bisa lihat hanya berupa sepasang mata berwarna almond yang menatap tajam.     Pria itu kemudian memberikan sehelai roti tawar pada setiap gadis yang berada di sana. Sebelumnya, tentu saja dirinya melepaskan ikatan pada mulut dan tangan setiap gadis termasuk pada Lea. Tapi karena semua gadis kelaparan dan tak memiliki energi lagi, tidak ada satu pun yang beranjak dan berusaha melarikan diri.     “Eat!” perintah pria tersebut dengan nada rendah dan menakutkan. Merasa terintimidasi, semua gadis menurut dan makan dengan lahap. Tapi makanan yang mereka dapatkan hanya berupa sehelai roti tawar, habis begitu saja dalam beberapa gigitan. Hal itu terjadi karena semua orang merasa begitu lapar. Roti tawar satu lembar tentu saja tidak akan membuat mereka merasa kenyang.     Beberapa saat kemudian, pria tersebut ke luar setelah memastikan semua orang menghabiskan makanan mereka. Kini para gadis tak lagi diikat dan ditutupi mulutnya. Jadi, Lea bisa mendengar beberapa dari mereka menangis dengan suara yang begit menyedihkan. Tapi suara mereka tidak terlalu keras. Mungkin, karena sehelai roti yang mereka makan sama sekali tidak bisa mengembalikan energi mereka.     Lea menghela napas. Perutnya masih terasa lapar, sangat lapar. Kini ia bahkan mulai membayangkan makanan-makanan lezat dalam benaknya. Lea mengingat makanan-makanan yang pernah dibelikan oleh Dante. “Nasi pecel pasti terasa sangat enak saat ini,” ucap Lea tanpa sadar. Rasa lapar terasa menggelitik Lea hingga dirinya meracau hingga seperti ini. Tapi Lea tidak berpikir jika hal ini memalukan. Toh, Lea yakin jika tidak ada orang yang akan mengerti apa yang ia ucapkan.     Saat itulah seorang gadis yang duduk di samping Lea menoleh dan bertanya dengan suara yang mengalun pelan. Suara yang terdengar paling jelas dan paling bisa dimengerti oleh Lea di antara semua suara yang kini tengah ia dengar. “Kamu orang Indonesia?”     Tentu saja Lea menoleh dan mengangguk pada gadis tersebut. ini kali pertama Lea terlibat percakapan dengan gadis lain di sini. “Aku orang Indonesia,” jawab Lea dengan suara yang terdengar seperti cicitan tikus. Lea sendiri merasa begitu malu dengan suara yang ia keluarkan ini. Tapi mau bagaimana lagi. Suara Lea sepertinya telah hilang dan perlu segelas besar air putih untuk memulihkan suaranya ini.     “Namaku Putri, orang Surabaya. Siapa namamu,” tanya gadis itu lagi.     “Aku Alea, asal Jakarta. Tolong panggil Lea saja.”     Putri tersenyum tipis membuatnya terlihat semakin cantik. Menurut Lea, semua orang di tempat ini memang terlihat cantik. Lea tidak bisa menebak, apa alasannya mereka diculik dan di tahan di tempat yang jelas saja jauh dari kampung halamannya. “Apa kamu tau alasan mengapa kini kita berada di sini?” tanya Putri lagi sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.     “Aku masih mempertanyakan hal itu dalam hatiku. Dan aku tidak bisa menemukan jawaban yang benar,” jawab Lea sembari menghela napas lelah.     “Apa kamu tidak bisa menarik kesimpulan setelah melihat semua gadis yang berada di sini?” tanya Putri sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu kembali pada Lea.     “Aku hanya bisa menyimpulkan, jika penculik kita memiliki selera yang sangat baik saat memilih targetnya,” ucap Lea menyuarakan isi kepalanya     “Apa sekarang kamu tengah memuji para penculik?” tanya Putri dengan kening megerut. Tentu saja Putri merasa jika Lea adalah gadis yang sangat aneh. Bisa-bisanya Lea memuji orang-orang yang telah melakukan hal buruk padanya.     Lea tersenyum tipis. “Memaki mereka terasa percuma saja. mereka tidak akan mengerti apa yang kita katakan.”     “Dasar aneh,” cela Putri tanpa menyembunyikan nada mencemoohnya.     Tapi Lea hanya tersenyum dan tidak berniat untuk kembali memberi komentar, yang ada Putri kembali membuka pembicaraan. “Aku hanya memiliki dua kemungkinan setelah mempelajari semua ini,” ucap Putri dan menghela napas panjang. Terlihat begitu lelah.     “Apa yang bisa kamu simpulkan?” tanya Lea.     “Yang pertama, kita terlibat dalam jaringan human trafficking. Lalu yang kedua, kita mungkin akan dibunuh untuk mendapatkan organ dalam dan kulit wajah kita untuk memenuhi permintaan-permintaan kaum berduit di negara ini,” jawab Putri lancarnya. Terlihat jelas jika Putri adalah seorang pemikir yang cerdas.     “Wah sepertinya kau sangat pintar sampai bisa memikirkan sampai sejauh itu,” puji Lea jujur. Lea sungguh mengagumi Putri yang bisa berpikir setajam ini di situasi yang terasa sangat jauh dari kata baik.     Putri berdecak. “Kau yang terlalu bodoh untuk memahami situasi dan kondisi. Melihat bagaimana dirimu saat ini, aku bisa menyimpulkan satu hal. Mungkin saja, selama ini kau telah berhasil ditipu mentah-mentah oleh orang-orang di sekitarmu.”     Lea mengerucutkan bibrinya. Tentu saja Lea tidak merasa sebodoh itu. Lea tidak merasa jika dirinya sudah ditimu entah-mentah. Lagipula siapa yang mau menipunya? Lea bukan seseorang yang memiliki sesuatu atau harta yang bernilai sehingga pantas untuk menjadi target penipuan.     Belum sempat Lea menimpali perkataan Putri, pria sebelumnya kembali datang dengan helaian kain hitam di tangannya. Ia kemudian mulai menutupi mata para gadis dengan kain hitam yang ia bawa. Ia pun kembali mengikat tangan dan kaki para gadis, juga tidak melupakan untuk menutup mulut pada gadis.     Begitu tiba gillirannya, Lea berusaha untuk menolak. Lea sama sekali tak memiliki tenaga yang cukup, dan pada akhirnya Lea kalah. Kini yang tersisa dalam pandangannya hanya hitam. Hitam yang terasa hampa. Lea mendengar suara Putri yang berbisik, “Jaga dirimu, aku harap kita bisa bertemu di kemudian hari dalam situasi yang lebih baik daripada hari ini.”     Lalu beberapa saat kemudian, Lea merasa tubuhnya digendong dan berayun cukup lama, hingga Lea merasakan angin menyapu pipinya dengan lembut. Akhirnya, Lea menghirup udara bebas. Jantung Lea berdegup dengan kencang, seiring dirinya mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tentu saja Lea berharap jika dirinya tidak akan mendapatkan hal yang buruk. Tapi harapan hanya tinggal harapan, jika Tuhan tidak berniat untuk mengabulkan harapan tersebut.     Kening Lea mengerut saat mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa asing. Bahasa yang sama sekali belum pernah Lea dengar. Lea rasa lidahnya akan membelit jika berbicara dengan bahasa yang tengah ia dengar ini. Beberapa saat kemudian, kepala Lea terasa sakit karena suara musik yang menghentak keras. Bahkan d**a Lea terasa sakit, reaksi alami saat seseorang terlalu dekat dengan sumber suara yang terlalu kuat. Lea masih belum bisa menebak ke manakah dirinya tengah dibawa saat ini.     Tapi tak lama kemudian, Lea merasa jika dirinya dibawa ketempat yang hening. Lea terkejut saat dirinya diturunkan dan dipaksa untuk berdiri, ia hampir kehilangan keseimbangannya. Selain karena kakinya terikat dan lemas, telapak kakinya ternyata bertemu dengan lantai dingin yang membuatnya terkejut. Sengatan dinginnya terasa menusuk hingga ke tulang kakinya. Ngilu yang teramat kini terasa menyerang kaki kirinya yang cidera. Sial. Kenapa rasa sakit ini harus kambuh pada situasi ini.     Lea kembali dikejutkan saat ikatan kain yang menutupi pandangannya terbuka. Setelah beberapa detik menyesuaikan diri, Lea bisa melihat dengan jelas. Kaki Lea benar-benar melemas saat dirinya melihat di mana kini dirinya berada. Lea tengah berdiri di tengah kamar berdekorasi merah marun yang tampak membawa sentuhan seksi dan misterius yang kental.     Tapi hal yang membuat Lea melemas bukanlah itu, melainkan beberapa orang yang kini mengamati dirinya dengan lekat. Semua orang itu, tak terlihat seperti orang Indonesia atau Asia. Semuanya tampak memiliki mata biru atau warna-warna terang lainnya yang tak akan ditemukan pada keturunan Asia. Lalu di manakah ini? Ke mana penculiknya membawa Lea?! Seberapa jauh Lea pergi dari tanah kelahirannya?     Lea jatuh terduduk saat melihat seorang wanita dengan dandanan paling mewah menghampirinya. Wanita itu mencengkram dagu Lea dengan kasar. Lea tentu saja meringis merasakan sakit, tapi yang terdengar hanya gumaman tidak jelas karena mulut Lea yang masih tertutupi sebuah kain. Wanita itu menyeringai setelah meneliti setiap sudut wajah Lea. Bulu kuduk Lea meremang melihat senyum itu, kini firasat buruk merasuk ke dalam hatinya.     Lea merasa jika kemungkian besar nyawanya yang akan terancam saat ini. Tapi Lea hanya bisa meraba-raba. Tentu saja karena dirinya tidak bisa memahami apa yang orang-orang di sekitarnya tengah bicarakan. Insting Lea tidak pernah salah. Kini Lea memang tengah terancam.     “Lei è una bellissima ragazza asiatica,”* ucap wanita itu sembari melepas cengkramannya. Tapi ia masih mengamati wajah Lea dengan seksama. Netranya yang tajam tentu saja bisa menilai bagaimana wajah Lea memiliki nilai yang tinggi. *Dia adalah gadis Asia yang cantik.     Lea mengerutkan kening saat mendengar semburan kalimat asing yang terdengar berbelit. Ia kemudian melihat orang-orang mengangguk. Lalu wanita berpakaian mewah itu kembali berkata dengan bahasa aliennya, “Scegli un vestito sexy, e dare il trucco che lo rende più maturo.”* *Pilih gaun seksi, dan berikan trik yang membuatnya lebih matang.     Seorang wanita berwajah datar yang sejak tadi berdiri di belakang wanita berpakaian mewah mengangguk dan menjawab, “Capisco, Signora.”* *Saya mengerti, Nyonya.       Lea memang tidak memahami percakapan mereka yang terdengar seperti orang yang berkumur-kumur itu, tapi Lea yakin jika apa yang dibicarakan keduanya sama sekali tidak memiliki arti yang baik. Lea mendapatkan firasat jika hal yang buruk akan terjadi padanya. Sebenarnya apa yang akan terjadi padanya? Apa mungkin Lea akan dibunuh untuk diambil satu persatu organ tubuhnya? Jika iya, maka Lea harus mencari cara untuk melarikan diri dari tempat asing yang menyeramkan ini.     Sayangnya, Lea sama sekali tidak tahu apa yang telag menunggunya di masa depan. Bukannya bisa melarikan diri, Lea malah akan terjerat pada sesuatu yang lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup serta kesehatan jantungnya. Sudah siapkah kalian membaca kisah tentang Lea ini? Jika belum, siapkan diri kalian. karena kali ini, Lea akan benar-benar melalui jalan yang panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN