Lea menunduk dalam saat Dante menceramahinya panjang lebar. Tentu saja, kini dirinya tengah merasa takut pada Dante. Ah, bukan karena tampilan atau ekspresi menakutkan yang ditunjukkan Dante. Yakinlah, bagi Lea wajah tampan Dante tidak pernah terlihat menakutkan. Lea bahkan berpikir, jika Dante tidak akan mungkin terlihat menakutkan. Dante terasa terlalu baik hati untuk memiliki ekspresi menakutkan seperti yang berada di benak Lea saat ini.
Hal yang membuat Lea takut adalah, perkataan-perkataan Dante yang terasa sarat dengan kekecewaan. Bahkan nada yang digunakan oleh Dante begitu tinggi. Menunjukkan betapa dirinya tengah merasa marah pada Lea. Ah bukan sekadar marah, melainkan sangat marah. Ini kali pertama bagi Lea melihat Dante yang marah seperti ini. Sungguh, Dante terlihat tampan. Tunggu, apa yang barusan Lea pikirkan? Ah kenapa Lea tidak bisa menempatkan diri dengan situasi dan kondisi? Seharusnya saat ini Lea fokus dengan apa yang dikatakan oleh Dante.
Sebenarnya kemarahan Dante ini terjadi bukan tanpa alasan. Seperti yang sudah Dante ingatkan, pada akhir bulan Lea datang ke rumah sakit di mana Dante bekerja karena jadwal pemeriksaan yang Dante buat. Dante secara pribadi memeriksa kondisi kaki Lea, lalu menemani Lea untuk memeriksakan kondisi psikisnya. Sebenarnya Dante bisa bernapas lega karena hasil pemeriksaan Lea yang ia terima.
Untuk kondisi psikis, Lea sudah tidak lagi memiliki masalah, yang artinya psikis Lea memang sudah dalam kondisi yang stabil. Hanya saja, Lea tetap diminta untuk lebih menjaga pikirannya dan lebih terbuka pada orang-orang di sekitarnya. Lea juga diminta untuk sering-sering berjalan di tempat umum dan berinteraksi dengan teman lama. Itu adalah terapi yang paling mudah dan bisa Lea lakukan sendiri tanpa pengawasan dokter.
Sayangnya, kondisi psikis Lea yang membaik tersebut berbanding terbalik dengan kondisi kaki Lea yang mengalami cedera. Kaki kiri Lea memang cidera karena kecelakaan yang menimpanya saat beberapa tahun yang lalu. Dante yang memeriksanya sendiri tentu saja merasa marah, setelah memeriksa kondisi kaki Lea. Akhirnya Dante tahu, jika selama ini Lea menyembunyikan kondisi kakinya yang sebenarnya pada Dante. Lea selama ini menahan rasa sakit yang ia derita.
Kini Dante merasa cemas. Kondisi kaki Lea rupanya telah jauh memburuk dari kondisi terakhir. Ada salah satu otot kaki Lea yang rupanya kembali mengalami masalah. Jika sudah terjadi seperti ini, Dante khawatir harus kembali mengambil tindakan operasi. “Aku tidak habis pikir, sebenarnya apa yang kamu pikirkan sampai menyembunyikan hal ini dariku?” tanya Dante dengan nada yang lebih lembut.
Kini dokter tampan itu berlutut dan menggenggam kedua tangan Lea dengan lembut. Netranya yang indah menatap wajah manis Lea. Tapi, gadis mungil itu menunduk dan menyulitkan Dante untuk mengamati ekspresi yang ditampilkan oleh wajahnya yang manis. Tangan Dante terulur guna menyelipkan helaian rambut panjang dan lembut Lea ke belakang telinga Lea. Sungguh, Dante tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada gadis manis di hadapannya ini. Sangat salah rasanya jika harus mengerasi Lea. Dante tahu jika Lea bukan tipe anak yang bisa dikasari. Tapi Dante juga tidak bisa terus memanjakan Lea, karena rupanya hal itu juga membuat Lea tidak disiplin pada dirinya sendiri.
Saat itulah, Dante sadar bagaimana ekspresi yang tengah ditampilkan oleh Lea. Ternyata Lea begitu sedih dan ketakutan. Dante menggenggam tangan Lea dengan lebih erat. “Aku marah untuk kebaikanmu sendiri, Lea. Jika sudah seperti ini, aku sendiri bingung harus mengambil keputusan apa. Karena pada akhirnya aku harus mengambil langkah untuk melalukan tindakan operasi lagi pada kakimu.”
“Tapi aku tidak mau dioperasi lagi. Itu menyakitkan,” ucap Lea dengan wajah yang terlihat menampilkan ekspresi ketakutan. Seakan-akan dirinya memang sudah pernah merasakan betapa sakitnya proses operasi. Lea memang pernah melalui proses pembedahan, tapi tentunya saat itu Lea berada dalam pengaruh anastesi yang merenggut kesadarannya.
“Memangnya kamu dioperasi saat sadar? Kamu tentu saja dianestesi sebelum prosedur operasi dilakukan. Lalu kenapa sekarang bisa menyimpulkan jika dioperasi itu sakit?” tanya Dante setengah geli. Tentu saja Dante merasa geli karena tingkah Lea kali ini.
“Saat masa pemulihan, kakiku juga terasa sakit. Karena itulah aku menyimpulkan jika operasi itu terasa sakit. Lagipula aku tidak mau dirawat lagi di rumah sakit. Rumah sakit terasa menakutkan,” ucap Lea dengan suara yang bergetar di ujungnya. Lea memang memiliki sejarah buruk dengan rumah sakit. Jika saja Lea tidak harus melakukan pemeriksaan, Lea tidak mau kembali ke rumah sakit seperti ini.
Dante mengusap pipi Lea dengan buku-buku jarinya. Dante tersenyum lembut dan mencoba menenangkan Lea. “Apa yang harus kamu takutkan? Ada aku di sini. Aku akan menjagamu, dari hal-hal buruk yang terjadi.”
Lea tidak berkata apa-apa dan membuat Dante menghela napas lelah. Terkadang, Lea memang terasa seperti seorang anak kecil. Meskipun akan terasa sangat melelahkan karena Lea akan sulit untuk dibujuk dalam perihal pemeriksaan kesehatannya. Tapi di sisi lain, sikap kekanakan dan manja Lea ini terasa cukup menghibur Dante. Sikap manja ini, sungguh membuat Dante merasa diperlukan dan dipercaya oleh Lea. “Lalu sekarang apa yang ingin kau lakukan?” tanya Dante.
“Aku tidak mau dioperasi,” ucap Lea sembari memilin ujung bajunya sendiri. Lea benar-benar takut.
“Tapi kamu akan terus menahan sakit seperti itu?” tanya Dante lagi. Ia tidak menghilangkan nada lembutnya.
Lea mendongak saat Dante bangkit dari posisinya dan berdiri menghadap Lea. “Rasa sakitnya tidak separah yang Dokter pikirkan. Lagipula rasa sakitnya hanya datang sesekali. Tidak menempel setiap waktu pada kakiku ini,” ucap Lea berusaha meyakinkan dokter tampan di hadapannya ini.
Dante mengerutkan keningnya. Ia memberikan tatapan menyelidik dan bertanya, “Apa kamu tidak berbohong?”
Lea mengangguk cepat mencoba meyakinkan Dante. Untuk memeriksa perkataan Lea, Dante kembali berlutut dan meraih kaki kiri Lea dan memijatnya di sekitar betis dan lutut Lea. Dante mengawasi ekspresi Lea dan tidak menemukan ekspresi kesakitan apa pun. “Apa ini tidak terasa sakit?” tanya Dante saat menekan area di belakang lutut Lea dengan tekanan-tekanan yang berbeda.
Lea menggeleng. “Tidak sakit. Hanya terasa sedikit kesemutan,” jawab Lea jujur.
Dahi Dante kembali mengerut. Beberapa saat kemudian Dante melepas kaki Lea dengan lembut lalu beranjak menuju meja kerjanya. Dante memeriksa hasil tes kesehatan Lea. Ia membandingkan hal yang baru ia dapatkan dengan hasil tes tersebut. Dante pada akhirnya bisa menghela napas lega. Ternyata untuk saat ini kondisi kaki Lea memang tidak separah yang sebelumnya ia pikirkan.
Lea menatap Dante. “Apa ada yang salah? Aku tidak berbohong, kaki-ku tidak selalu terasa sakit. Rasa sakitnya hanya kambuh beberapa saat saja. Tolong percaya padaku,” jawab Lea. Untuk kesekian kalinya, Lea mencoba meyakinkan Dante.
Dante melirik Lea dengan tajam. “Aku masih marah padamu, Lea.”
Lea menundukkan kepalanya seketika. Ia kira Dante sudah melupakan kemarahannya. “Aku kira Dokter sudah tidak marah lagi.”
Dante mendekat pada Lea dan kembali berlutut di hadapan Lea. “Aku akan memaafkanmu, tapi setelah kamu melakukan apa yang aku inginkan.”
“Memangnya apa yang Dokter inginkan?” tanya Lea setengah ragu. Ia takut jika permintaan Dante berada di luar kemampuannya. Bagaimana jika Dante tetap marah padanya karena Lea tidak bisa memenuhi permintaannya?
Dante tersenyum dan membuat netranya yang biru terlihat semakin bening. “Aku ingin kamu memanggilku dengan namaku, bukan dengan gelarku, bisa?”
Lea menggigit bibirnya dengan bingung. “Apa boleh?” tanya Lea dengan ragu. Ini sebenarnya bukan kali pertama Dante meminta hal tersebut, tapi Lea tetap tidak terpikir untuk melakukannya. Lea tentu saja merasa hal tersebut tidak sopan. Meskipun jujur saja, hati Lea tergelitik untuk memanggil dokter tampan tersebut dengan namanya saja. Lea sendiri tidak mengerti kenapa dirinya bisa memiliki keinginan seperti ini.
Dante tersenyum semakin lebar. “Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali? Aku bahkan sudah memintanya ratusan kali padamu, untuk memanggilku tanpa gelarku. Jadi, ayo coba panggil namaku,” ucap Dante dengan sebuah senyum yang merekah. Ia merasa jika kini dirinya akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Jika pun tidak, Dante pastikan jika hari ini dirinya pasti mendengar Lea menyebut namanya tanpa gelar yang selalu tersemat di sana. Dante tidak akan melepaskan Lea sebelum dirinya bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
Lea menatap Dante dengan malu-malu dan memanggil dengan suaranya yang lembut, “Dante.”
Seketika wajah Dante berubah cerah. Jelas terlihat jika Dante begitu bahagia dengan apa yang ia dengar. Dengan senyum yang masih terpatri pada wajahnya, Dante berkata, “Coba ulangi lagi. Aku mohon.”
Entah kenapa, Lea merasa begitu malu. Tapi tak ayal, Lea pun melakukan apa yang diinginkan oleh Dante. Lea berbisik, “Dante.”
***
“Jangan menggodaku terus! Sudah, sana pergi!” Lea mendorong Dante ke luar dari kedai rumah makan di mana dirinya bekerja. Sungguh, Lea merasa malu karena kehadiran Dante di warung. Selain makan, ternyata Dante juga datang dengan niat untuk menggoda Lea habis-habisan. Sungguh, Lea merasa menyesal memenuhi keinginan Dante. Rasanya lebih baik mendapatkan kemarahan dan ceramah panjang lebar dari Dante daripada harus mendapatkan godaan-godaan yang terasa begitu memalukan ini. Aih, apa Dante tidak sadar sejak tadi dirinya dan Lea sudah menjadi pusat perhatian para pelanggan lain?
Dante tertawa dan berbalik pada Lea. “Hei, aku ini seorang pelanggan. Pelanggan adalah raja. Masa aku si raja malah diusir?”
“Tapi kamu sudah selesai makan,” ucap Lea setengah ketus. Tapi pipinya yang putih terlihat memerah tipis. Butuh kejelian untuk melihat rona yang indah tersebut. Dan Dante termasuk pada deretan orang-orang yang memiliki kejelian tinggi. Tentu saja Dante merasa sangat senang karena hal itu. Tapi dirinya sekuat tenaga menahan diri untuk tidak tersenyum saat ini. karena mungkin saja Lea akan benar-benar marah jika melihatnya tersenyum.
“Aku memang sudah selesai makan, tapi aku belum selesai mendengarmu memanggil namaku. Ayo panggil namaku lagi,” ucap Dante.
Hal inilah yang membuat Lea kesal. Sejak pertama kali Lea memanggil Dante tanpa embel-embel gelarnya sebagai dokter, Dante seakan-akan ketagihan untuk mendengar Lea menyebut namanya. Sebenarnya Lea tidak merasa jika hal itu aneh. Tapi reaksi yang ditunjukkan Dante setelah dirinya mendengar Lea menyebut namanya, membuat Lea merasa sangat malu.
Interaksi Dante dan Lea terlihat begitu manis. Keduanya menjadi perhatian beberapa orang yang memang tengah makan di rumah makan tersebut. “Tolong jangan seperti ini. Aku malu,” ucap Lea dengan telinga yang memerah. Tanda jika dirinya memang tengah benar-benar merasa malu.
Dante kembali tertawa. “Baiklah. Aku akan berhenti. Tapi tolong panggil namaku lagi, untuk terakhir kalinya.”
Sambil menahan senyum, Lea pun memanggil nama Dante dengan lembut, “Dante.”
Dante terlihat begitu gemas dengan tingkah Lea. ia bahkan meremas-remas tangannya sendiri, guna menahan diri untuk tidak memeluk Lea saat itu juga. “Sekarang kembali bekerja, aku akan menunggu di sini dan mengantarmu pulang. bahaya jika kamu pulang larut malam sendirian.”
Lea menggeleng. “Kamu bisa pulang. hari ini pasti terasa sangat melelahkan untukmu. Aku bisa pulang sendiri, lagipula sepertinya mala mini aku tidak akan pulang terlalu malam. Stok makanan tinggal sedikit lagi.”
Dante terlihat berpikir sesaat lalu menatap jam tangannya. Ia mengangguk lalu kembali menatap Lea. “Aku akan pulang, setelah kamu memanggil namaku.”
“Tadi kamu mengatakan jika itu yang terakhir tapi kenapa sekarang mengatakan hal yang lain?”
Dante tertawa geli. “Itu pilihanmu. Jika tidak mau, aku akan menunggumu sampai pulang.”
Lea mengerucutkan bibirnya saat sadar jika dirinya kalah. “Baiklah. Dante, ceparlah pulang. Tolong hati-hati di jalan, ya. Aku kembali kerja dulu, dah!”
Dante tersenyum senang. “Kamu juga, jangan terlalu lelah! Pulang dengan selamat, dan istirahat dengan benar!” Setelah berkata seperti itu, Dante berbalik dan pulang mengendarai mobil mewahnya.
Perkiraan Lea pulang lebih awal, ternyata kembali meleset. Karena satu dua hal, Lea dan rekan-rekannya harus tertahan hingga larut malam, sebelum mendapat izin untuk pulang. kini Lea kembali menyusuri jalanan sepi. Seperti biasanya, Lea melewati jalan tikus guna menyingkat perjalanan pulangnya.
Sayang, begitu Lea masuk ke dalam gang, Lea sadar jika lampu neon yang di tempatkan pada celah antar bangunan telah padam. Sungguh, kini Lea merasa takut. Karena saat masih ada lampu neon yang menerangi, celah di atara dua dinding tersebut tampak sangat gelap.
Jadi, sekarang Lea tak bisa membayangkan bagaimana kondisi celah gelap itu saat tak ada lagi lampu yang menerangi. Ah pasti sangat menyeramkan. Sesaat Lea berpikir untuk memutar dan memilih jalan memutar, yang pasti tak terasa menakutkan.
Sayangnya, Lea tak berniat untuk berbalik. Tinggal beberapa langkah lagi dirinya akan masuk ke dalam area belakang rusun, Lea yakin di sana ia akan aman. Menguatkan hati, Lea memutuskan untuk melangkah menembus kegelapan celah gedung dengan mengandalkan senter dari ponselnya. Lea berdoa, semoga saja baterai ponselnya kuat hingga dirinya sampai di area rusun.
Doa Lea tak diabaikan oleh Tuhan. Ponselnya tetap berfungsi saat dirinya melangkah menuju area celah gelap. Hanya saja, meskipun Tuhan mengabulkan doa Lea, Tuhan telah menyiapkan sebuah takdir lain untuknya. Karena begitu Lea berada di tengah-tengah celah, kaki kiri Lea tiba-tiba terasa sangat sakit hal itu membuatnya tak bisa melangkah.
Sesaat kemudian, sebuah tangan kekar muncul dari kegelapan. Dengan cepat dan kuat, tangan tersebut membekap Lea menggunakan sebuah kain yang berbau menyengat. Lea juga merasakan sebuah tangan lain, memeluk pundaknya dengan kuat. Jelas Lea terkejut dan memberikan perlawanan, Lea juga dengan otomatis menahan napas agar tak menghirup aroma menyengat tersebut.
Tapi kali ini dewi Fortuna memang benar-benar tengah tak berpihak padanya. Karena sengatan rasa sakit dari kaki kirinya membuat Lea kesulitan untuk terus melakukan perlawanan, rasa sakit tersebut tak lain adalah efek dari cedera parah yang ia alami saat kecelakaan dulu.
Serangan rasa sakit tersebut semakin menjadi dan membuat Lea kehilangan fokus, Lea pada akhirnya kesulitan untuk menahan napas. Dalam satu waktu, Lea berusaha untuk bernapas dan sayangnya saat itu juga Lea menghirup aroma menyengat yang langsung membuat kepalanya pening. Hal yang sama terjadi pada tubuhnya yang melemas dengan cepat. Lea tak lagi bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Tapi untungnya, sosok yang membekapnya langsung menahan tubuh Lea.
Bekapan tersebut dilepas, tapi Lea tak bisa membuka bibirnya sama sekali. Visi Lea memburam saat tubuhnya di posisikan di bahu sosok misterius yang ia yakini adalah seorang pria. Karena posisinya yang dipanggul bak karung beras, Lea merasa kepalanya bertambah pening. Dan saat Lea menggelengkan kepalanya, ikatan rambutnya terlepas membuat rambutnya yang hitam serta panjang tergerai begitu saja. Beberapa detik kemudian, Lea tak lagi bergerak karena tubuhnya telah benar-benar lemas.
Sosok misterius yang memanggul Lea menyeringai. Merasa puas karena kembali berhasil menangkap target yang telah lama ia incar. Ya, sosok itulah yang selama ini selalu mengawasi Lea dalam kegelapan. Sosok itu kemudian melangkah menuju celah gelap di antara gedung perkantoran dan bangunan rusun.
Langkah demi langkah yang ia ambil memastikan jika Lea tidak akan bisa kembali ke kehidupan normalnya. Tidak ada keseharian di mana Lea berangkat pagi-pagi untuk bekerja dan pulang tengah malam. Tidak ada lagi kesehariannya untuk bercengkrama dengan orang-orang terkasihnya. Karena kejadian ini, secara tidak langsung adalah vonis yang dijatuhkan bagi Lea untuk memutuskan semua hubungan yang terjalin dengannya.
Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, Lea menatap ponselnya yang tergeletak di tanah. Layar ponsel itu hidup dan kemudian berdering saat sebuah telepon masuk. Lea menggerakkan bibirnya, berusaha untuk berteriak meminta tolong. Sayang, tak ada suara yang terdengar dan hanya bergema dalam kepalanya.
Teriakan pilu yang meminta pertolongan dengan putus asa. Gadis mungil itu benar-benar berharao ada seseorang yang datang dan menolongnya dari perisitiwa ini. Tapi harapan hanya tinggal harapan. Kini Lea tak lagi bisa mempertahankan kesadarannya. Kegelapan yang sejak tadi menggodanya, tak lagi bisa abaikan. Dengan perlahan, Lea kehilangan kesadarannya dan jatuh ke dalam pusaran gelap yang menelannya. Lagi, dalam keputusasaannya Lea mengingat siapa yang meneleponnya barusan dan berbisik di batas kesadarannya yang tinggal setipis benang.
“Dante, tolong aku!”
Dan setelah itu, Lea dan pria misterius benar-benar menghilang ditelan kegelapan. Seakan-akan keduanya tidak pernah berada di sana. Sosok keduanya menghilang, meninggalkan ponsel Lea yang masih terus berdering, karena sang penelepon tampaknya tak mau menyerah sebelum Lea mengangkat teleponnya. Ya, Dante belum mau menyerah sebelum Lea mengangkat telepon darinya. Sayangnya, itu artinya Dante harus tidak menyerah dalam waktu yang lama. Karena, sampai kapan pun Lea tak akan bisa mengangkat telepon. Sebab kini, Lea telah menghilang bak asap yang ikut searah angin yang berembus.